Yara duduk termenung di atap rumah sakit. Rokok yang berada diantara jari telunjuk dan jari tengahnya masih menyala, hampir habis. Sudah rokok ke tiga sejak dia duduk disini.
Kepindahannya ke Bali dua tahu lalu, bukan semata-mata hanya karena pekerjaan. Tapi juga ingin meraih kebebasan di pulau yang banyak dikunjungi oleh orang asing ini.
Memakai hot pants tanpa ada yang memarahi. Berenang hanya menggunakan bikini, tanpa ada yang menceramahi. Merokok tanpa takut ada yang menganggu.
Yara tidak minum alkohol, tenang saja. Dia juga tidak melakukan sex bebas seperti pikiran kalian. Yah, meskipun dia sudah tidak perawan lagi.
Hembusan angin membuat rambut panjangnya yang tergerai berkibar, sedikit menutupi wajahnya. Yara menunduk, menatap sisa putung rokok yang sudah mati.
"Kenapa melamun disini sendiri?"
Yara menegakan tubuhnya yang menegang mendengar suara itu. Tujuannya pidah dan mencari pekerjaan di Bali, bukan hanya untuk menjaga jarang dengan keluarganya. Tapi juga dengan seseorang yang kini duduk di samping Yara.
"Jangan pedulikan aku."
Pria itu tersenyum tipis. Kemudian menarik pergelangan tangan wanita itu untuk mengambil ikat rambut yang melingkar di sana.
"Kau cantik dengan rambut panjang, tapi ini terlalu panjang sampai menutupi wajah cantikmu." Ujarnya sambil mengikat rambut Yara penuh perhatian.
Yara bisa merasakan dadanya bergemuruh. Marah, kecewa, sakit hati dan juga rindu yang datang tanpa tahu malu. Tangannya yang terkepal menepis tangan pria itu kasar. Membuat pria itu terkejut kemudian memandang Yara sendu.
"Dokter Hatala, saya sudah bilang. Jangan pedulikan saya." Yara tidak bisa lagi menahan amarahnya, hingga tanpa sadar suaranya meninggi.
Dia berharap dengan pidah ke pulau dewata ini semuanya akan lebih baik. Mungkin awalnya seperti itu, tapi tidak dengan hari ini.
Beberapa hari lalu, perutnya yang pernah dioperasi tahun lalu terasa sakit kembali. Jadi dia datang untuk periksa, takut akan jadi masalah kesehatan lain. Cukup dirinya kesusahan selama pemulihan pasca operasi karen harus melakukan semuanya sendiri.
Meskipun ada Naina, teman kantornya yang berkenan membantunya. Tapi bagaimanapun Naina harus bekerja dan pulang kerumahnya sendiri, jadi sisanya mau tidak mau Yara harus melakukan ini itu sendiri.
Bukannya mendapatkan penawar rasa sakitnya, Yara justru bertemu luka lamanya. Mengaga, dan membuatnya kembali basah karena kenangan yang melintas diingatannya.
"Yara, aku.."
Hatala berusaha meraih lengan wanita yang mulai berjalan menjauhinya, namun gagal. Yara sudah berlari dengan cepat, meninggalkannya.
***
Sepulangnya dari rumah sakit, Yara langsung bergegas menuju rumahnya. Membersihkan diri dan bergulung didalam selimut. Jam sudah menunjukan pukul delapan malam, hampir melewatkan makan malamnya.Yara menolehkan kepalanya saat mendengar pintu kamarnya terbuka.
"Ajik, ada apa?"
Pria paruh baya yang di panggil Ajik itu tersenyum.
"Ajik sudah ketuk pintu kamu, tapi ngga ada jawaban. Jadi, Ajik kira kamu udah tidur." Ucapnya sembari mendekati putrinya.
Yara bahkan tidak sadar dia melamun sampai tidak mendengar apapun.
"Ayo, turun. Kamu belum makan malam kan? Ajik juga belum makan, makan malam bersama. Ya?" Ujarnya sembari membelai rambut putrinya lembut.