The Maestro
Taeyong x Jaehyun
©claertesquieu 2021
Sekali peristiwa berkisah akan kota yang hidup dengan para manusia cakap mengayunkan tangan dan melantunkan jantur. Janturnya elok, warganya santun dan temaram hati mereka hidup di tengah lingkungan yang berikrar bahwa hati mereka akan tetap teguh untuk menyongsong yang putih.
Tetapi memang dasarnya hati manusia tidak sanggup menahan goda. Bercak hitam mulai mengisi hati mereka yang haus akan kekuatan yang lebih, mengundang kacau dan mengawali pembinasaan yang tidak selesai dalam waktu satu malam. Hati mereka yang direngkuh hitam mengayun jantur keji untuk merenggut hati mereka yang masih putih.
Satu persatu putih terbalut merahnya darah, pucat tanpa nyawa dan hitam mengambil jantur mereka untuk memperkuat diri. Namun seperti kisah yang sudah-sudah, kisah hikayat yang diceritakan oleh para orang tua, mereka yang baik akan selalu menang pada akhir peperangan.
Dan benar, terdesak diri nyatanya malah menyulut potensi. Perang tiga malam tanpa henti berakhir dengan putih yang mengibarkan bendera kemenangan. Yang hatinya hitam telah berhasil dieradiksi dan yang hatinya putih pada akhirnya mengucap untuk tidak lagi kaum mereka melakukan jantur.
Karena selama hati manusia masih tidak terbuat dari baja, selamanya mereka akan tetap tergiur untuk menyebrang ke jalan yang tidak seharusnya.
Beratus tahun kemudian, jantur yang pernah menjadi tumpu hidup, kini tidak lebih hanya menjadi sebuah hikayat.
***
Teknologi adalah sihir. Mudahnya apa yang didapat hanya melalui jentikan tangan membuat manusia enggan untuk lepas dari apa yang mereka genggam. Mata terpaku, sesekali berkedip ketika dirasa mulai lelah namun enggan untuk berhenti. Semuanya sama, semuanya lebih memilih berinteraksi tanpa percakapan yang nyata.
Memang, hidup di era apapun pasti memiliki sisi baik dan buruk tersendiri.
Untuk di dunia modern, hidup dengan memusatkan diri seolah dunia berkeliling untuknya adalah yang sering ditemui. Tidak ada rasa peduli.
Jika ada hal yang mempu membuat orang-orang kembali saling menggenggam tangan, adalah rangkaian klip yang bermunculan akan manusia yang berjalan seolah dia sedang majenun. Tatapannya kosong, tangan dan kaki bergerak di luar keinginan dan keesokan harinya mereka ditemukan hanya tinggal kulit yang membungkus tulang. Kering, seolah sudah meninggal ratusan tahun silam.
Takut mulai melanda.
Namun takutnya mereka tidak menghalangi untuk menyematkan sebutan "Sang Maestro" pada ia yang belum diketahui namanya. Bukan tanpa alasan, julukan ini tersemat karena mereka yang dibuat majenun, seringkali tampak jika mereka seperti dimainkan oleh nada-nada yang disengaja.
Pun, oleh mereka yang berhasil lari, mereka mengatakan jika memang mendengar musik sebelum sadar mereka sepenuhnya hilang. Pikiran mereka tidak bisa mereka ambil alih. Tunduk hanya satu-satunya yang bisa mereka jalani.
Berhasil lari bukan berarti lepas. Sang Maestro enggan membiarkan mereka pergi, ia memilih untuk menyiksa dengan pikir yang sudah ditanam musik yang menghantui. Mereka yang selamat terpaksa diberi tempat di ruangan untuk mereka yang memiliki gangguan jiwa.
Mereka tidak berhenti berteriak, mereka tidak berhenti menangis.
***
Dari seluruh kasus yang pernah Jaehyun tangani, tidak pernah ia sebuta ini. Dari mana ia harus menyelidiki Sang Maestro? Nasib korbannya hanya memiliki dua ujung pasti. Jika tidak berakhir dengan pengawasan ketat di ruang isolasi, maka akan berakhir dengan tubuh kering yang hanya tinggal kulit dan tulang. Tidak ada jalan tengah, tidak ada yang bisa dijadikan acuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Maestro || JaeYong
FanfictionPembunuhan berantai dan misterius tanpa sengaja mempertemukan Jaehyun ㅡseorang detektif dengan Taeyong, pemilik perpustakaan antik dengan kemampuan khusus.