Disarankan untuk membaca sembari mendengarkan lagu di atas
dan dengan latar belakang yang gelap
Siang hari yang nampak panas itu, Hanan memandang hamparan pasir dan air laut yang sesekali menciptakan ombak kecil yang menghanyutkan rumput laut ke tepi pantai. Batu karang di sekitar tepi pantai nampak kokoh meski air laut beberapa kali menerjangnya bertubi-tubi. Melihat bagaimana cerahnya cuaca saat itu, seharusnya Hanan mengikuti teman-temannya untuk bersenang-senang di tepi pantai. Tapi yang Hanan lakukan saat ini hanya berdiam dibawah pohon kelapa dengan terpaan angin yang bersemilir ringan, namun cukup untuk membuat beberapa helai surainya sedikit berantakan.
Hanan sesekali tertawa, teman-temannya yang jauh di depan sana saling berebut untuk berlari menerjang ombak di tepi pantai. Ada juga yang berbuat iseng dan jahil. Ah, jangan lupakan si tinggi Aji yang sibuk dengan dunianya sendiri; menangkap ikan. Katanya sih, mau dia bakar buat makan nanti.
Kalau boleh dikata, saat itu Hanan sedang dalam mode menikmati hidup dalam keterdiaman. Entah bagaimana menjelaskannya, intinya Hanan sedang menikmati apa yang terjadi saat itu. Pemandangan di depan sana misalnya. Rasanya senang melihat teman-temannya saling melempar tawa, atau bahkan melemparkan diri dari tepian dermaga pantai.
Keributan di siang hari itu dimulai ketika Lukim mengutarakan ide gilanya. Tipikal anak laki-laki dengan segudang ide, Lukim selalu menjadi yang paling banyak akal di antara mereka. Seperti membolos kelas misalnya, Lukim selalu pintar mengambil celah untuk membolos kelas untuk bermain di dermaga. Atau terkadang ikut para nelayan untuk mencari ikan di laut. Mail kadang suka dibuat geleng-geleng kepala dengan kelakuan Lukim yang tingkahnya suka bikin keblinger.
"Kita suit ya, yang kalah masuk ke air sampai satu jam." Ide gila itu lantas mendapat respon anarkis dari yang lainnya. Dengan ricuh, mereka mendorong Lukim jatuh dari dermaga. Jangan ditanya bagaimana reaksinya, Lukim hanya cengengesan sembari berusaha naik kembali ke dermaga dengan dibantu Jeki yang mengulurkan tangannya. Tentu saja masih dengan dengan rasa geram yang gemas dengan tingkah laku Lukim.
"Kau pilih tutup mulut atau tutup usia, hah?!." Lukim hanya memberikan cengiran kudanya kepada Riki si bujang Medan yang berpose siap untuk menyentil jidat lebar Lukim. Wajah orientalnya nampak jenaka ketika mengatakan kalimat andalannya, "Kan supaya antimainstream kalau kata orang kota, betul tidak??" Katanya sembari menyenggol Malik yang masih sibuk menetralkan nafasnya karena terlalu keras tertawa.
Hanan melenguh kesal ketika Aji menghampirinya dan menarik paksa dirinya untuk ikut bergabung bersama mereka. Langkahnya lunglai ketika ditarik berlari menuju dermaga.
"Kata Umik, kalo terlalu lama duduk di bawah pohon kel-"
"-Nanti kejatuhan kelapa," Hanan memutar matanya malas, Jeki selalu berkata seperti itu ketika melihat dirinya duduk di bawah pohon kelapa alih-alih di saung yang terlihat lebih nyaman dan aman dari bahaya kejatuhan pohon kelapa. Bahkan sampai sekarang, Hanan masih sangat mengingatnya.
"Jangan bilang kau sedang dalam mode menikmati hidup dalam ketentraman."
"Keterdiaman!!" Mail meralat ucapan Riki dengan berbisik sembari menepuk pundaknya.
"Iya itu maksud aku."
"Kamu ini mikir apa, seperti orang kaya saja, banyak pikiran." Dan seperti biasa, Malik menanggapi candaan djayus Jeki dengan tawa yang nyaring dan memukul orang-orang di sekitarnya. Entah apa yang lucu, bagi Malik, semua hal di dunia ini nampak lucu. Bahkan bagaimana semesta mempermainkan manusia di dalamnya juga terkadang lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [Cerpen]
Short StoryKetika semua tak lagi sama, yang hadir hanya bayangan. Tanpa raga dan tawa, yang kurasa hanyalah sepi yang tak kunjung reda. ©sasa_puka, 2021 | Pulang