Bab 1: What Could Happen?
"Mbak, biaya campaign buat produk O'Gurt belum turun, ya?" todong Gina langsung kepada salah satu orang finance sore itu.
Seandainya bukan karena terpaksa, Gina sebenarnya ogah juga ke situ. Tampang-tampang anak finance kantornya pada bintang satu semua, alias tidak ramah.
"Gimana, Mbak?" Mbak Widi mengangkat wajah sambil membetulkan letak kacamata yang sempat melorot. "Ini yang kerjasama dengan influencer, kan?"
Gina mengangguk. "Itu udah turun belum, ya?"
"Bentar ya, aku cek dulu," kata Mbak Widi sambil mengetik-ngetik sesuatu di komputernya. "Oh, masih pending sih, Mbak."
Otomatis alis Gina bertaut. Bingung. Masih pending, katanya?
"Kenapa masih pending, Mbak? Itu kayaknya statusnya juga nggak berubah dari dua hari lalu," kata Gina seraya menatap Mbak Widi dengan wajah serius. "Coba di-refresh. Kali aja sistemnya eror? Masa udah beberapa hari masih pending juga?"
Entah gimana rasanya aneh kalau selama beberapa hari tidak ada progres di sistem. Kalau memang eror pada sistem, ya mungkin habis ini atau besok Gina mesti protes ke bagian IT.
Mbak Widi tampak keberatan, namun tak urung tetap melakukan permintaan Gina. "Lagian, kenapa tanya pas udah jam bubar deh, Mbak? Dari tadi siang ngapain?" cecarnya.
"Saya udah coba kontek ke Bu Hanum dari tadi siang, Mbak. Katanya mau dicek," kata Gina. "Masa dari tadi ngecek nggak kelar-kelar?"
Di tempat duduknya, Mbak Widi tampak setengah hati meladeni Gina. "Tapi di sistemnya juga masih pending kok, Mbak. Berarti emang masih diproses. Sabar aja..."
"Emang nggak bisa dipercepat aja, Mbak? Ini udah kelamaan. Minggu depan udah mesti bayar DP."
"Nggak bisa, Mbak. Prosesnya kan, 7-14 hari kerja. Perlu acc juga dari Bu Hanum."
Kalau bicara teknis begitu, Gina yakin satu kantor juga tahu.
Semua proses yang berhubungan dengan keuangan memang mesti ada acc dari Bu Hanum sebagai pentolannya divisi keuangan. Masalahnya, Gina tidak bakal menyangka prosesnya bisa ngaret keterlaluan seperti ini.
Padahal campaign ini sudah ada dalam agenda. Namun, kemunculan pandemi memang membuat beberapa agenda kantornya banyak revisi. Termasuk yang ada hubungannya dengan keuangan.
Gina sendiri sebenarnya sudah menjelaskan timeline dan tetek-bengek rincian lain sejelas-jelasnya tentang campaign-nya. Bahkan sampai rincian estimasi biayanya.
Tiba-tiba saja Gina curiga ini ada akal-akalan anak keuangan. Makanya prosesnya jadi ngaret begini.
"Kalo besok kira-kira gimana, Mbak?" pancing Gina kemudian.
Mbak Widi mulai kesal di bangkunya. "Saya nggak janji ya, Mbak. Tapi kalo cuma usahain, mungkin bisa."
Jawaban Mbak Widi tidak sesuai harapan. Tapi dia harus cukup puas.
"Terus, kira-kira kapan bisa turun, Mbak? Kira-kira aja, deh. Biar saya bisa ngomongin ke pihak yang kerjasama."
"Saya nggak bisa janji, Mbak. Tapi diusahakan secepatnya," kata Mbak Widi sambil mengembuskan napas lelah. "Untuk jaga-jaga aja, hari Jumat depan."
Refleks mata Gina membulat sempurna. Selama beberapa saat mulutnya ternganga. Untung saja di kantornya masih mewajibkan masker. Minimal, tampangnya jadi tersamarkan sedikit.
"Jumat depan?" ulang Gina tak percaya. Otaknya pun berputar cepat. "Nggak bisa dipercepat minggu ini aja? Usahain hari Jumat ini deh, Mbak."
"Nggak bisa, Mbak." Mbak Widi tetap dalam pendiriannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Situationship [COMPLETED]
ChickLitSelama ini batasan mereka sudah jelas. Just friends. Gina yakin Ghani tidak akan mengecewakannya sebagai teman. Otomatis gadis itu bisa fokus meminta restu untuk hubungannya dengan Mas Dewa yang belum dilancarkan dari mulut ibunya sampai saat ini...