Chapter 1

24 6 11
                                    

Prang!

“PA, TOLONG NGERTIIN MAMA. MAMA SIBUK, GAK BISA TERUS-TERUSAN NGURUSIN KALIAN. MAMA JUGA PUNYA BANYAK URUSAN. PAPA JANGAN KAYAK ANAK KECIL.”

“MA, JUSTRU MAMA YANG HARUSNYA NGERTIIN PAPA, PAPA PULANG DARI KANTOR, BUTUH MAMA, TAPI MAMA SELALU HILANG. KASIAN KEYRA, MA. DIA KURANG KASIH SAYANG DARI MAMANYA.”

“HARUSNYA PAPA YANG NGURUSIN KEYRA, MAMA CAPEK, PA. MAMA CAPEK PULANG DARI ARISAN. KEYRA SUDAH BESAR, DIA BISA NGURUS DIRINYA SENDIRI. UDAH AH, MAMA CAPEK, MAU ISTIRAHAT.”

“MA, PAPA BELUM SELESAI!” Pria paruh baya itu hanya mengembuskan napasnya.

Ini bukan pertama kalinya terjadi di keluarga mereka. Hampir setiap hari mereka bertengkar. Hana terlalu sibuk dengan teman-teman arisannya sehingga lupa dengan tugasnya sebagai ibu dan sebagai seorang istri. Hana tipe orang yang tidak mau diatur membuat Herman bingung bagaimana harus menjelaskan kepada Hana—istrinya.

Herman sadar, selama ini Keyra kurang kasih sayang dari kedua orang tuanya. Herman sendiri disibukkan dengan urusan kantor, hampir setiap hari lembur. Harapan Herman satu-satunya adalah Hana, tetapi Hana selalu bersikap cuek kepada dirinya dan Keyra.

Herman duduk di sofa seraya memegang keningnya. Otaknya masih memutar kejadian beberapa menit yang lalu.

"Maafin kami, Nak," lirih Herman yang menyesali perbuatannya. Dia merasa sudah gagal menjadi seorang ayah untuk Keyra.

Seorang gadis duduk di pojok kamarnya. Barang-barang di kamarnya sudah berada di tempat yang salah. Gadis itu Keyra. Apakah kehadiran Keyra di kehidupan orang tuanya adalah kesalahan?

Gadis itu menghadap ke cermin melihat pantulan dirinya. Sangat menyedihkan, bukan kehidupan seperti ini yang dia harapkan. Dahinya sudah lebam akibat dibenturkan ke tembok dan itu membuatnya sedikit tenang. Ya, melukai diri sendiri sudah menjadi kebiasaan Keyra hingga luka seperti itu sudah dianggap biasa.

Bisakah sehari saja orang tuanya tidak bertengkar? Keyra bahkan sudah lupa kapan terakhir kali mereka sarapan bersama. Tidak, bukan lupa, lebih tepatnya tidak pernah. Keyra selalu iri melihat keharmonisan keluarga teman-temannya.

Kalau boleh jujur, Keyra sangat merindukan kedua orang tuanya. Rindu sarapan bersama. Rindu liburan bersama. Rindu canda tawa mereka.

“Ma ... Pa ....” Air mata terus membasahi pipi gadis itu.

Keyra tidak butuh semua fasilitas mewah ini, yang diinginkan hanya keluarganya. Di sela-sela tangis, gadis itu kini terlelap.

***

Cahaya matahari menerobos masuk ke jendela kamar Keyra membuat si pemilik kamar terusik. Gadis itu membuka mata secara perlahan, kepalanya terasa sakit. Bahkan Keyra baru sadar jika dia tidur di lantai.

Gadis itu bangkit dan segera bersiap-siap ke sekolah, meski sebenarnya dia malas.

Keyra menuruni anak tangga dan lagi-lagi melihat pemandangan yang sama. Hanya ada roti di meja makan sedangkan kedua orang tuanya sudah berangkat duluan. Keyra tertawa hambar. Sesibuk itukah mereka sampai-sampai sarapan bersama saja tidak sempat.

Keyra melajukan mobilnya ke sekolah. Tidak butuh waktu lama, gadis itu kini sudah tiba di sekolah tepat waktu. Meski keluarganya tidak sebahagia keluarga teman-temannya, tetap tidak menjadikan alasan agar Keyra bermain-main dengan pendidikannya.

Keyra gadis yang cukup pintar dan juga rajin. Tugas sekolahnya selalu dikumpul lebih awal.

Seperti biasa, gadis itu selalu ke perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat favoritnya. Di sana sepi, karena sekarang jarang murid yang suka membaca buku. Mereka lebih suka membaca lewat internet. Namun, bagi Keyra buku tetaplah buku, tidak peduli secangih apapun gadget itu.

Keyra mulai mencari buku yang menurutnya menarik. Tatapannya terhenti pada buku yang berjudul Surat Balon untuk Ibu. Otaknya kembali memutar kejadian semalam. Keyra duduk di lantai disusul dengan air mata yang sudah membasahi pipi.

Selama ini dia terus menulis surat untuk ibunya, tetapi sang ibu tidak pernah peduli.

Keyra menyeka air matanya, ia putus asa. Lagi-lagi Keyra tersadar jika bunuh diri bukanlah jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Keyra juga sadar jika melukai diri sendiri bukanlah jalan keluar, tetapi itu membuatnya tenang.

Gadis itu melanjutkan aktivitas yang sempat terhenti. Keyra masih mencari judul yang menarik. Tidak ada pilihan lain selain memilih buku ensiklopedia. Keyra pun mulai membaca buku tersebut.

“Hay, Keyra!” sapa Lilia yang hanya dibalas senyum oleh Keyra. “Udah lama di perpus?” Keyra hanya mengangguk.

Lilia bingung harus berbuat apa. Keyra itu baik, tetapi sangat tertutup. Jika diajak melakukan sesuatu, pasti Keyra selalu menolak. Lilia tahu Keyra punya masalah, tetapi tidak pernah dia tunjukkan. Lilia ingin mengajak Keyra berteman, tetapi gadis itu seolah membagun tembok dan tidak mengizinkan siapapun mengenalnya lebih dekat.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00, waktunya pulang. Namun, Keyra tidak langsung pulang, gadis itu mampir terlebih dahulu ke toko buku untuk menambah koleksi novelnya.

Gadis itu mencari genre fantasi kesukaannya.

“Hay, Keyra!” sapa Lani. Lagi-lagi Keyra hanya tersenyum.

“Eh, lo mau gak ke mall bareng gue?”

“Uhm ... maaf, Lan. Kayaknya aku gak bisa. Aku punya urusan. Maafin, aku, ya. Lain kali aja.”

“Yah, lo mah gak asik, Key. Yaudah, deh. Gue duluan, ya.” Keyra hanya mengangguk.

Keyra keluar dari toko buku. Tatapannya terhenti pada seorang wanita paruh baya yang menyuapi anaknya. Keyra mendekati mereka.

“Ada yang bisa kami bantu?” tanya wanita paruh baya itu saat menyadari kehadiran Keyra.

“Oh, ngga ada, kok. Saya cuma kebetulan lewat aja,” jawab Keyra seraya tersenyum. “Oh, ini aku ada roti untuk adek.” Keyra mengambil dua bungkus roti dari tas dan menyerahkan ke gadis kecil itu.

“Terima kasih, Kak!” Gadis kecil itu terlihat bahagia. Segaris senyum terlukis di bibir Keyra.

Keyra pun meninggalkan mereka. Dia terus melangkah entah kemana.

“Mama, Keyra takut!” rintih gadis seorang anak kecil. Gemuruh terus bersahut-sahutan membuat anak kecil itu semakin takut.

“Kenapa sih, Keyra, dari tadi teriak mulu. Mama kan jadi terganggu,” ucap Hana. Anak kecil bernama Keyra itu langsung berlari memeluk sang ibu.

“Mama, Keyra takut. Ada petir.” Tubuh kecil Keyra bergetar.

“Aduh, Keyra, jangan lebay deh. Itu cuma petir, sayang. Jangan manja, kamu sudah besar.” Hana pun melangkah meninggalkan Keyra kecil yang masih diselimuti rasa takut.

“Mama, Keyra takut!” teriaknya, tetapi sang mama tidak menggubrisnya.

Keyra hanya bisa menangis.

“Papa, cepat pulang! Keyra takut.”

Air mata sudah membasahi pipi Keyra, dia rindu pelukan hangat mamanya. Semenyedihkan inikah dewasa? Bahkan, masa kecilnya saja menyedihkan.

Keyra terus melangkah entah ke mana. Tidak peduli dengan klakson kendaraan yang meminta agar ia menepi. Keyra hanya ingin menangis, itu saja. Keyra hanya ingin menikmati hidupnya yang menyenangkan. Keyra terus melangkah.

Brugh!

***

Bersambung

RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang