Trigger Warning : bullying
.
.
.
Kali pertama Artajuna merasakan kecap bahagia yang berlomba masuk merengsek ke dalam hatinya adalah kala mama-nya memberi hadiah sebuah boneka Moomin besar untuk ulang tahunnya yang ke-tujuh. Rasa aneh yang menggerayangi hatinya itu justru membuat senang tak kepalang hingga tak elak si kecil Artajuna menangis lalu memeluk boneka kuda nil itu dengan erat sembari mengucap terimakasih.
Tahun-tahun selanjutnya, Artajuna kecil merengek, meminta kembali hadiah yang sama untuk ulang tahunnya, ingin mengecap kembali rasa bahagia yang bertengger di dada seperti kali pertama rasa tersebut menyapa relung hatinya.
Artajuna ketagihan, menjadi sedikit egois untuk mempertahankan binar bahagia tersebut untuk tetap berada di sisinya, memeluknya erat, tak ingin hatinya menjadi pesakitan.
Artajuna tumbuh menjadi sosok pemuda yang periang, pembawa kebahagiaan untuk semua orang yang ada di sekitarnya, tapi haus akan afeksi.
Seorang guru sempat memuji kemampuan bahasa Inggrisnya kala dirinya masih duduk di bangku tingkat dua sekolah menengah. Katanya, Artajuna bisa jadi penerjemah hebat kalau ia mau meningkatkan kemampuannya dan unjuk diri tanpa rasa ragu. Binar bahagia itu kembali menyapa, membuat si manis tersenyum akan afeksi yang ia terima. Dirinya mengangguk, mengucap terimakasih lalu berjanji akan tekun untuk memperdalam kemampuan bahasanya.
Artajuna likes the happiness he feels when someone giving him affection.
...and he is being addicted.
Lalu, kala rungunya bertemu dengan denting piano penghasil nada indah yang belum pernah ia dengar, hatinya berdegup. Rasa itu kembali menyelimuti hatinya.
Artajuna suka.
Ia dapati pemuda tampan duduk di sana. Asyik menarikan jari-jemari panjangnya di atas tuts piano, menghasilkan alunan lembut pemanja telinga.
“Kating, anak 2018. Angkasa Selangit kalau gak salah inget.”
Angkasa Selangit, ya?
Atensinya kembali beralih, memuja si Adam tanpa rasa ragu. Ingin melihat lebih paras tampan yang sedang memejam di dalam sana, menikmati melodi indah yang ia cipta.
Mengabaikan kelas bahasa yang seharusnya ia hadiri, dirinya menyuruh Naren untuk pergi duluan, berdalih ingin mengajak Angkasa Selangit berkenalan setelah pemuda tan itu menyelesaikan permainan pianonya walaupun harus rela jatah absensinya berkurang.
Artajuna pretty knows what he feels right now. He knows the feeling of bubbling, tickling his stomach, causing a happy glow he longs for.
Ia jatuh cinta.
Semudah itu, tanpa halangan.
“Lo yakin mau ngajak dia ngobrol? Dia bisu, Artajuna.”
Sayangnya, Artajuna tidak tahu kalau cinta bisa sedemikian rupa rumit untuk dijalani.
Hari selanjutnya hanya ia habiskan untuk mengamati Selangit dalam diam. Ia habiskan satu bulannya tanpa membuat pergerakan apapun. Hanya mengikuti dan melihatnya dari kejauhan.
“Dia suka ngasih makan kucing di sekitar FIB, Na. Lucu banget gak sih?”
Naren hanya mengangguk. Mengambil satu bakwan jagung yang masih hangat, lalu memakannya tanpa peduli ocehan sahabat karibnya. Naren terlalu jengah hanya untuk merespon. Telinganya pun terlalu bosan karena tiap hari diberi asupan yang sama oleh si lawan bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selangit | Hyuckren
عاطفية"Aku sih yakin kalau kakak bisa bersinar secerah nama kakak. Angkasa Selangit. Artajuna suka. Kakak mau jadi pacar Juna gak?" ©hyuckrenist