Bandara International Soekarno Hatta
27 Desember 2017
21:30 WIB
Mereka berempat kini sudah terduduk manis bersama pasangan mereka masing – masing, menyisakan Satria seorang diri.
Satria sendiri memilih tempat duduk yang jauh dari mereka berempat, alasanya sederhana, karena ia sudah terlalu muak dengan tabiat para sejoli tersebut.
Sebenarnya, Satria tidak terlalu perduli tentang apapun yang mereka lakukan, namun, tetap saja, ia muak.
Hampir setiap hari dirinya melihat mereka sembarang bercumbu tak tahu tempat, seperti manusia tak beradab, pikirnya.
Jika kalian menyangka Satria iri hati dan cemburu dengan apa yang dimiliki temanya, sepertinya kata tersebut kurang tepat jika dilabelkan padanya.
Karena sebetulnya selama 27 tahun dirinya hidup, ia sendiri juga bingung kenapa dirinya tak pernah memiliki tendensi tertentu terhadap suatu hubungan, terutama sebagai sepasang kekasih.
Lagi dan lagi, ia tidak pernah ambil pusing terhadap hal tersebut.
Hanya sebuah status dan hubungan, apa yang menarik? Pikirnya.
Tidak ada ketertarikan romantisme terhadap lawan jenis maupun sesama jenisnya.
Namun, untuk segala aktivitas sexual, siapa yang menyangka bahwa dirinya lihai bercinta, tak cuma satu atau dua, tak hanya wanita, lelaki pun juga.
Tentunya, ia simpan rapat rapat semua itu dari kedua sahabatnya.
Bukan untuk konsumsi publik, pikirnya.
Di usia yang sering dianggap "matang" ini, Satria sudah beberapa kali kebal dan mencoba mengabaikan setiap tanya yang selalu muncul hanya untuk sekadar basa – basi busuk.
Seperti kemarin, misalnya. Ketika keluarga besarnya menggelar pesta malam natal sederhana, barang sekadar bertukar kado dan makan bersama.
"Mas Satria, sudah umur berapa sekarang? Tinggal Mas Satria lho yang belum mentas. Eyang kakung sudah mau nimang anak nya Mas Satria, lho."
Kakeknya tiba – tiba saja bertanya, membuat gaduh tawa dan obrolan kecil yang sedari tadi disuguhkan menjadi lenyap tak bersisa.
Satria hanya tersenyum, kemudian memilih melanjutkan makan nya dalam diam.
"Ndak papa, gojek (bercanda) – an nya dilanjutkan saja. Ndak enak lho kalau sepi. Saya sudah selesai makan, izin pamit ke belakang dulu, ya? Permisi, semuanya," ucap Satria seraya pamit meninggalkan meja makan.
Satria kini berada di halaman belakang rumah keluarga besarnya, atau lebih tepatnya, rumah kakek dan neneknya. Ia membaringkan dirinya di atas hammock, memandang asal segala sesuatu yang ada di hadapanya.
"Le..." suara lembut neneknya membuyarkan lamunanya.
"Dalem, eyang? (Iya, eyang?)" jawab Satria lembut
"Uwis, omongane eyang kakung ora usah dipikir. Penting Mas Satria bagas waras lan seneng yo, Le? Eyang putri yo pasti seneng juga," ucap eyang putri sembari mengelus lembut punggung Satria
(Sudah, omongan kakek tidak usah dipikirkan. Yang penting Satria sehat dan senang, ya? Nenek pasti juga ikut senang.)
"Matur sembah nuwun, Yangti. Pangapunten, Satria dereng saged maringaken garwa kaliyan wayah kagem yangti," ungkap Satria.
(Terima kasih, Nenek. Maaf, Satria belum bisa memberikan istri dan cucu untuk nenek)
Ia kemudian memeluk neneknya erat, membebranikan dirinya melepas beberapa air mata yang ternyata selama ini masih ada.
"Lho.. Gantengnya yangti nangis?" ucap Neneknya teduh sembari menepuk nepuk pelan punggung Satria.
Kini tembok pertahananya runtuh, ia menangis sejadi jadinya dalam pelukan neneknya.
"Cup.. Cup.. Mas masih suka nahan nangis, ya?"
Satria memilih untuk tetap diam, namun ia semakin mengeratkan peluknya, sebagai pengganti jawab dari pertanyaan tersebut.
Malam itu, di malam kelahiran Yesus, ia kembali menangis.
Kutukan malam natal yang terjadi sejak empat tahun lalu, dan terus berlanjut hingga saat ini.
Kutukan yang membuat dirinya dijuluki si pembuat dosa nomor satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘚𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪
Romance𝘉𝘦𝘳𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘪𝘣𝘶 𝘬𝘰𝘵𝘢, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘵𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 - 𝘴𝘢𝘮𝘢, 𝘥𝘪 𝘗𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘋𝘦𝘸𝘢𝘵𝘢, 𝘉𝘢𝘭𝘪...