Bandara International I Gusti Ngurah Rai
02:00 WITA
Pesawat mereka sudah mendarat dengan sempurna, kini mereka tengah menunggu jasa jemputan yang disediakan oleh pihak penginapan yang mereka tempati.
Keempat temanya kini sudah kembali tertidur lagi, berpasangan dan berpelukan mesra di tengah ruang tunggu bandara, setelah selesai mengurus bagasi mereka.
Menyisakan Satria seorang diri yang sedari tadi enggan memejamkan mata.
Melihat apa yang kini ada di hadapanya, Satria tersenyum tipis sembari memijit keningnya yang tak benar – benar pening.
Ia buru – buru mengeluarkan ponselnya, lantas mengambil gambar dua pasang sejoli tersebut.
Jujur saja, salah satu hal yang Satria takutkan ketika para sejoli itu sembarangan bercumbu di muka publik seperti saat ini adalah perlakuan para manusia bajingan yang memuakan, selalu merasa bahwa dirinya pemilik mutlak kunci surga dan lebih berkuasa layaknya tangan kanan Tuhan.
Padahal sama saja. Kita semua juga pendosa, kan? Yang membedakan hanya bagaimana bentuk dosa itu kita ciptakan.
Perlakuan memuakan para manusia tersebut lah yang menimbulkan rasa tak aman.
Jangankan perihal rasa aman yang akan didapatkan teman – temanya sebagai manusia yang berorientasi homosexual. Dalam hubungan heterosexual saja rasa aman belum tentu juga dapat disuguhkan, bukan?
Ia hanya bisa berharap semoga kedepanya, dimanapun mereka semua berada, apapun orientasi mereka, rasa aman dapat diberikan secara cuma cuma, untuk semua, bukan hanya golongan tertentu saja.
02:30 WITA
Setengah jam berlalu, mobil jemputan mereka kini tiba di bandara.
Satria yang sedari tadi masih terjaga segera membangunkan teman temanya.
"Bangun, njing. Jemputan udah dateng." ucapnya seraya menepuk pipi Tian dan Oscar
"APASIH AH SAT???" sahut Tian protes, malah semakin mengeratkan peluknya pada Nathan. Sementara Oscar masih enggan membuka matanya.
"Lima menit lo semua ga bangun, gue tinggal. Jujur, gue capek. Gue juga mau buru – buru nyampe hotel. Gue mau istirahat," ujar Satria singkat.
Beberapa detik setelah mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut Satria, Tian dan Oscar segera bangun, setengah mati membuka mata mereka yang masih ingin berpeluk mesra.
Mereka tahu betul bahwa kalimat tersebut bukan hanya gertakan semata.
"Yang, bangun yuk. Jemputanya udah sampe, mau aku gendong ga?" Ucap Tian pada Nathan, meskipun masih sama sama mengantuk
"Hm.. Iya bangun.. Gendong aja..." sahut Nathan lembut kemudian mengalungkan tanganya pada leher Tian.
Tian pun kini menggendong Nathan bak koala yang menggendong anaknya, berjalan menuju mobil jemputan dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.
"Tayangtu, nak kicik, bangun yuk, mobilnya udah sampai, nanti sampai mobil bobo lagi, sampe hotel bobo peluk lagi, ya? Bangun dulu, yuk. Mau aku gendong? Atau jalan aja?"
"Jalan.. Bangun.. Mau peluk.. Ngantuk.. Gandeng..." sahut Gian sembarangan.
"Yuk, sini aku gandeng, pelan pelan, ya?" titah Oscar seraya menggandeng tangan Gian perlahan menuju mobil.
Kini menyisakan Satria yang masih bergidik geli melihat kelakuan mereka berempat.
"Orang jatuh cinta memang mengerikan." ucapnya dalam hati.
Ketika hendak bergegas menyusul mereka menuju mobil, ia mendapati salah satu orang di bandara yang menatap mereka dengan tatapan menjijikan.
Satria berhenti sebentar untuk sekedar membalas tatapan tersebut, tanpa membuka suaranya.
Siapapun tahu, kalau tatapan Satria cukup ampuh untuk melumpuhkan orang.
Belum ada satu menit, orang yang ditatapnya kini beranjak pergi sembari sesekali melirik sinis ke arah Satria.
"Brengsek, ikut campur saja." umpatnya dalam hati.
Bersyukurlah hari sudah larut, Satria sudah merasa lelah. Kalau saja saat itu hari masih siang, maka orang tersebut dapat dipastikan tertimpa kemalangan bertubi – tubi.
Tak cukup dengan tatapan membunuh yang diberikan Satria, orang tersebut masih harus mendengar ribuan makian dari si pahit lidah.
Perjalanan menuju The Royal Santrian, Nusa Dua, Bali.
Satria sebenarnya hendak memejamkan mata, barang sepuluh dua puluh menit saja.
Namun sepertinya ia tak diizinkan tidur. Semakin malam, kesabaranya makin diuji.
Setelah berurusan dengan orang asing, kini ia harus berurusan dengan supir yang membawa mereka ke hotel.
Sekali dua kali supir tersebut mengecek keberadaan mereka berempat lewat kaca spion tengah, ia masih membiarkanya.
Namun, makin lama, supir tersebut makin intens memperhatikan mereka, dengan tatapan menjijikan lebih dari yang ia lihat di bandara barusan.
Ia sudah mulai jengah, lalu memutuskan untuk angkat bicara.
"Mata nya kenapa pak lihat belakang terus dari spion tengah? Ada hantu kah? Atau gimana? Apa sakit matanya? Bapak lelah? Mau saya saja yang menggantikan, bapak bisa turun kalau mau." ucapnya ketus.
Tian yang duduk di sebelahnya kemudian menepuk pundaknya pelan, pertanda dirinya harus sabar.
Supir itu terkejut mendengar apa yang Satria katakan barusan. Terlihat jelas dari mimik wajahnya yang seketika berubah. Namun, supir tersebut memilih untuk tetap diam.
Yang terjadi pada menit setelahnya adalah mobil yang bergerak lebih cepat dari sebelumnya, sebagai bentuk amarah sang supir yang tak bisa diungkapkan kata, diiringi dengan suara dengkuran halus dari mereka berempat, serta mata awas Satria yang masih betah mengawasi semua.
The Royal Santrian, Nusa Dua, Bali.
03:15 WITA
Kini mereka sudah sampai di vila mereka masing – masing.
"Terima kasih, mba. Sudah dibantu. Selamat Malam."
"Baik, Pak. Terima kasih sudah memilih resort kami. Semoga menjadi liburan yang menyenangkan, selamat menikmati fasilitas yang telah kami sediakan. Selamat malam."
"Malam." balas Satria sembari menutup pintu kamarnya pelan.
Satria buru-buru menuju kamar mandi, menghidupkan keran untuk memenuhi bath tub yang akan ia gunakan untuk berendam.
Ia mulai melepas satu per satu kain yang sedari tadi menempel di tubuhnya.
"Good Morning, Bali." ucapnya sembari memejamkan mata, kemudian berendam ke dalam bath tub, yang bahkan belum terisi sepenuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘚𝘦𝘭𝘦𝘴𝘢𝘪
Romance𝘉𝘦𝘳𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘦𝘮𝘶𝘥𝘢 𝘪𝘣𝘶 𝘬𝘰𝘵𝘢, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘶𝘵𝘶𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢𝘣𝘪𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘢𝘯𝘵𝘪𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 - 𝘴𝘢𝘮𝘢, 𝘥𝘪 𝘗𝘶𝘭𝘢𝘶 𝘋𝘦𝘸𝘢𝘵𝘢, 𝘉𝘢𝘭𝘪...