23

318 52 2
                                    

NIRA

Aku tahu suara Mas Danar pas di telepon tadi khawatir sekali, sampai lupa minta maaf ke dia tadi. Dan itu buat aku sadar bahwa jawaban dari buncahan hati serta jantung berdebar ini adalah perasaan ... rindu.

Tenang, Nira. Ini demi keselamatan Mas Danar. Tentu kamu tidak mau mengulang tragedi New York, buktikan mimpi burukmu akhir-akhir ini tidak akan jadi nyata. Ingat juga pesan dokter Likha untuk tetap tenang dan lakukan perlahan.

Aku juga pastikan bahwa kematian Kamila Sudarsono adalah kematian terakhir yang kusaksikan.

"Nira, kamu ngapain di situ?"

"Eh, Bu Ratri." Kepalaku menoleh ke arah pintu gudang. Kumasukkan ponselku ke saku. "Maaf tadi ninggalin kalian, butuh udara segar."

"Ayo makan siang, si Arjuna bawain ketoprak. Terus bantu Ibu dorong ini papan." Kami berdua menyeret papan bukti itu keluar dari gudang.

Sambil mereka bertiga makan siang, aku menjelaskan skema tentang mancing Danang keluar dari aksi memata-mataiku. Ketidakterlibatan aku dalam kontak langsung dengan Anjing Gila bikin mereka bertiga kompak mengacungkan jempol.

"Sekarang saya bertanya ke Pak Darya dan Bu Ratri." Aku menunjuk pada dua foto baru yang kukirim tidak sengaja ke Mas Danar tadi. "Kalian berdua dapat foto ini darimana?"

"Kalau yang Danang sama keluarga Rahadi enam tahun lalu itu aku dapatnya dari temanku yang ternyata diundang ke jamuan mereka sama atasannya. Eh temanku ini cuma makan sama jadi tukang foto mereka doang lho, Nir," jawab Bu Ratri sambil melanjutkan suapan ketoprak.

"Kalau yang Papamu sama politikus dan anaknya itu pas menyelidiki dugaan aliran uang hasil suap lewat Aris yang kebetulan ikut mengadili anaknya di foto itu beberapa tahun lalu," tambah Pak Darya. "Aku menduga dua orang itu menyuap Papamu biar anaknya bebas dari vonis penjara."

Tentu saja aku tahu siapa Pak Aris, teman Papa sesama hakim yang setia sampai mati seperti Freddi dan Danang. "Nomor putusannya berapa, Pak? Nanti saya cek di direktorat Mahkamah Agung," ujarku.

Pak Darya menyebutkan nomor putusan yang langsung kucatat di kolom pencarian laman putusan Mahkamah Agung.

"Tunggu dulu." Mas Juna yang dari tadi asyik menyantap ketoprak berdiri dan mengamati foto terbaru Papa barusan. "Kayaknya aku tahu mereka ini siapa."

Kami bertiga melongo.

"Ini tuh Pak Sujatmo Laksono sama anaknya, Doni Laksono. Mereka berdua sekarang lagi kena hukuman penjara," jawab Mas Juna santai.

Mataku teralih pada putusan kasus yang terkait Doni Laksono. Ternyata ini putusan pertama. Jelas saja pas baca kronologi kasus dan kesaksian semua namanya disensor, kasus pemerkosaan sidangnya tertutup. Siapa, ya, korbannya?

TING!

Ponselku bunyi pertanda ada surel baru dari Mas Danar. Begitu lihat judulnya langsung kubuka melalui laptop dan pinjam printernya Bu Ratri di ruang kerja selama lima belas menit. Kemudian, dari ringkasannya Mas Danar, semua foto kususun di papan bukti dan kutulis pakai spidol dan catatan tempel. Hasilnya bikin mereka terpana.

"Puzzle rencana utama kita tinggal sembilan puluh delapan persen komplit," puji Bu Ratri.

"Banyak juga ya, ini kayak model bikin istana lima tingkat versi sarang laba-laba," celetuk Mas Juna yang dihadiahi tawa derai kami.

"Selama ini kepasrahan Freddi dan Danang saat diciduk ternyata dibeking oleh Gunawan Rahadi yang juga sahabatnya. Tidak heran si Danang bisa melarikan diri dari penjara." Pak Darya berdecak.

Embracing Dawn (v) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang