Prolog

1.2K 120 14
                                    

Guntur menggelegar. Wilayah kota metropolitan diserang awan suram. Orang- orang membentangkan payung, berlalu lalang di sepanjang trotoar dan bagi mereka yang tidak membawa payung terbirit menghindari rintik menjelma hujan deras dan menepi. Gadis bermanik kelabu berdiri di samping sebuah toko roti kecil yang aromanya meliuk-liuk di udara. Jaket hitam dan celana biru gelapnya berat karena air, tas folder ditentengnya basah kuyup dan rambut pirang kotornya lepek serta pipi dan hidungnya yang dihiasi freckles memerah kedinginan.

[Name], gadis yang selalu menikmati hujan itu merenung, rasa antusias yang kerap timbul tak lagi muncul. Dia bak manusia yang tak punya gairah untuk hidup. Bagi dirinya yang sekarang, hujan tak lebih dari mimpi buruk. Mimpi buruk bagi anak 17 tahun yang menyaksikan sahabat tercintanya bunuh diri.

Ingatannya yang fotografis mengenang dengan jelas detail hari itu. Dimana guntur berseru dan kilat berlalu, hujan yang butirnya besar-besar dan genangan air yang berubah merah atas darah mengalir dari pergelangan. Neelam meraung-raung, kaca matanya tergeletak hancur di tanah. [Name] menjerit, tidak membiarkan sahabatnya melakukan itu. Namun, dia terlambat. Neelam telah terjun ke bawah, berdebum bersama hujan dengan suara nyaring. Saat [Name] menghadap ke bawah yang ia lihat adalah tubuh yang tergeletak di atas kubangan darah gelap.

Di bawah tekanan mental, [Name] bertarung melawan opini masyarakat yang berspekulasi bahwa dia yang membunuhpendorong kematian dari sahabatnya sendiri. Butuh beberapa hari masa percobaan sebelum akhirnya dia dinyatakan tidak bersalah. Lalu sejak itu, [Name] tidak ingin berteman dengan siapapun.

Manik kelabu redupnya memandang jalanan membentang, rambu lalu lintas berubah merah dan klakson kendaraan saling berseru.

"Hei, kau tidak kedinginan di sana terus?"

[Name] menoleh, mendapati seorang lelaki yang mengenakan seragam pemanggang roti dan bertopi lucu dengan duri tumpul seperti tulang dinosaurus. Di name tagnya tertera BoBoiBoy. Nama yang unik, batinnya.

"Hello, apa aku berbicara dengan hantu?"

Sang empu mendengus. "Aku sudah basah, jelas aku kedinginan kan?"

Boboiboy tersenyum, meletakkan tangan pada pinggang. "Kalau begitu, masuklah."

Tapi [Name] tidak bawa uang cash. "Aku tidak bawa dompet," jawabnya jujur.

BoBoiBoy hanya terkekeh. "Di sini boleh ngutang kok, Gopal saja hutangnya segunung."

[Name] mengerut, siapa Gopal?
"Aku tidak bawa dompet, tapi kartu kredit. Bisa kredit?" Ia bertanya.

"Ah, tentu bisa. Mari."

Entah kenapa, [Name] merasa persuasi dari lelaki itu sangat besar dan dia seakan tertarik akan senyum hangatnya. Lelaki ini, punya aura yang hangat. Padahal dia tidak pernah berniat masuk ke toko.

Dan kemudian [Name] masuk ke dalam, menikmati aroma roti panggang dan cokelat panas.

Nama toko itu, Tok Aba's KoKoTiam.

—□—■—□—


Note:
Jujur, ini adalah ke 3 kalinya penulisan ulang karena banyak plot hole di keseluruhan cerita. Aku mohon maaf sebanyak²nya bagi yang telah menunggu kelanjutan cerita yang lama.
Tapi alur tidak dirombak signifikan hanya ditata lebih simetris setelah melakukan beberapa revisi.


ᴀɴᴏᴛʜᴇʀ Dɪᴍᴇɴsɪᴏɴ | 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑖𝑏𝑜𝑦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang