On Rainy Days

845 63 4
                                    

"Walaupun hanya segurat fatamorgana dari bias milikmu, aku ingin mendekapnya lagi bersama hujan."

Kim Jisoo & Kim Jiwon

***

Suara gemercik air langit yang turun membasahi tanah mulai mengalun lamat. Mengisi suasana kosong dengan iramanya yang pelan. Setiap rintikan yang jatuh menghipnotisku pada seseorang yang berdiri tak jauh dari tempat berteduhku sekarang.

Dia lagi. Batinku meraung terus.

Laki-laki itu menghentakkan tungkainya di tempat, beberapa kali. Ketika hujan mulai datang, ia akan berdiri di sana. Di pinggir jembatan, sembari diam merenung berlama-lama tahan dengan basah dan dingin hujan. Tatapan matanya sayu selalu, belakang punggunya tampak rapuh diaduk sendu, tampilan rambut hingga ujung tubuhnya benar-benar hancur dari kata modis. Bak keputus asaan adalah nama lain dari dirinya.

Aku mulai beralih fokus darinya dengan menyesap Caramel Macchiato ke-dua yang beberapa saat lalu dibawa oleh salah satu pramusaji. Perlahan rasa hangat kembali menjalari tubuhku, mengusir jauh-jauh hawa dingin yang hingga menusuk tulang.

Bagaimana dengan dia?

Lagi. Pikiranku terjatuh pada orang yang tetap berdiri sok tangguh di tengah derasnya hujan. Netraku menilik lembut ke arahnya dari kejauhan, mencari hipotesis tentang alasan lelaki itu berdiri di sana. Aku saja yang berada di dalam ruangan masih merasa dingin terus saja mengusik, lalu bagaimana dengan dia? Tidakkah dingin mengganggu pertahanannya?

Setidaknya lima atau sepuluh menit masih dalam batas logika, tapi... dia telah bertahan di tengah hujan deras selama hampir satu jam lebih. Aku berusaha tak ambil peduli, tapi mata dan pikiranku tidak bisa dikendalikan. Semuanya berakhir pada laki-laki itu. Aku merasa ini begitu aneh.

Mungkin ini sudah kali ke-lima atau empat, aku menangkapnya dalam pemandangan seperti ini. Terpuruk. Dari kejauhan aku bisa merasakan rasa kosong itu mulai berjalan mendekatiku, giginya yang tampak bergemeletuk menahan dingin atau tangannya yang Ia kepal kuat-kuat, membuatku semakin terhanyut mengarungi perasaannya. Membayangkan apa saja yang mungkin sedang Ia pikirkan di tengah hujan deras.

Cinta? Keluarga? Atau pertarungan jiwa?

Dan mungkin kemungkinan ketiga yang paling menyedihkan. Jika urusan cinta atau keluarga aku kira Ia tak perlu berhujan-hujan ria demi menyelesaikannya, Ia cukup kembali dan mengungkapkan apa yang perlu. Tapi kalau masalah pertarungan jiwa... itu lebih rumit. Karena kau berusaha bertengkar dengan jiwamu sendiri, memperebutkan gelar pemenang bagi satu tubuh yang sama. Menakutkan.

Tangan-tanganku kembali merangkup gelas dan menempelkannya di mulutku, yang lalu perlahan menyesap isinya. Aku mengulangi tindakan itu beberapa kali tanpa melepas pandangan pada lelaki itu yang tetap berdiri mematung di sebelah jembatan.

Sosok yang sedari tak bergeming itu mulai melangkahkan kakinya lebih mendekat ke arah jembatan sungai. Tungkainya Ia angkat satu, dan disimpan pada undakan besi jembatan. Mungkinkah.... dia ingin bunuh diri?

Aku terkesiap. Ini bukan saatnya untuk menonton atau apapun, Ia memerlukan bantuan setidaknya satu orang harus melakukan sesuatu. Mataku terpejam untuk sebentar, lalu kembali membuka setelah memutuskan untuk berlari menyelamatkannya.

Badanku bangkit lalu berderap keluar kafe dalam tempo lari, hingga akhirnya sampai di tempat lelaki itu berdiam diri. Kedua kakinya yang hampir melompati jembatan sungai, aku tarik dalam sekali tarikan kasar hingga kamiㅡdia dan aku tersungkur ke tanah. Ia menatapku ganas, tapi rasa kosong itu tetap melekat. Matanya bergerak lincah menandingi air hujan yang semakin turun cepat.

"Jangan terlalu mudah untuk menyerah pada kehidupan." Ucapku keras yang hampir tak terdengar karena diselip suara air hujan. Aku mengucapkan perkataan klasik untuknya. Berkata itu memang mudah. Mungkin itu yang akan Ia ucapkan. Tapi Ia malah menilik wajahku hingga ujung kaki secara acak. Meletakkan pandangan intens yang nyaris membuatku terintimidasi dan sesak napas.

"Jisoo... Kim Jisoo!" Bibirnya yang terkunci rapat itu berkata dalam volume lembut, tapi tetap terdengar. Aku membulatkan mata ketika namaku disebut.

Mungkinkah... dia peramal ulung? Seperti yang dikisahkan bisa menebak apapun atau siapapun kecuali nasibnya sendiri? Seperti itu? Atau jika tidak... Ia seseorang yang mengenalku?

"Akhirnya Jisoo datang." Cericipnya lagi dengan beberapa gumaman lain yang tak sempat kudengar karena bising air hujan yang memenuhi telingaku. Ia terus meraung sendu menyebut namaku seolah-olah ada luka yang tersisip di hatinya.

"Jisoo... Maafkan aku. Aku pantas mati, benar-benar perlu mati." Perlahan gumaman nya itu mulai mengeras. Aku atau kita sama sekali tidak berniat untuk bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam kafe. Tidak ada yang harus dipedulikan, karena jembatan ini sepi akan orang banyak. Jiwaku kembali bermain menghampiri dan mencoba menerawang hati lelaki yang ada di hadapanku ini. Kata-kata ingin dan pantas mati, terus mengulang di sekitar lidahnya hingga memasuki dan terekam pula di otak ku.

"Jika menurutmu kau pantas mati, maka matilah sesegera mungkin." Aku mengatakan itu seperti sungguh-sungguh membuat lelaki itu mengangkat mukanya dan mentapku lebih dalam.

"Benar.. Jisoo juga menyuruhku untuk mati." Racaunya lagi dengan raut kehilangan arah. Aku tersenyum geli melihat lelaki ini. Hipotesisku tidak begitu salah, Ia tercambuk oleh cinta mati sepertinya.

"Padahal aku sangat mencintainya." Ungkap lelaki itu dengan suara parau. Kini giliranku yang menatapnya dengan anak mata terkejut.

"Kau pendusta, Kim Jiwon." Rasa sakitku kembali mucul setelah mendengar pengakuannya. Itu telah lama terjadi. Semuanya hanya masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam. Kisah antara aku dan lelaki ini sudah lama selesai, Ia mengkhianatiku tepat pada hari pernikahan. Bermain angin bersama sahabatku yang bahkan sudah lama namanya kuhapus dari ingatan. Aku telah mengetahui hubungan gelap itu sejak lama, tapi aku terlalu egois untuk mengakuinya. Aku kira dengan menutup mata akan kenyataan semuanya akan berlalu, tapi tidak. Hingga akhir, aku bersedia terluka oleh seorang Kim Jiwon. Ia sama sekali tidak menampakkan diri di altar pernikahan.

Aku mendekat ke arah Jiwon, memeluknya segenap jiwa. Semoga perasaan nya akan segera tenang, Ia menangis tersendu-sendu dalam pelukanku. Cinta yang Ia ungkap, aku sangat tersanjung. Hatiku sedikit bergetar ketika kata-kata yang telah kutunggu sejak lama akhirnya berkumandang dari mulut Jiwon.

"Jisoo-mu yang pemaaf telah lama mati. Kau bahkan sudah tak berhak mengungkit tentang cinta di hadapanku, Jiwon." Bisikku pelan setelah tangisan Jiwon berhenti dan diganti oleh gema kesakitan. Aku menusukkan sebilah cutter tepat pada bagian ginjalnya. Dengan beberapa tusukan di sekitar area organ hati. Aku menariknya lalu memasukkan kembali, berharap cutter ini akan mengoyak isi hatinya sebanyak ia mencabik rasa cintaku dahulu. Darah segar milik Jiwon bersimbah ruah bercampur baur secara romantis dengan air hujan. Aku tidak peduli tentang apapun dan tetap memeluk Jiwon agar Ia tidak merasa dingin. Kami berpelukan bahagia di bawah rinai hujan, sebelum aku menyusul Jiwon untuk sama-sama pergi menuju negeri penuh damai serta keabadian.

"Pada akhirnya, hanya aku yang mampu mendekapmu, 'kan?"

FIN.

On Rainy DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang