bagian satu

5 0 0
                                    

Diluar masih hujan, dan belum ada tanda akan reda aroma kopi latte mas Baim terasa sampai di tempatku mengulik sepasang sepatu dari tanah liat. Padahal jarak tempatku saat ini dan kedai kopi mas Baim bersebrangan  jalan tapi kenapa kopinya tercium sampai disini pasti ini karena aku ingin minum kopi apa lagi cuaca saat ini sedang hujan.
Aku berjalan ke arah wastafel mencuci tangan dan bersiap akan ke tempat mas Baim, ada tempat duduk yang sudah ku cap itu punyaku di sana, pojokan yang menghadap langsung ke arah taman bermain anak anak dengan aneka macam  bunga salah satunya bunga Daisy, bunga kesukaanku pun hidup dengan subur di bawah jendela tepat dengan kursi dan satu meja hias berpotkan keramik bermodel botol dengan berhias bunga daisy berwarna ungu yang sengaja mas Baim isi dan ganti setiap hari, ngomong tentang mas baim dia adalah mas terbaikku sahabat sekaligus kakak buat aku yang hidup di rantau dan jauh dari ibuk.
Aku keluar dari ruanganku, ternyata pemajangan masih lumayan ramai di kunjungi para calon pembeli dan mereka yang sekedar melihat benda benda yang berjejer di pamerkan di etalase kaca dan rak rak penyimpanan lukisan. Di dalam Studio lukis pun nampak mas Denis, dan Sinta masih asik mencoretkan warna di setiap sketsa sketsa abstaknya, mengapa mereka membiarkan pintu terbuka lebar seperti itu,  ini sudah jam pulang mengapa mereka nampaknya masih enggan untuk bergegas pulang. Aku berjalan ke arah mereka nampaknya mereka tidak menyadari kehadiranku
"Kok pintunya ndak di tutup mas denis?" Sapaku setelah berada tepat di depan pintu
"Ya allah, ibuk ngagetin loh koyok demet ra krungu leh mlaku andang-andang muncol suarane" nampak kocak sekali mimik mukanya aku hanya tersenyum menahan geli (ya allah, ibuk ngagetin loh kayak setan tidak dengar jalannya tiba tiba ada suaranya)
"Ibu mau pulang?" Itu pertanyaan Sinta
"Ini mau pulang, tapi mau singgah di tempat mas baim, sampean ndak ikut? Tanyaku dengan nada menggoda karna aku tau sinta punya rasa, sama mas baim dari dulu
"Arep ngopo"(mau apa) tapi jelas itu bukan akhiran tanda tanya tapi seperti nada ketus yang menyebalkan
"Minum kopi, hangatin badan hujan hujan" jawabku
"Kalo hangatin badan mah pake slimut buk" jawaban kocak mas denis dan mendapat toyoran dari sinta, aku selalu ketawa dengan mereka berdua seperti tidak pernah akur
"Pikiranmu mas mas, ket mau kelon teros"(pikiranmu mas mas dari tadi tidur terus" jawaban sinis sinta yang di ketawai dengan mas denis, sepertinya sinta sudah paham betul bahwa pikiran mas denis memang selalu mengarah ke hal yang tidak berguna tapi itu sebatas bercanda dan itu memang kami akui cletukan cletukan mas denis yang seperti ini kadang kami butuhkan di saat otak lagi pusing karna memikirkan tema kerjaan yang tidak habis habis
"Jangan pulang magrib ya, saya duluan" jawabku sambil berlalu dari mereka berdua dan masih ku dengar suara mas denis  meminta ampun karena sinta mencubitnya sangat keras.
Ku keluarkan payung bermotif bunga daisy hadiah dari ibuk katanya dia membeli online  langsung dari korea ah ibu ada ada saja sangat tau bahwa anak gadisnya ini mencintai oppa oppa Negri Gingseng itu.
Berjalan memakai payung untuk sekedar menyebrangi jalan dan menghindari hujan padahal aku berlari pun pakaianku tidak akan basah, dan suasana saat ini sedang sepi di jalan raya jadi tidak akan ada kendaraan yang lewat dengan kekuatan lari seribu langkah aku bisa langsung sampai di teras kafe tapi ini aku lebih senang jalan santai dengan melihat air hujan menetes di ujung payung. Sampai di kafe mas baim aku tidak menutup payungku membiarkannya tetap begitu agar bisa kering terkena angin kusimpan di ujung dekat pintu keluar dan aku langsung masuk, tak kulihat sosok mas baim hanya ada Renata, Rara dan beberapa pegawai lainnya yang sedang meracik kopi dan menyiapkan cup cup kecil morfin dengan aneka toping. Aku menatap lurus tepat di tempat duduk yang biasa ku duduki kulihat seorang laki laki seumuran mas Baim duduk memainkan ponselnya  nampak serius aku menghembuskan nafas kesal karena mas Baim tidak ada akhirnya tempat itu di tempati orang lain.
Aku berjalan gontai ke arah Rara yang nampaknya sudah tau akan kehadiranku
"Mbak Rayi cari mas Baim ya, mas Baimnya lagi keluar sebentar" tanpa ku tanya sepertinya Rara paham aku akan bertanya apa. Aku tersenyum menanggapinya
"Kopi coklat hangatnya ya Ra, bawakan ke ujung sebelah yang sana" aku menunjuk tepat di kursi depan laki laki yang menduduki kursi kebesaranku itu. Rara mengangguk dengan cengiran khasnya
"Maaf mbak Rayi, tempatnya sampean yang biasa di duduki orang lain" dengan nada bersalah Rara berkata dan aku hanya tersenyum seoalah memberikan jawaban bahwa itu tidak masalah.
Aku menarik kursi menghadapkannya ke arah jendela, sudah berapa hari ini sejak musim hujan tiba taman ini nampak sepi tidak seperti biasanya anak anak nampak berlari mengejar kupu kupu dan capung yang hidup liar di taman. Aku membuka jendela memetik tiga tangkai bunga Daisy kecil berwarna kuning dan kulapisi dengan tisu lalu ku simpan begitu saja, aku melirik meja di sampingku nampaknya keramik buatanku lima bulan lalu yang sengaja mas Baim ambil dari studio kantorku untuk menghiasi meja tempat kuasaku itu telah berganti bunga, setauku kemarin warna bunganya putih sekarang warnanya merah jambu, mas Baim selalu menggantinya setiap hari membuatku terkesan pada sosok sahabatku itu yang selalu ku repotkan siang dan malam.
"Selamat menikmati kopi coklat hangat buatan Raden Mahesa Ibrahim, Diajeng Rayina" suara mas Baim membuyarkan pikiranku aku moneleh melihat mas Baim tersenyum jail ke arahku
"Mas Baim... Jijik" ucapku tanpa ekpresi
Dan ku dapat mas Baim ketawa terbahak bahak setelahnya
"Donat tepung gula halus Ray, buatan Risa untuk kamu katanya" kulihat mas Baim menyimpan nampan berisi kopi pesananku dan satu mika kecil berisi 4 butir donat kentang kesukaanku.
"Wiihhh, jadi menghilang dari kafe pergi ketemuan sama bebep sampek lupa sama singgasana ratu yang harus di jaga 24 jam" jawabku sinis dengan nada bercanda
"Hahahaaa aku malah ndak sadar Ray, kalo singgasanamu sudah di lengserkan dan berganti tahta menjadi maharaja yang terhormat" bukannya bersalah malah dia menggodaku seperti ini dasar kantong koala kamu mas.
"Mau aku suruh pindah mas gantengnya Ray" dengan berbisik di telingaku, mas Baim ini ada ada saja masa iya orang duduk nyaman begitu mau di usir.
"Kalo kamu mau setelahnya kafe mu sepi dari pelanggan dan ada berita online seorang pengusaha kafe kecil bernama Raden Mas Mahesa Ibrahim  Narendraduhita keturunan Raja Kartanegara yang ke seratus enam belas mengusir salah satu pelanggannya..."
Aku berhenti karena mas Baim membekap mulutku dan kulihat laki-laki di sebelahku ikut memandangku dengan tatapan aneh.
"Rayi.. sstop !"  Kulihat mas Baim nampak kesal dengan bicaraku yang hiperbola tadi.
"Edan kamu Ray, aku tadi bercanda"
"Aku juga bercanda " jawabku dengan masih tertawa..

✨✨✨
Yeyyyy
Hari rabu
Malam kamis
Aku rindu
Sama yang punya senyum manis🤪

Salam hangat dari aku untuk semuanya yang sudah singgah sedekar membaca tulisannku❤️

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang