Hanya belum

55 13 3
                                    

Hanya belum

"Eh... helmnya udah balik?" goda Lea yang memergoki si bungsu baru saja masuk ke dalam rumah. "Apa ini tandanya udah baikan?"

Abian melarang Ibunya untuk berbicara terlalu keras. Karena takut Ezra mendengar pembicaraan mereka.

"Jangan keras-keras. Nanti Mas Ezra denger."

"Gue udah denger." Ezra dengan celana selutut dan kaos polos. Membawa satu gelas coklat dalam genggaman. "Sok-sokan bilang benci, marah-marah. Giliran bocahnya kecelakaan, malah ditangisi. Sekarang balikan lagi. Drama lo." Abian yang sudah bersiap untuk memukul Ezra, dihadang oleh Ibu.

"Nggak bisa ya kalo nggak berantem sehari aja."

"Itu Mas Ezra ngeledek mulu." adu Abian kesal. Yang mana membuat Ezra semakin gencar menjahili.

"Mas Ezra, aku nggak apa-apa pisah sama Ghani, asal Ghani baik-baik aja." Ezra menirukan gaya berbicara Abian. Sangat menjiwai, dengan wajah pura-pura menangis yang dibuat sejelek mungkin.

"Paaaaakkkkk, Mas Ezra nih." Abian berteriak dan siap melempar sebelah sandalnya ke arah Ezra.

Sementara Lea yang melihat itu, hanya mampu menggeleng pasrah. Mereka bukan lagi anak kecil seperti dulu. Yang jika bertengkar, Lea hanya perlu menggendong Abian untuk memisahkannya. Semakin besar, Lea selalu butuh Galih untuk melerai pertengkaran anak-anaknya. Meskipun pertengkaran mereka bukan untuk saling menyakiti. Hanya Ezra saja yang memang hobi menggoda Adiknya.

"Mas... udah jadi Dokter kok masih suka jailin Adeknya sih?" Galih yang duduk di depan ruang keluarga menegur Ezra.

"Ya habis dia pacaran terus."

"Kamu juga boleh kok pacaran." kata Galih. Abian menjulurkan lidah ke arah si Mas Ezra.

"Masalahnya belum ada yang mau sama Mas Ezra, Pak." sahut Abian tidak mau kalah.

"Banyak yang mau sama gue. Cuma gue aja ogah. Drama kayak lo nanti."

"Gue doain cerita cinta lo lebih drama dari gue ya, Mas."

"Heh Adek, mulutnya." tegur Lea. "Mas Ezra lagi belum nemu yang tepat kayak Adek yang udah nemu Ghani. Kayak Ibu yang udah nemu Bapak. Nanti Mas Ezra bakal paham gimana rasanya emosi dalam dirinya pada aktif." nasihat Lea.

"Nggak lah, Bu. Ngapain nangisin anak orang? Kalo emang nanti Mas Ezra nemu orang untuk dicintai. Mas Ezra nggak bakal repot-repot nguras emosi." Galih menggeleng ketika mendengar ucapan si sulung. Persis seperti dirinya dulu sebelum bertemu dengan Azalea.

"Ini Bapak cuma mau ingetin aja ya, Mas. Sebagai yang pernah punya prinsip kayak kamu. Nggak masalah kamu punya pedoman begitu. Tapi nanti ketika kamu nemu orang yang tepat. Itu semua nggak akan berlaku."

Ezra sedang tidak mengalami jatuh cinta. Jadi dia tidak akan paham bagaimana rasanya sedih karena takut kehilangan. Bagaimana rasanya bahagia hanya karena senyum seseorang. Dan memohon dengan segenap jiwa, hanya agar seseorang itu tetap di sampingnya.

Ezra juga tidak akan pernah paham, bahwa makna cinta yang sesungguhnya bukan menerima. Tapi memberi sebanyak yang ia bisa.

"Aku mau cerita sesuatu ini mumpung Bapak lagi nggak tugas." Ezra menjeda ucapannya sejenak dan ikut duduk di samping Galih. "Kapan hari Dokter Yoga dateng ke ruangan ku buat diskusiin sesuatu. Dokter Yoga minta tolong ke aku buat handle keponakannya yang sakit jantung. Jujur, ini pressure banget buat aku. Ini keponakan orang penting nomer satu di Rumah Sakit." binar bangga muncul dari mata Lea ketika mendengar pencapaian si sulung. Berbeda dengan Ezra yang masih ragu dengan dirinya sendiri.

"Tekanan itu muncul kalo kamu ragu-ragu, Mas. ini udah ditunjuk langsung lho sama Dokter Yoga." kata Lea memberi semangat.

"Tapi kalo aku gagal gimana, Bu?" adakalanya Ezra yang hebat itu, sering mengeluh tidak percaya diri. Padahal di depan orang banyak. Dia bisa jadi sosok yang luar biasa menginspirasi. Memang keluarga selalu menjadi tempat paling tepat untuk mencurahkan segala kekurangan yang dimiliki.

"Belum nyoba kok bilang gagal? Mas Ezra sama aja ngremehin diri sendiri. Inget nggak waktu aku baru rilis usaha sama Ghani? Mas Ezra bilang, ya jalanin aja dulu." Abian turut meyakinkan.

"Coba dulu." ucapan Galih, menjadi akhir dari pengambilan keputusan Ezra. Bahwa dia harus mencoba semaksimal usahanya.

Kesempatan ini datang tidak akan dua kali. Dan Yoga mempercayakan dirinya langsung untuk menangkap kesempatannya.

Ave.

Family Value (Galih Vers)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang