Bab 3: Terungkap

456 97 3
                                    

“Kau masih bisa tersenyum di tempat mengerikan ini? Mimpi apa yang membuatmu tersenyum, hem?” Pria yang membawa Alisia pergi dari pesta, mengelus pipi pualam itu yang terasa hangat di kulit tembaganya.

“Butuh berapa lama lagi kau bangun, tukang tidur?” Pria itu masih betah bermonolog. Hingga bulu mata lentik milik Alisia bergerak gelisah. Iris hijau itu menjadi hal pertama yang dilihatnya.

Masih menjadi misteri, mengapa hanya melihat mata hijau itu saja kehangatan asing menyerbu dadanya brutal saat menyentuh di titik di mana jantungnya bergemuruh. Ia mengernyit tak suka dengan situasi dirinya yang sangat berbeda.

Tiba-tiba ia terkesiap, saat tangan Alisia menyentuh lembut pipinya. Kerutan di dahinya makin dalam merasakan jantungnya lebih ganas belingsatan. Masih di posisi yang sama, miring bertopang siku menghadap Alisia yang begitu rapuh membalas tatapannya lebih berani.

“Apa yang kau pikirkan?” Suara pria itu menjadi parau.

Sedetik kesadaran Alisia kembali ke tempat yang seharusnya begitu ia mengerjap beberapa kali. Panik, Alisia beringsut menekan punggungnya ke kepala ranjang. Padang ilalang penuh bunga yang tadi ia pijak, serta seorang malaikat rupawan, mengapa berubah menjadi sebuah tempat yang berbeda bersama pria kejam ini.

“A—aku. A—apa yang terjadi?! Di mana aku?!”

Tiba-tiba berada di suatu tempat yang tidak ia ketahui, bersama seorang pria bertelanjang dada begitu dekat dengannya jelas membuat Alisia ketakutan setengah mati. Dengan tangan bergetar dan merapal doa dalam hati, ia angkat pelan selimut yang menutupi tubuhnya.

Sebuah gaun satin perak sama percis dengan warna rambutnya membalut tubuhnya. Begitu tipis dan bertali di pundak sehingga mengekspos lengannya yang putih pualam. Alisia menaikkan seluruh selimut menutupi badan atasnya dan hanya menyisakan kepalanya saja.

Hujan deras menaungi iris hijau itu seiring ingatan-ingatan terakhir kali menyerbu. Pesta. Menjadi maid. Oliver dan teman-temannya memaksanya menenggak minuman keras. Ia sedikit mabuk. Oliver mencoba melakukan percobaan pelecehan kepadanya, tetapi syukurlah itu tak terjadi, pasalnya pria di sampingnya lebih dulu menyelamatkannya. Menyelamatkannya?

Alisia perlahan memandang pria itu yang tak bereaksi sedikit pun. Selayaknya patung yang setia pada posisinya. Sejurus memandang Alisia begitu posesif dan hangat? Apa justru pria inilah yang  mengambil kehormatan Alisa saat ia dalam keadaan tak berdaya? Menilik posisi mereka di satu ranjang yang sama dan dalam posisi kurang pantas.

Tentu saja! Semua pria sama saja saat bertemu dengannya. Hanya nafsu yang ada di pikiran mereka. Termasuk pria ini yang menjadi buaya, menggantikan singa yang sebelumnya memerangkap Alisia.

“Kau pikir aku mengambil kehormatanmu?” Pria itu membuka suara dan mendengkus sinis. “Belum jika itu yang kau harapkan, tapi nanti setelah pernikahan kita. Aku akan mengambil hakku.”

“A—apa?” Alisia senang jika ia tidak ternodai, tetapi yang membuatnya bingung kata-kata terakhir pria itu.

“Sebenarnya kau siapa? Kenapa kau mengajakku menikah. Bukankah kita baru bertemu dua kali? Lagi pula aku tidak mengenalmu, namamu saja aku tidak tahu. Aneh rasanya kau langsung mengajakku menikah.”

“Aku sudah lama mengawasimu. Jadi, tidak ada alasan lain untuk menghalangi niatanku untuk menikahimu.”

Kerutan di kening Alisia semakin banyak. “Tapi aku tidak tahu namamu?” ungkap Alisia amat polos.

“Namaku Zac Forester, seorang Fallen Angel penguasa lembah tergelap di Aravages dan kau adalah seorang Elf dari Klan Alexi.”

Apa pria ini baru saja membual? Atau dirinya yang masih berada di dalam mimpi? Ya, pasti! Lihatlah betapa kamar yang dihuninya jauh dari kata modern. Seperti berada di kastil kerajaan, tapi bernuansa begitu kelam. Ketika ia menutup mata, Alisia akan kembali ke kamarnya yang begitu soft dan mendapati bau harum pancake buatan ibunya yang baru matang, pikirnya. Namun saat ia membuka mata, keyakinannya jadi meragukan. Ia masih di tempat yang sama.

“Melihat reaksimu, sepertinya Greta belum mengatakan asal-usulmu.”

“Apa maksudmu?! Jangan mempermainkanku dengan dongeng anak kecil!” Alisia berteriak.

Zac menggeram marah. Ia pun mencengkeram dagu Alisia, memaksanya hanya melihat ke arahnya. Alisia dapat melihat warna mata Zac berubah merah darah, pria ini benar-benar sangat marah.

“Aku akan membuatmu percaya.”
Zac dengan tubuh hanya terbalut celana piama saja, menarik paksa Alisia turun dari ranjang.

Alisia meronta, tapi dengan tubuhnya yang lebih kecil dari Zac mustahil dapat terbebas dari cengkeraman Zac dengan mudah. Akhirnya ia memutuskan untuk pasrah saja ke mana pun Zac membawanya.

Jalan yang mereka lalui berupa koridor yang panjang dan bercabang-cabang lalu menurun melewati tangga. Alisia mengeluhkan dinginnya marmer langsung menembus telapak kakinya yang telanjang dan betapa jauhnya perjalanan mereka. Alisia ingin protes, tetapi ia telan kembali mengingat Zac sedang marah. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi, apabila Alisia menambah kekesalan pria itu.

Sebuah gerbang berdaun dua terbuat dari baja tebal dan sangat tinggi terukir simbol dua sayap besar, dijaga oleh dua Orc sangat besar dan tinggi pula yang bagi Alisia sangat mengerikan. Dua Orc itu membukakan gerbang untuk Zac. Seketika ribuan sel berjejer sepanjang koridor yang kotor dan pengap.

Zac terus menyeret paksa tubuh Alisia. Sementara gadis itu mengedarkan ujung matanya ke setiap sel yang dihuni oleh manusia dan makhluk entah apa saja. Alisia bergidik ngeri dan perlahan sedikit mempercayai kata-kata Zac bukanlah bualan, tetapi Alisia tak ingin menelannya mentah-mentah sebelum ia mendapatkan informasi lebih jelas lagi.

Zac berhenti di sebuah sel. Ia mendorong Alisia lebih dekat ke jeruji. Pupilnya melebar begitu tahu penghuni sel satu ini.

“I—ibu!” Alisia memanggil ibunya dengan suara bergetar.

Greta terseok mendekati jeruji. Keadaannya begitu menyedihkan. Terdapat bekas air mata di wajahnya. Belum mengering, sudah basah lagi mendapati putrinya berada tepat di depan matanya. Syukurlah, Alisia baik-baik saja. Pria kejam di belakangnya tidak menyakiti Alisia, atau belum. Tinggal tunggu waktu sampai pria itu akan merenggut nyawa Alisia cepat atau lambat demi mencegah ramalan kematian pria itu terjadi.

Tangan keriput itu melewati jeruji, menggenggam tangan Alisia erat. Mereka menangis bersamaan. Jeruji besi yang dingin, tidak menghalangi mereka untuk saling memeluk.

“Katakan kepadanya yang sebenarnya, maka Alisia yang kau anggap anak terjamin keselamatannya di sisiku.” Zac berkata sangat dingin.

Tiap kata yang diucapkan seorang Pangeran Kegelapan selalu membawa teror dan keberadaannya tidak jauh dari kematian. Greta takut, tetapi tidak sepenuhnya percaya dengan kata-kata pria itu. Tidak mungkin pria itu membiarkan ancaman terbesarnya hidup. Pasti hanya taktik pria itu untuk mengancamnya saja.

“Cepat katakan sekarang! Atau kau memang menginginkan anak asuhmu ini terluka di depanmu langsung?!”
Zac menarik Alisia di sisinya, melingkarkan lengannya sepanjang leher dan lengan satunya merengkuh posesif perutnya. Alisia terkesiap dan menangis terisak.

“Ba—baiklah.” Greta membasahi tenggorokannya yang kering, memandang Alisia pilu. “Alis, kau bukan manusia, melainkan seorang Elf dan aku bukanlah ibu kandungmu. Melainkan pengasuhmu, yang diberi tugas oleh Raja Zaragas dan Ratu Claire untuk menjagamu di dunia manusia. Mereka adalah orang tua kandungmu.”


Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang