Bab 7: Mate

452 91 1
                                    

“Bagaimana pergerakan bangsa Elf?” tanya Zac, ia memasukkan pedang Lysius-nya yang bermandikan darah penyihir menjadi serpihan hitam, perlahan menyerap tangannya.

“Mata-mata kami telah menyelidiki, bahwa bangsa Elf sedang menghimpun kekuatan besar. Dengan bergabungnya Kerajaan Nort dan Kerajaan Zalatan maka sudah dipastikan Bangsa Warewolf dan Vampir akan menjadi ancaman terbesar untuk Pangeran.” Aldous menjelaskan.

Zac menyeringai. “Dominic pasti sangat dendam kepadaku karena telah membuat orang tua sekaligus adiknya dalam tawananku. Well, kita lihat apakah dia berhasil menumbangkanku? Karena aku pastikan tidak akan mudah.”

“Apa Pangeran tidak khawatir, kemungkinan besar penyihir hitam dan putih membentuk aliansi. Mereka berniat ikut campur dalam peperangan besar kali ini?”

Zac melangkah dari kubangan darah di kakinya. Kepuasannya hari ini sungguh luar biasa. Pembantaian keluarga  Geraldio adalah harga pantas bagi penyihir hitam yang hendak mengkudeta Pangeran Kegelapan. Ia membenci penyihir karena praktik sihir yang mereka lakukan membuat Zac menjadi pria terkutuk di seluruh Aravages.

“Untuk apa khawatir. Dari dulu makhluk menjijikkan itu selalu ikut campur. Lagi pula Alisia ada di tanganku.”

“Hamba tidak mengerti tujuan Pangeran mengizinkan Putri memanah dan mempelajari ilmu perang. Bukankah, dia adalah ancaman terbesar Pangeran. Justru dengan membiarkannya menguasai ilmu perang dan mempelajari kekuatan Elf, maka kematian Pangeran akan semakin mudah.”

“Aku tidak tahu apakah takdir bisa diubah atau tidak. Takdir tetaplah takdir, bukan? Aku mungkin tidak bisa mencegahnya.”

Sabetan api keluar dari tangannya, menerabas udara hingga memotong seorang penyihir menjadi dua sebelum penyihir itu merapal mantra ke arahnya. Insting Zac sangat tajam, dalam situasi teralihkan saja, ia mampu bersikap waspada terhadap bahaya sekitar.

“Aldous.” Zac menepuk bahunya. “Aku perintahkan kau untuk menjaganya saja. Apa pun yang terjadi, biarkan dia memilih. Saat itu tiba, aku ingin kau tidak mencegahnya karena dia mate-ku.”

Aldous menatap kedua sayap hitam tuannya yang mengepak dan meninggalkan padang sabana yang kini telah diubah tuannya menjadi pemakaman masal.

Aldous tiba-tiba tersentak. Setiap ucapan tuannya ia rakit dalam satu kesimpulan besar berhasil ia dapatkan. Tidak mungkin Pangerannya menyerah dengan mudahnya.

***

Selama seminggu, Alisia mendapatkan pelajaran intens mengenai ilmu pengetahuan Elf dan ilmu perang. Sejauh ini, ia dapat mengeluarkan cahaya perak dari tangannya dalam skala kecil. Ia bahkan dapat menghancurkan benda kecil, seperti kerikil dan ranting. Sebuah kemajuan pesat bagi pemula.
Yang sulit saat mempelajari ilmu pertahanan diri. Ia harus membuat kubah yang menyelubungi tubuhnya dari cahaya sebagai tameng untuk menangkis serangan benda tajam, pun ilmu sihir. Alisia memerlukan tenaga besar untuk membuat satu kubah kecil. Tak jarang ia lemas dan terjerembap.

Kali ini justru buruk. Ia berhasil membuat setengah kubah nyaris menutupi tubuhnya, nahasnya tenaganya tidak cukup. Kekuatannya justru menyerang dirinya sendiri. Mengakibatkan darah segar mengalir dari sela bibir.

Sebelum Alisia jatuh menyentuh tanah, seseorang lebih dulu merengkuh pinggangnya.

“Tidak perlu bekerja keras. Pelan-pelan saja.”

Bulu matanya yang lentik bergetar, kelopak matanya membuka lemah. Alisia tak percaya bahwa Zac-lah yang menyelamatkannya dari jatuh.

“Pangeran?”

“Panggil aku Zac.”

“Zac, aku suka nama itu.” Alisia lega, ia tak perlu lagi menahan diri untuk memanggil nama aslinya. Panggilan Pangeran baginya terasa sulit untuk Alisia gapai. Sementara nama Zac, begitu mudah dieja dan menciptakan kehangatan lain yang beberapa waktu semenjak kali pertama melihat Zac, hatinya dibanjiri perasaan hangat.

Elf 🔚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang