Rak Sepatu: Part Satu

25 3 2
                                    

Gadis berwajah muram itu, Sahara namanya. Membenci dunia, hatinya terlalu gersang untuk hidup di tengah beragam jenis manusia. Tiada hari tanpa mengumpati Tuhan kenapa ia dilahirkan. Segala seluk-beluk drama dunia ini, terlalu melelahkan untuknya.

Sahara pulang sekolah berjalan kaki. Dari depan gerbang gadis itu melepas kacamatanya, membiarkan pengelihatannya yang kabur menuntunnya sampai ke rumah. Melihat wajah manusia terlalu menyakitkan. Segala rupa ekspresi bisa mereka keluarkan dengan bebas, seolah mengejek Sahara yang hanya bisa murung.

Langkah kakinya ia lambatkan. Lagipula kenapa harus dipercepat kalau sampai di rumah, bunyi piring pecah dan lengkingan umpatan yang menyambutnya. Memasuki rumah sama saja menginjak medan tempur, bahkan lebih berbahaya.

Langkah kaki itu malas-malasan. Dengan pandangan buram di sekelilingnya, ia merasa tenang. Walau suara knalpot motor yang berisik membuatnya lagi-lagi mengumpati semua pengendara motor yang ada di dunia.

Berbelok memasuki lorong sempit yang diapit oleh dua bangunan besar. Rumahnya tinggal belokan setelah lorong itu. Sahara hafal. Tapi, siluet dua orang berbadan besar menghampirinya. Sahara tidak menarik, sudah sering ia dalam situasi serupa, tak mungkin gadis muram sepertinya akan diganggu preman kampung. Meski begitu jantungnya tetap berdegup kencang.

"Mbak, minta nomer telponnya dong."

Sahara tidak peduli. Ia lurus saja, tapi salah satu dari dua orang tadi menghalanginya. Tetap memaksa meminta nomer ponselnya.

"Maaf gak bisa, permisi saya harus pulang," balasnya jutek. Tapi jantungnya berdegup kencang, kakinya lemas.

"Gak bisa mbak, kasih nomer telponnya dulu, baru lewat."

Gadis itu menyesal melepas kacamatanya. Mau melawan sama saja, ujungnya ia akan memukul udara karena buram dari pengelihatannya. Sungguh ia menyesal.

Mata gadis itu berkaca saat merasakan bokongnya dicolek. Ia sontak memeluk dirinya memasang posisi melindungi diri. Tubuhnya ia sandarkan ke tembok. Dalam hati Sahara meminta secuil kebaikan Tuhan untuk melindunginya.

"Loh kenapa, nih?"

Satu suara berat muncul lagi. Sahara menarik doanya. Tuhan tidak mendengarkannya. Tidak masuk akal juga kenapa Tuhan mau mendengar umat lupa diri dan penuh dosa sepeeti dirinya.

"Pada lagi ngapain si, kok gangguin cewek?"

Entah kenapa Sahara merasakan sinyal baik dari kedatangan suara baru itu. Siluet dari ujung lorong itu mendekat. Semakin dekat hanya saja wajahnya tidak jelas tertangkap di mata Sahara. Ia hanya bisa melihat seragam sama yang dikenakan lelaki itu dengan dirinya.

"Cewek lo ya?" tanya salah satu preman itu.

Lelaki itu menggaruk tengkuknya bingung. "Bukan sih bang, cuma kalau mau minta nomer yang gentle gitu. Masa ceweknya ampe mau nangis gini." Telunjuknya menunjuk gadis yang meringkuk ketakutan di tembok.

Preman itu kesal. Ia maju satu langkah memasang posisi menantang. "Trus lo mau apa, hah?"

Lelaki itu meletakkan tangan di depan dada memberi jarak pada preman yang mendekatinya.

"Saya gak jago berantem bang. Udah pasti kalah si. Abang-abang ini pasti chatnya sepi kan, ya? Kalau sama dia pasti gabakal dibales bang. Nomer saya aja mau gak? Nanti saya temenin ngechat 24 jam penuh deh."

Kedua preman itu malu. Salah satunya menjawab lelaki itu, "Gak usah, gak naksir sama batang. Puih!" Lalu keduanya melangkah pergi.

Lelaki itu mendekati Sahara yang masih meringkuk ketakutan di tembok. Dalam jarak ia bertanya, "mau saya antarin pulang?" Sahara mengangguk patah-patah.

Hanya tingggal belokan Sahara tiba di kediamannya. Ia membuka pagar lalu masuk. Tidak ada terimakasih yang keluar, mulutnya sempurna terkunci. Tapi lelaki itu tampak baik-baik saja dengan perlakuan Sahara. Ia juga langsung berbalik meninggalkan area itu.

Hampir memasuki rumahnya, Sahara mengocok tasnya mencari kacamata miliknya. Setelah ketemu, ia kemudiam berlari ke arah pagar. Penasaran dengan wajah si penolong tadi. Lelaki itu sudah berbalik, Sahara hanya bisa menangkap profil belakang lelaki itu dan sepatu miliknya.

Gadis itu menggigit bibirnya. Sepatu. Mereka satu sekolahan, tidak akan sulit mencarinya bukan?

***

Semalam Sahara coba ingat baik-baik sepatu milik lelaki itu. Entah kenapa ia berniat untuk untuk mencari tahu siapa penolongnya. Baru ia sadari juga dirinya belum sempat mengatakan terimakasih pada si penolong.

Sahara tiba di sekolah seperti biasanya. Ia membuka sepatunya, naik di koridor lalu memandangi rak-rak sepatu yang sebagian sudah terisi. Matanya dengan jeli menatapi satu persatu pasang sepatu yang ada di sana. Tidak ada yang sama seperti milik lelaki kemarin.

Tiba di rak paling akhir. Ia mencoba lebih tajam mengobservasi isi rak sepatu. Ketemu. Sepatu dengan list putih dan garis-garis putih di pinggirnya. Maka Sahara meletakkan sepatunya di sebelah sepatu itu. Ia yakin pulang sekolah, mereka pasti akan bertemu.

***

Segera berlanjut...

Rak Sepatu (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang