03

5 2 0
                                    

Ini cerita asli dari pemikiran gw, dan dari imajinasi gw. Jadi para plagiat, hush! Jauh-jauh, sana! Gue gak butuh plagiat!

Kalau ada typo atau segala macamnya, dikomentari.

Baiklah, selamat membaca😺


Setelah kejadian di lapangan basket tempo waktu, Estin memutuskan untuk langsung ke tempat kerjanya. Cafe milik pamannya tercinta. Cewek itu sepertinya menghukum dirinya sendiri karena sudah berbuat di luar kewajaran. Mengutarakan cinta pada idolanya namun ditolak. Udah gitu, gebetannya cuek, seperti air dingin yang sudah beku di kulkas, maksudnya ice cubes.

Setelah sampai di cafe, ternyata pamannya yang dipanggilnya ayah tercinta dan tersayang sedang berada di luar kota, berangkat ketika dia dan Bintang ada di sekolah. Itu adalah informasi dari ketua karyawan. Merasa kesal karena pamannya tidak pamit membuat Estin semakin badmood ditambah Bintang lagi ngedate bersama pacarnya. Langsung saja, setelah mengganti seragamnya dengan baju karyawan, tanpa mengisi perut. Padahal jarak sekolahnya dengan cafe pamannya sekaligus tempatnya bekerja lumayan jauh, butuh waktu satu jam. Berulang kali para karyawan menyuruhnya untuk istirahat dan makan, tapi Estin tetap keras kepala. Melayani para pengunjung dan mebersihkan meja kosong.

“Makanya kalo disuruh makan, ya makan. Jadinya gini kan, demam lo!” Bintang sudah sangat capek merawat Estin dari tadi. Pulang dari ngedate bersama pacarnya dia sudah disuguhkan pemandangan yang menjijikkan. Estin muntah di karpet ruang tamu. Bagaimana tidak sakit, pagi sebelum berangkat sekolah dia hanya memakan satu sendok nasi dan segelas air putih. Itu digunakan tubuhnya untuk melihat Elena yang bertingkah menjijikkan, harus kejar-kejaran dengan Dion, berdiri di dalam bus dan berdempetan dengan siswa yang merokok, bekerja sampai pukul sepuluh malam. Beruntung dia diantar salah satu karyawan pamannya.

“Ya maap, lo kalo gak ikhlas mending ga usah, deh.” Bintang yang mendengar itu mengepalkan tangan ingin menampar sepupu jarak dua bulan ini.

“Seratus, deh,” tawar Estin sembari memijit keningnya.

“Tambahin dong, lima puluh lagi.” Bintang juga menawar. “Ya udah, deh.” Estin pasrah. Hasil morotin Dion sepertinya harus dibagi dua dengan sepupu laknatnya ini.

Sama seperti Estin yang matanya suka berbinar mendengar apalagi melihat uang, seperti yang baca. Bintang langsung saja memasak bubur untuk cewek yang terkulai lemas di sofa yang sudah didorong menjauh dari karpet. Membersihkan karpet dan lainnya.

“Sampe gue sembuh, ya Bin,” ucap Estin setelah menelan bubur buatan Bintang. Sepupu Estin ini memang bisa diandalkan soal masak-memasak. Sudah cocok jadi ibu rumah tangga saja.

“Gak! Cuma malam ini.” Bintang menyolot tak terima. Estin yang memdengar itu hanya pasrah dengan muka memelas. “Ya udah, simpan ini.” Estin menyodorkan mangkok  tempat bubur tadi pada Bintang. Demi uang, Bintang segera melaksanakannya. “Lumayan beli cilok, hihi,” gumam Bintang sesampainya di dapur.

*
“Eh, kapan-kapan jalan yuk!” ajak Riana pada Estin dan Rama. Mereka bertiga sedang berada di bangku pojok kantin tempat favorit Estin. Chokky dan Silviana memilih makan siang di taman. Ingin berromantis ria katanya.

“Ke mana? Ada tempat baru gak?” tanya Estin sembari memotong baksonya menjadi kecil supaya muat di mulutnya. Kalau seperti biasa, dia akan menggigitnya tanpa memotong, kali ini akan memotongnya karena kemarin dia sakit. Tidak epic kalau dia tiba-tiba muntah karena baksonya tidak muat di mulut. Sebenarnya Estin hanya kepengan memotong bakso saja pakai garpu, itung-itung latihan memotong bola matanya Elena dan mata cewek-cewek yang suka mandangin wajah gebetannya, Chanyeol. Meskipun masih halu, tapi Estin yakin pasti akan terwujud. Karena Estin mempunyai visi halu aja dulu, misi kali aja kenyataan. Jadi visi misi Estin adalah halu aja dulu, kali aja kenyataan.

“Hmm, gue gak tau juga, sih. Emang lo gak tau ya, Tin tempat bagus atau terbaru, biasanya lo kan update,” ucap Riana setelah menyeruput susu kotak milo.

Pas istirahat kedua, Estin rela berjalan ke lantai bawah menemui kedua sohibnya. Riana and Rama.

“Emm, gue udah lama gak update kabar sih, kan gue sibuk, mwhehe.” Jawaban Estin yang terbilang cukup mereaahkan itu membuat Rama si cewek tomboi ingin melemparkan permen lollipopnya, tapi sayang belum habis.

“Gue serius, bego!” sentak Riana. Nah, kan, mereka bertiga ini memang klop. Estin yang suka cari masalah, Riana yang emosian, senggol dikit bacok dan Rama yang kalem lengkap dengan permen tangki.

“Hm, ke mall aja, gue mau beli baju,” ucap Rama. Riana mengangguk setuju. “Bagus tuh.”

“Bayarin ya, hehhe.” Estin menunjukkan cengirannya dan mengangkat dua jarinya membentuk V.

*
Meskipun Estin bekerja di cafe pamanyya dan menerima gaji tiap bulan, tetap saja Estin suka yang gratisan. Seperti sekarang ini, dia minta dibayari Rama. Cewek tomboi dan cuek itu memang snahat suka mentraktir mereka berdua asalkan mau menemani saja.

“Anjay, gue dapat undian lamborghini!” teriak Estin heboh ketika mereka sampai di parkiran pusat perbelanjaan. Estin sudah mendapat izin dari pamannya lewat telepon, karena pamannya sedang di luar kota, sementara Bintang sudah pasti jalan-jalan bersama sang pacar.

Riana yang mengenakan gaun selutut dan high heels setinggi lima centi meter ingin menginjak muka tengil dan sok terkejut Estin. Sementara Rama yang mengenakan celana hitam dengan robekan di bagian lutut serta rantai di saku kiri dan kanan, juga baju kaos simple dan jaket kulit ingin melemparkan kepala Estin ke selokan di seberang jalan.

“Hehehe.” Estin yang ingin keren mengenakan celana dengan bagian robek di lutut dan kaos putih, memang terlihat keren tapi jika bicara membuat orang ingin menampolnya.

“Lo itu berisik banget, tau gak?” omel Riana geram.

“Gue patahin juga leher lo!” ancam Rama lalu membuka bungkus permennya.

“Aduh, sepertinya gue gak niat jadi pelawak,” gerutunya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah itu mengikuti langkah kedua sahabatnya.
*
Rama memang tak perlu ucapan, yang penting itu tindakan. Seperti sekarang, apa yang dibeli Rama, kedua temannya harus punya juga. Yang paling heboh adalah Estin, suka berteriak memanggil pekerja di pusat perbelanjaan ini. Menunjuk barang juga tidak ada unsur perempuan, menunjuk sambil berjingkrak. Riana dan Rama sudah kebal.

Namun, sesekali Riana membeli keperluannya dengan uangnya sendiri, jika jumlahnya kecil. Itu semua karena Rama adalah cewek tajir melintir. Rekening bengkak tiap bulan.

“Eh, gue juga mau dong, Ram. Ambil aja tiga, trus warnanya sama, ntar kita sablonin pake nama kita di belakang.” Sekarang ini, karyawan cowok dengan name tag Riko sepertinya sudah lelah dengan tingkah Estin. Tadi Rama susah menawarkan baju sport tanpa lengan lengkap dengan celananya pada mereka berdua, tapi Estin menolak dengan banyak alasan. Terlalu pendeklah, terlalu seksilah, dan banyak alasan. Kalau Riana, sudah mengikut apa pun keputusan yang terjadi. Mau dibeli, oke. Gak dibeli, gak papa juga. Yang labil ini adalah Estin.

“Ya sudah bungkus aja, Mas,” ucap Riana yang paling tertekan. Estin terkikik geli, sementara Rama memandangnya tajam. Menyusahkan!

*


“Pagi, calon imam,” sapa Estin pada cowok yang berdiri gagah di lapangan basket. Siapa lagi kalau bukan Chanyeol.

Jam memang masih menunjukkan pukul 09.13 tapi matahari sangat terik, membuat siapa saja akan mengipasi wajah atau meminum minuman dingin dan segar.

Pagi ini Estin terlambat sampai ke sekolah, tentu saja karena telat bangun. Jika tidak disiram Bintang pakai air dingin sudah pasti Estin akan terlelap dengan iler di sekitar wajah yang terkadang sampai ke ujung mata.

“Ngapain lo?” tanya Chanyeol ketus. Memang setiap hari lapangan basket ini akan diisi oleh Chanyeol dan dua medusa alias Roy dan Yasta. Kebetulan juga, beberapa minggu ke depan akan ada pertandingan basket antara sekolah mereka dan sekolah Wijaya—SMA sebelah.

“Mandangin calon suami dong, mwehhee.” Estin memamerkan senyumnya. Beruntung Yasta belum sampai di lapangan ini, cowok itu sedang mengganti seragamnya dengan kaos olahraga. Seandainya Yasta di sini sudah pasti mereka akan adu mulut. Roy? Sedang berbincang bersama kepala sekolah.

Chanyeol hanya menghela napas melihat tingkat kehaluan cewek sederhana, tengil dan bar-bar di depannya ini. Merasa dilihat Estin tersipu malu, padahal hanya dilihat loh bukan diperhatikan.


“Gue tegasin lagi, ya. Gue bukan calon suami lo. Jadi berhenti halu!” ucap Chanyeol dengan tegas. Dia sudah lelah dengan tingkah cewek di depannya ini.

“Calon imam berarti,” balas Estin semangat. Dia meletakkan keranjang sampah yang diberikan kepesok. Awalnya dia disuruh untuk memungut sampah yang ada di lapangan utama tapi namanya Estin, tidak onar tidak hidup.

“Ck! Kita beda, asal lo tau!” Setelah mengucapkan itu, Chanyeol segera berlaku dari sana.

Estin tetap tersenyum, iya tersenyum miris. Dia tahu perbedaan yang dimaksud cowok itu. Harta, kasta, tahta, fisik mereka berbeda. Tidak bisa disatukan. Tapi bagaimana lagi? Dia terlanjur menaruh hati pada cowok itu, hanya saja Estin tidak mampu harus menahan rasa suka secara diam-diam, lebih baik diutarakan lebih lega hati.

Namun ternyata, bukan kelegaan hati yang didapat Estin, semua ekspektasinya tidak sesuai dengan realita.  Terlalu terbang di awan memang begini, tidak ada yang menampungnya ketika awan itu semakin menipis diterbangkan angin.
*

My Husband Idol Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang