Disclaimer : Cerita ini hanyalah fiktif belaka, hanya isi dari kepala penulis yang berusa dituangkan dalam bentuk tulisan. Kesamaan nama tokoh, nama tempat dan peristiwa hanyalah kebetulan semata.
Namaku Fano, ya Fano, nama biasa dengan kehidupan..yah bisa dikatakan biasa aja (baca b aja). Aku kuliah di salah satu perguruan swasta di Jakarta. Seperti mahasiswa pada umumnya, aktivitasku diisi dengan kuliah, ngerjain tugas, nongkrong, pulang, makan, tidur, kadang begadang, bangun (kadang pagi, kadang siang), berangkat kuliah dan berulang seperti itu setiap hari. Berteman? mungkin bisa dikatakan "tidak", kenapa? Itu cerita lain.
Aku tinggal sendiri. Bokap sama nyokap memutuskan pindah dari Jakarta ke Solo, sewaktu aku masih duduk dibangku SMA. Alasan ortuku pindah waktu itu katanya sih karena pekerjaan, dan alasan mereka tetap meninggalkan ku tetap di Jakarta, juga karena waktu itu sebentar lagi akan lulus. Tapi sewaktu akan kuliah, mereka menyarankanku untuk berkuliah di Jakarta tetap stay di sini.
Seperti yang ku ceritakan, kehidupanku biasa seperti mahasiswa lain pada umumnya, IPK rata-rata 3 tidak lebih, tidak kurang. makan 2 atau 3 kali sehari, tidur cukup 4 sampai 6 jam setiap hari.
Mahasiswa pada umumnya bukan? ..ya begitulah, sebenarnya kalau saja aku mau aku bisa dapet IPK lebih dari 3. Dari kecil entah kenapa, aku nggak punya kesulitan mengingat, iya mengingat semua yang pernah ku baca, mengingat semua perkataan yang pernah ku dengar, melogika semua persoalan yang ada didepanku. Hanya saja sekarang aku nggak mau aja, atau lebih tepatnya terpaksa tidak bisa melakukan itu.
Waktu umurku 11 tahun, aku mulai sadar kalau aku bisa melakukan yang kebanyakan orang tidak bisa lakukan. Seperti yang kubilang salah satunya mengingat semua yang pernah ku lihat jika aku mau, melompat setinggi pelompat tertinggi di sekolahku kalau aku pernah melihat dia melompat, mendengar percakapan orang lain sejauh aku bisa melihat mereka bicara, memahami pelajaran sekali dengar.
Saat itu ku pikir, banyak orang yang mampu melakukan itu, sampai pada suatu waktu, anak lain mulai melihatku anak aneh. Ya...aku dapat julukan anak aneh. Belum berakhir di situ, suatu hari ada beberapa kakak kelas yang berusaha membullyku, karena aku dianggap sok jagoan.
Sebenarnya aku tidak ingat persis yang terjadi di hari itu. Aku pulang sekolah, jalan kaki seperti biasa karena rumahku tidak jauh dari sekolah. Saat lewat di satu gang sepi, tiba-tiba ada beberapa anak menyergapku dari belakang dan menahanku untuk bergerak. Aku mengenal mereka, karena mereka adalah kakak kelas ku satu sekolah. Tanganku dipegang dari belakang, dan salah seorang dari mereka (yang mereka panggil bos waktu itu) maju ke arahku yang masih tidak bisa bergerak. "Oo ini anak sombongnya..", katanya sambil menarik kerah bajuku dengan tatapan meremehkan, maklum waktu itu dibandingkan badan mereka yang sudah tumbuh, badanku relatif lebih kecil, dan lebih kurus.
Aku berkata sekenanya, "Ada apa ini?", "Ngapain kalian?". Setelah itu detailnya aku tidak terlalu ingat, yang kuingat setelah itu hanyalah 3 orang anak yang mencegatku masuk rumah sakit, dan itu membuatku harus pindah sekolah. Itu salah satu sebab aku tidak punya banyak teman.
Satu hal yang pada saat itu tidak diketahui orang lain, kalau anak lain seusia mengisi hari liburan sekolah dengan pergi ke pantai atau ke tempat-tempat wisata, sejak kecil orang tuaku selalu mengirim ku ke rumah paman-pamanku. Untuk menikmati liburan??..bukan..untuk belajar bela diri. Entah kenapa sejak aku kecil orang tuaku sangat terobsesi agar anaknya belajar bela diri. Saat itu aku berpikir mungkin orang tuaku terobsesi hal itu karena badanku kecil. Tidak tanggung-tanggung, setiap liburan sekolah aku dikirim ke tempat paman-paman ku (yang kalo di buku-buku cerita, atau lagu anak-anak, selalu diceritakan, "pamanku dari desa yang petani").
Ehmm.. yang tidak salah juga, satu diantara mereka memang petani, petani sayur di salah satu desa di lereng gunung Lawu. Hanya saja bukan petani biasa, petani yang juga mengajar pencak silat. Yah.. ke tempatnya lah salah satu tempat aku biasa dikirim liburan oleh orang tuaku. Nama pamanku yang ini Pak Jito, petani sekaligus guru silat. Seperti lirik lagu "mendaki gunung, lewati lembah", itu yang ku lakukan kalau di kirim ke rumah Om Jito, cuman sambil bawa pikulan sayur, kadang wortel, kadan sawi, tergantung pada saat libur sedang panen apa.
Paman kedua ku punya bengkel di Semarang, bukan orang bengkel sembarangan juga, pamanku juga punya sambilan sebagai instruktur beladiri campuran, dasarnya krav maga dan jujitsu. Om Hadi namanya, pensiunan tentara, yang masih mengajar bela diri campuran di samping aktivitasnya di bengkel. Kalo ke Semarang,lari pagi 20 Km, latihan fisik sparing di ring sudah menjadi menu sehari-hari.
Tidak jauh-jauh dari pamanku yang lain, pamanku ketiga, guru STM di Jogja, dan bisa ditebak, dia juga punya sambilan, sambilannya instruktur wushu. Ya wushu, Om Pram (paman ku ke tiga), lebih mendalami aliran lurus tai chi. Bisa ditebak, aktivitasku di tempat Om Pram, tidak jauh dari latihan. Bangun subuh, berjalan dari rumahnya ke kali kuning, meditasi, dan tentu saja latihan wushu.
"Aktivitas liburan" ku itu yang membuatku mampu mengirim 3 orang pencegatku ke rumah sakit. Namun sejak tragedi itu, rasanya paman-pamanku malah justru semakin serius mengajariku. Apa sudah ku sebut kalo bokap, juga punya dojo aikido di Jakarta. Sebelum pindah dari jakarta, bokap juga masih aktif mengajar aikido di sana, dan aikido adalah aktivitas liburan weekend ku.
Yah..mendinglah dari pada hari-hari sekolah membosankan sehari-hariku, liburan jadi salah satu pengalihanku.
Cerita lain, seperti yang kukatakan sebelumnya aku punya kelebihan untuk dapat mengingat dan belajar sesuatu dengan cepat. Hanya saja tidak selamanya itu adalah kelebihan. Kelas 5 SD aku sadar kalau aku mengingat semua pelajaran dengan sekali lihat, mengingat semua isi buku dengan sekali lihat, itu membuat nilai-nilaiku cukup menonjol. Bahkan pernah suatu saat aku merevisi hafalan seorang guru, dan berakhir di ruang kepala sekolah, karena dianggap sok pintar, tidak hanya oleh guru tapi juga oleh teman-teman sekelasku saat itu. Hal itu membuatku berpikir untuk berhenti menjadi menonjol.
Peristiwa-peristiwa itu yang membuatku lebih memilih untuk tidak menjadi menonjol, atau lebih nyaman untuk tidak dilihat sama sekali dan membuatku tidak punya teman. Sehari-hari kuliah, pulang makan tidur. Mungkin bisa jadi dalam beberapa hari hanya pak Basuki, tetangga sebelah rumah sekaligus ketua RT di tempatku tinggal. Iya, pak Basuki, bapak-bapak asal Jogja, dengan blangkon dan logat jawanya yang ramah, menyapaku pagi-pagi saat aku berangkat kuliah ataupun malam saat aku pulang.
Kehidupanku berjalan seperti itu, biasa..dan mungkin cenderung membosankan...gitu-gitu aja..sampai pada suatu saat..ada satu peristiwa yang mengubah segalanya...
Bersambung...
Kucing bulan...
YOU ARE READING
Trilogi 3 Dunia : Sisi gelap
FanfictionPernahkah kamu merasa bahwa apa yang kita lihat, bukan seperti apa yang terlihat?