3

90 27 7
                                    

sebuah pena berputar-putar di atas jemarinya. ia duduk bosan di bangku paling belakang ditemani arus angin yang masuk lewat jendela kelasnya. mulutnya menggumamkan sesuatu acak, "sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam-"

netranya melirik teman sebangkunya, menendang kursinya pelan agar ia segera bangun. telinganya menangkap suara gurunya yang sedang berbicara entah apa di depan sana, juan tidak tahu.

"lima, empat, tiga, dua, sa-"

kriiing!

"--tu. sean, bangun"

tangan kanannya menggoyangkan bahu sean pelan. setelah dirasa kesadaran sean mulai kembali, ia beranjak sambil mengantongi penanya. itu barang bawaannya yang terakhir.

kakinya melangkah menuju pintu keluar, dan ia lagi-lagi mendapati eksistensi seorang adam dengan surai bak kuaci sedang menunggunya di balik tembok kelasnya. ya, sudah beberapa hari selalu seperti ini. juan selalu mendapati jayantara yang berdiri tepat setelah bel berbunyi, memangnya dia ini keluar dari kelasnya jam berapa?

"udah selesai?" tanya jay. juan mengedikkan bahu, seolah berkata lihat-saja-sendiri kepada jay tanpa membuka mulutnya sama sekali. dan seperti biasanya, lagi, jay berjalan di samping juan. menggantungkan lengannya di pundak juan. membuat mereka yang kebetulan berjalan melewati koridor bertanya-tanya tentang apa hubungan mereka.

"hari ini kita mulai buat lagu, gue kayaknya mau bikin konsep dulu deh. lo mau temanin gue?" tanyanya. sebetulnya, juan hanya ingin bermalas-malasan di rumah. akan tetapi mengingat dialah yang membuat mereka mengeluarkan lagu baru, juan mau tak mau mengangguk. ia merasa bertanggung jawab.

senyum lebar terulas di paras jay. ia mengeratkan rangkulannya sambil tertawa kecil, "yes ada temennya. gue sayang deh sama lo," ucapnya tanpa beban. juan, lelaki yang tidak pernah mendatangi taman asmaraloka seketika mematung. matanya mengerjap lucu, kakinya tetap melangkah walau ritmenya tidak beraturan, dalam hati ia mengulang kalimat yang diucapkan oleh jay.

sayang? gue? disayang?

juan menggelengkan kepalanya.

sadar, juan. sadar.

"kok ke sini? gak bareng yang lain?" dahi juan mengernyit kala jay justru mengajaknya ke parkiran, bukan menuju ruangan yang biasanya mereka gunakan untuk berlatih.

netra jay menatapnya heran, "loh siapa bilang kita buat lagu di studio?" mendengarnya, kernyitan di dahi juan bertambah, "terus?" tanyanya.

"kita buat di rumah gue lah?"

ya Tuhan.

---

dari awal juan sudah menduga, keluarga jay adalah keluarga berada. dari awal juan sudah menduganya. akan tetapi dihadapkan dengan rumah sebesar dan semegah ini, juan mendadak ragu dengan dugaannya. pasalnya, rumah ini terlalu besar, terlalu megah untuk ia datangi.

"rumah lo beneran?" tanya juan seperti orang bodoh. netra hitamnya bergerak-gerak mengamati pemandangan di depannya, bibirnya terbuka lebar, juan masih tidak percaya dengan pemandangan di depannya ini.

jay yang melihat juan berekspresi seperti itu merasa gemas bukan main. ingin sekali ia memeluk juan erat-erat sambil mencubit pipinya dan mengatakan betapa menggemaskannya manusia di depannya ini. namun tidak bisa, jay tahu juan tidak nyaman dengan kontak fisik yang seperti itu. alhasil, jay hanya mengusak surai hitam juan hingga berantakan.

"aduh lucu banget sih lo, bukan rumah gue ini rumah mama papa gue," jawabnya. juan mendengus, "tetep aja," ucapnya yang dihadiahi jay dengan senyuman dan satu kali lagi usakan di kepalanya. sepertinya jay menyukai tekstur rambut juan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

oblivionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang