🌼🌼🌼
"Ah shit!" rintih Livy tepat saat membuka matanya. Ia terbaring menatap langit-langit kamarnya. Scene berulang yang selalu ia lihat tepat ketika menutup matanya. Sudah seperti sarapannya setiap hari selama tiga tahun. Ia tertawa getir, kejadian tiga tahun lalu masih saja menghantuinya. Rasanya seperti terkena karma. Helaan nafas panjang memenuhi ruangannya, kemudian bangkit mempersiapkan diri untuk hari ini.
Jadwal hari ini adalah pemotretan suatu majalah dengan model yang sedang naik namanya. Livy sebagai fotografer baru yang menang dalam suatu kontes fotografi, selalu kedapatan panggilan sana sini. Kliennya pun tak tanggung-tanggung, dari model majalah sampai artis ternama. Tidak pernah terpikirkan olehnya akan merintis karir dalam bidang ini.
Ponsel Livy berdering menampilkan nama yang sangat tidak ingin dilihatnya hari ini.
"Siap-siap gua jemput,"
"Gak usah gua bisa pergi sendiri,"
"Gua udah di parkiran apartment lo, gua tunggu,"
Telepon mati. Livy menghela nafas berat. Sudah tidak terhitung berapa kali ia melakukan itu. Livy mengemas barang yang dibutuhkannya nanti dan segera turun untuk pergi.
Please let me have a piece day, can't I?
Mobil Range Rover hitam terparkir tepat diseberang pintu basement apartement Livy. Dengan langkah berat Livy berjalan menuju mobil itu.
Ehren Rainier. Model yang sedang naik daun namanya. Salah satu klien Livy hari ini. Mereka bertemu tiga tahun lalu, saat Livy masih menjadi asisten salah satu fotografer ternama. Sejak itu, mereka sering bertemu dan akhirnya memutuskan untuk berteman. Bahkan sudah banyak orang yang mengetahui kedekatan mereka.
"Mau kemana? Ini masih kepagian kalo langsung ke studio," Livy bertanya tanpa membalas sapaan Ehren. Yang ditanya tersenyum tipis, "You'll see."
"I'm begging you please don't make a scene. For today."
"Hmm? What scene? I don't think I ever make one, or do I?"
Sebenarnya hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Well at least only them who know that. Belakangan ini Livy ingin menghindar dari Ehren, namun selalu saja gagal. Karena Ehren punya seribu cara menemukan keberadaan Livy. Bisa dibilang toxic relationship.
Hubungan mereka terlihat sangat dekat, karena ulah Ehren yang selalu memamerkan hubungan mereka di media. Skenario yang terlihat biasa saja dilihat dengan orang banyak jadi tidak terlihat biasa saja, skenario yang tidak sama dengan kenyataannya. Livy benci itu. Hanya karena ia memiliki janji, ia tidak bisa berbuat lebih.
Seperti cerita klise, posisi Livy sebagai boneka yang bisa dimaini kapan saja.
"Liv!" Ehren menaikan nada bicaranya, "Mikirin apa sih dari tadi gua ajak ngobrol diem aja," tambahnya lagi.
Livy terbelalak karena suara Ehren yang mengejutkannya. Sikap Ehren yang sangat amat berbeda dari pikirannya dulu saat pertama mengenalnya. Kepribadian Ehren yang Livy pertanyakan. Bahkan Livy berpikir bahwa seorang perempuan yang sedang datang bulan bisa saja kalah dengan Ehren.
"Sorry–" belum selesai berbicara, Ehren sudah memotongnya duluan, "Lo tau gua paling gak suka kalo lagi ngomong didiemin! Udah sering gua–"
"E! Please not now... gua lagi gak mau debat sama lu, I'm tired..." sela Livy yang muak dengan perdebatan yang harusnya tidak didebatkan itu. Dengan pembelaan Livy, Ehren langsung menancap gasnya melaju cepat. Tampak dari samping, jidat yang sudah mengerut menandakan hari ini tidak akan baik-baik saja tidak seperti yang diharapkan Livy.
Ehren membawa Livy jalan-jalan keliling kota hanya untuk membuang waktu bersama. Sesekali mereka mampir ke sebuah coffee shop untuk berbincang lebih dekat. Setalah itu pergi membeli makanan kecil untuk dibagikan kepada staff studio nanti. Tak jarang Ehren menunjukkan sikap romantisnya. Semuanya dilakukan atas kehendak Ehren.
Livy sendiri terlihat tidak tertarik dengan 'kencan' dadakan ini. Ia lebih memilih berdiam diri mendengarkan Ehren meracau dan memainkan ponselnya. Pikirannya tidak disana. Ia membayangkan kalau saja yang dihadapannya sekarang adalah Agra, orang yang ia cintai sejak tiga tahun lalu, ia pasti merasakan kebahagian itu.
Matahari terik menyengat di atas sana. Langit terlihat cerah, warna biru yang indah, burung-burung beterbangan. Angin bertiup sepoi-sepoi. Cuacanya sangat mendukung untuk bersenang-senang. Begitu yang dipikirkan Livy. Setidaknya ia bisa merasakan hari ini cuacanya bagus, sayang untuk dirusak.
"Can we go to the studio now?" Ehren mengangkat sebelah alisnya sambil melihat jam tangannya. "Masih ada sejam, mau kemana lagi?" balasnya mengabaikan permintaan Livy. "Gua bilang ke studio aja, biar cepet kelar juga. Lo belum siap-siap buat pemotretan, Ehren!" Livy membela dirinya yang dibalas dengan ketawa sarkas.
🌼🌼🌼
Yeay!! part pertama kelar juga🥺
gimana nih? semoga suka
jangan lupa vote&comment❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Lacuna
FanfictionThe sky is still not covered, looks like it won't rain. It's not fair since my heart is aching. Deeply, how can I won't believe that you've left. I'm trapped in the dark with no one there. Finding myself leaving to dust. I lost you, but I'll find yo...