Late Bloomer

324 38 13
                                    


Noren/ Jenren AU

Vampire Jeno x Late bloomer witch Renjun

Warn: ooc, typo, biting and lil' bloody scene

Note: Pernah ditulis juga di satu event sosial media dengan judul berbedza, ehehe...


.


Sebuah dunia dimana penyihir tidak terbang dengan sapu, werewolf adalah sahabatmu, dan vampire yang berjalan di bawah matahari tidak hangus jadi abu.


.


Kertas bergores simbol rumit dalam pegangan tangan, ia remas sekuat tenaga. Ini sudah pasti kiriman dari murid-murid akademi yang tidak suka dengan keberadaannya.

"Brengsek, awas saja kalian..."

Renjun lekas menyeka tetesan darah di bawah hidung dengan punggung tangan. Ia buru-buru merogoh tas selempang untuk mencari botol potion penangkal (salah satunya untuk) kutukan orang mati. Setelah sampai pada tegukan terakhir, ia menjerit kesal karena keadaan kebun belakang sekarang benar-benar kacau seolah baru saja diamuk badai.

Barisan pot tanah liat yang tadinya rapi, kini terguling dengan hamburan tanah dimana-mana. Batang-batang rebah dan ranting patah mengotori kebun yang lima bulan ini sudah susah payah Renjun urus sepenuh hati. Sebuah sanctuary mini (minta izin kepengurusannya saja hampir setengah mati), selama ia menjalani neraka berjuluk 'akademi'.

"Dapat prank lagi?"

Tubuh Renjun berbalik secepat kilat sewaktu mendapati seseorang masuk dalam radius pandang. Pemuda berkulit pucat itu berjalan mendekat. Helaian rambut hitamnya begitu kontras dengan seragam milik gedung elit sebelah yang serba putih bak malaikat. Sepasang mata sewarna rubi menelisik, terfokus menatap jejak merah pudar di bawah hidung pemuda mungil yang tengah ia ajak bicara.

"Bisa lihat sendiri 'kan?" Bibir mengerucut lucu, Renjun susah payah menggunakan mantra reversal untuk membereskan kekacauan. Ia gagal beberapa kali, dan keadaan malah semakin berantakan. Inilah derita jadi penyihir late bloomer; selalu kesulitan dalam melakukan segala hal, dan selalu saja jadi target perundungan dari para penyihir yang mengaku-ngaku sebagai keturunan darah murni (padahal mereka cuma bocah berandal sial dan bebal).

Kekehan pelan terdengar. Pemuda tampan itu bukannya ikut membantu, ia malah melangkah menuju sekumpulan semak berbunga yang tumbuh tidak jauh dari tempatnya berdiri. Beberapa kuncup bunga ungu kehitaman dipetik, lalu dikunyah lambat bagai menikmati kudapan kecil sebelum makan malam tiba.

"Lee Jeno! Berhentilah mengganggu kebunku! Jangan petiki kuncup-kuncup belladonna itu!!"

Pemuda yang diteriaki malah semakin gencar mengudap bunga-bunga beracun yang bahkan belum mekar sempurna. "Tapi ini lumayan enak, aku suka." Dua taring putih mengintip setiap kali pemuda bernama Jeno itu bicara, bola mata berkilat di antara twilight yang mulai merambahi sudut-sudut kebun belakang, sebagai pertanda bahwa malam sebentar lagi akan tiba.

"Terserahlah."

Jeno tersenyum penuh arti, sebelah tangan lekas membuat gestur ringan, dan kekacauan di sekitar mulai memberesi dengan sendirinya. Pot-pot kembali pada posisi semula, batang-batang rebah langsung tegak bagai barisan tentara, dan dedaunan rontok dibuat menggunung sebelum akhirnya masuk bak sampah.

"Kenapa tidak dari tadi saja sih?!"

Ah, kenapa katanya? Itu karena Jeno senang sekali melihat rengutan lucu atau gurat-gurat kesal terukir di wajah manis milik si penyihir muda.

ReservoirWhere stories live. Discover now