2. Isi Kepala dan Kesederhanaannya

1 1 0
                                    

Rangga's POV


Rumah tak lagi memberi kenyamanan, membuatku sering kali pergi keluar rumah. Hampir setiap hari aku berjalan mencari jawaban atas keresahan. Terik matahari tidak pernah memperlambat lajuku. Aku hanya ingin hidup bebas. Mempertanggung jawabkan diriku sendiri tanpa merepotkan orang lain. Karena bagiku, aku adalah individu yang bebas. Dan kebebasan ini mengutukku untuk membuat pilihan sepanjang hidupku. Meski bebas, bukan berarti aku bisa melakukan hal-hal menghambat kehidupan. Pilihan-pilihan hidup menjadi hal berat bagiku. Sebab itu aku sepenuhnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kulakukan. Aku tidak peduli tentang ucapan mereka terhadap hidupku. "Aku memang buruk, lalu apa pedulimu" Meskipun begitu, aku tidak pernah buta terhadap kesusahan orang lain.

Dengan diriku yang bebas, aku selalu menyuarakan kebenaran tanpa pandang bulu. Jika memang ada  kesalahan, aku akan lawan dengan kebenaran. Aku tidak suka bungkam. Walau itu menyangkut dengan nyawaku. Karena kepribadian itu, aku kuliah memilih jurusan Ilmu Politik. Bukan untuk menjilat ludah sendiri, dengan bekerja di pemerintahan lalu berbuat seenaknya. Aku hanya ingin mempelajari apa yang para pejabat lakukan di kursi mereka. Agar opini yang aku berikan lebih berisi untuk membungkam para petinggi yang seenaknya. Juga mengamati negara yang kita sebut Ibu Pertiwi.

Dengan kepribadian aku yang suka sendiri, tetapi aku juga butuh pasangan yang menemaniku. Dengan latar keluarga yang tidak aku suka, membuatku selalu memendam masalah yang aku hadapi. Aku tidak pernah cerita kepada siapapun. Aku meluapkan semuanya dengan menulis puisi. Puisi adalah teman paling mengerti. Dia yang menemani dan mendengarkan keluh kesahku.

Buku-buku menemaniku menemukan jawaban atas setiap keresahan. Tentang negara demokratis yang nyatanya tidak demikian. Tentang hidup yang begitu menyebalkan tetapi patut diperjuangkan.  Buku-buku yang aku baca banyak memberi perubahan dalam hidupku. Aku yang semula bungkam kini berani bersuara. Ketika kebenaran sudah dilupakan, ketika pemerintah sudah tidak lagi mau mendengar, sudah saatnya kita turun ke jalan. Saat itu, aku bersama mahasiswa lain di kampusku, berusaha menyampaikan aspirasi yang nyatanya tak pernah didengar.
Hari ini, komunitasku mengadakan kolaborasi dengan mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi agar suara kami lebih banyak didengar. Kami juga bekerja sama dengan redaksi yang mana nanti akan menerbitkan tulisan kami. Aku berharap suara-suara kami dapat didengarkan bukan dibungkam dengan banyak informasi hoaks yang beredar.

Sebagai ketua dari komunitasku, aku disibukkan dengan persiapan. Markas yang biasa komunitasku gunakan, kini menjadi tempat kami berdiskusi. Agendanya hari ini kami akan rapat mengenai jalannya acara. Ketika aku sampai di markas, terlihat seorang perempuan yang sepertinya anak komunikasi tengah berdiri sambil bermain ponsel. Aku merasa tidak enak karena sebagai orang dibalik ide ini lebih cepat datang daripada dia. Namun, sebenarnya jadwal masih setengah jam lagi. Aku pikir aku tidak terlambat.

"Udah lama nunggu?" Aku bertanya sambil membuka kunci pintu.

"Belum lama sih."

"Acaranya masih setengah jam lagi lho," ucapku sambil menatapnya. Dia terkejut, sepertinya ia tidak tahu perubahan jadwal yang semalam aku ganti.

Aku mengajaknya masuk lalu duduk di tikar. Kemudian mengeluarkan laptop dari dalam tas. Kulihat ia duduk sepertiku tetapi jaraknya cukup jauh dariku. Kami cukup akward karena memang belum kenal bahkan bertemu sebelumnya. Kami sibuk masing-masing sampai akhirnya satu per satu anak politik dan komunikasi berdatangan.

Ketika mereka sudah kumpul semua, aku dan Kelvin–wakil ketua yang mana dia anak komunikasi, membuka rapat. Hasil dari rapat adalah setiap anak komunikasi dan politik akan dipasangkan untuk berdiskusi. Anak politik akan memberikan aspirasinya yang kemudian akan ditulis oleh anak komunikasi di laman blog mereka. Nantinya akan ada naskah yang diajukan ke redaksi guna suara kami didengar oleh banyak orang.

Aku sedikit terkejut karena ternyata partnerku adalah perempuan yang paling awal aku temui. Dia tidak banyak bertingkah. Aku melihat dia sebagai sosok yang tertutup.

"Jadi gimana menurut lo?"

"Ketidakadilan dalam mendapatkan sesuatu membuat negara kehilangan kepercayaan terhadap aparat negara yang melakukan nepotisme. Dimana tidak ada oposisi satu pun yang membantah hal ini. Kemajuan negara ini ada di tangan kita. Jika kita bungkam dan tidak peduli lalu siapa yang akan jadi penerus bangsa?"

Aku menyampaikan semua aspirasi dan kekecewaan terhadap negeri yang katanya negara demokratis ini. Dia terlihat kewalahan karena aku berbicara terlalu cepat. Seutas senyuman terbit di wajahku. Aku menyodorkan kertas berisi draf yang nanti akan direvisi olehnya.

"Gue udah tulis semua di sana, tinggal lo revisi aja."

"Oke, gue tulis ulang ya." Dia mengangguk.

Pandangan kami bertemu. Aku melihat wajahnya yang damai, tetapi matanya terlihat begitu teduh. Dia terlihat begitu tenang, tetapi aku melihat kesedihan di matanya. Dia tidak banyak bicara, tetapi aku yakin di kepalanya tertanam begitu banyak pemikiran. Mungkin karena kami baru pertama bertemu, tak banyak percakapan terjadi.

Kami bertukar isi kepala dan benar dugaanku. Pemikirannya dan setiap kata yang terucap membuatku kagum padanya. Ada dua hal yang menarik darinya yaitu isi kepala dan kesederhanaannya. Ia terlihat sederhana dari wajahnya natural, hanya bibirnya saja yang dipoles sedikit lipstik tetapi tetap terlihat natural.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RAGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang