Namanya Rumi Prabandani. Begitu yang dikatakan Prana. Kelas XI IPA 5. Tidak ada yang begitu spesial dengannya. Tidak sebanding dengan perempuan-perempuan yang selalu kutemui di acara pesta Papa. Tapi, entah mengapa, mataku selalu terpaku padanya. Awal bertemu, dia hanya melewatiku—seperti aku adalah siswa biasa, bukan seorang Bhadra Parasara—tertawa membicarakan sesuatu yang lucu dengan temannya.
Meski begitu, bisa kukatakan, suara tawanya begitu merdu di telingaku. Sejak itu, aku menjadi candu dengan tawa renyah yang dikeluarkannya. Sejak itu pula, aku selalu ingin berada di sekelilingnya hanya untuk mendengar tawanya kembali.
Tapi, sejak memperhatikannya, aku lantas menyadari bahwa ada seseorang yang berniat jahat padanya. Selalu memfotonya diam-diam, membuntutinya ke manapun. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tidak ingin tawanya yang tanpa beban itu hilang, membuatku tidak bisa mendengarnya kembali.
Oleh karena itu, aku nekat untuk mendekatinya dengan cara yang ... salah. Sejujurnya, aku tidak ingin menakutinya atau membuatnya membenciku, tetapi terpaksa kulakukan karena aku hanya ingin segera melindunginya. Namun, aku justru membuat bahaya lain datang padanya. Saat dia meneleponku sambil tersengguk-sengguk, rasanya aku sudah kalap sekali. Aku tahu bahwa itu akan terjadi. Saat itu, rasanya aku ingin memukuli siapapun yang membuatnya menangis seperti itu.
Sebut aku bajingan karena aku justru merasa sedikit senang. Karena dengan situasi itu, aku bisa mengikat gadis paling keras kepala itu menjadi kekasihku, meskipun hanya pura-pura. Entahlah, aku akan membuatnya perlahan-lahan melupakan kontrak itu dan akhirnya menjadi kekasihku sesungguhnya.
Aku bahagia ketika dia menunjukkan beragam ekspresi marah, sebal, cemburu ketika Nirisha atau Karmila berada di dekatku. Aku ingin mengatakan padanya bahwa hanya dia yang memenuhi kepalaku, tapi ah ... entahlah. Kalau dia membuka laci meja belajarnya, dia akan tahu bahwa tidak ada orang lain selain dirinya yang menarik perhatianku. Tidak Nirisha. Tidak juga Karmila. Hanya dirinya.
Kalung safir yang kami beli bersama—yang kuselipkan di meja belajarnyalah tandanya. Aku mengatakan itu adalah hadiah untuk Karmila, walau sejujurnya itu adalah untuknya. Aku hanya ingin menjahilinya dan melihat ekspresinya yang menggemaskan. Aku harap, dia jeli dan menemukannya.
Tetapi, tidak pernah kudapati dia memakainya. Apakah dia tidak tahu? Apakah aku menyembunyikannya terlalu baik? Ah. Dasar gadis ceroboh itu.
Aku pikir ketika seluruh sekolah akhirnya tahu bahwa kami berpacaran, kelegaanku akan berlangsung lama karena penguntit itu akhirnya menyerah dan menjauhinya. Tapi, aku salah. Dia malah nekat mendekatinya di depan mataku. Aku sejujurnya kecewa karena Rumi jauh memilih untuk percaya dan dekat dengannya. Tapi, rasa sukaku padanya jauh lebih besar.
Hingga hari itu datang, hari dimana semuanya menjadi berantakan, ketika aku mendapati gambarnya beredar di internet. Tentu saja, aku tahu kalau Reihanlah pelakunya. Tanpa berpikir dua kali, aku melampiaskan kemarahanku padanya.
Namun, sepertinya Tuhan memang tidak pernah mengizinkanku untuk bahagia. Karena ketika aku datang ke rumahnya untuk menemuinya hari itu dan menjelaskan apa yang sebenarnya tersebut, yang kudapati adalah pukulan bertubi-tubi dengan segala makian yang dilontarkan Mas Danu. Mungkin Mas Danu kecewa padaku yang tidak bisa menjaganya dengan baik. Beliau mewujudkan rasa kecewa dan marahnya dalam bentuk pukulan. Tidak apa-apa, Rumi. Aku memang pantas untuk mendapatkannya.
Meski begitu, aku tetap bertanya-tanya akan keberadaannya. Apa yang sedang dia lakukan? Apakah dia sudah tidur? Apakah dia sudah makan? Apakah dia baik-baik saja?
Tapi, bahkan sepatah kata pun belum kuucapkan, ketika Ibu Rumi menghentikan Mas Danu, dan menyuruhku pulang. Sejujurnya aku tidak masalah dipukuli semalaman suntuk, tetapi karena Ibu Rumi memohon padaku. Aku akirnya pergi dari sana.
Menunggu di luar gerbang rumahnya. Karena bagaimana bisa aku pulang dan tidur nyenyak, ketika aku belum melihat wajahnya? Lampu kamarnya kulihat sudah mati. Apakah dia memang sudah tidur? Kukira begitu. Sebelum sebuah mobil keluar dari rumahnya dengan tergesa. Aku tidak bisa melihat ke dalamnya.
Aku kira hanya Mas Danu yang harus pergi terburu-buru karena masalah pekerjaan. Sebelum aku tahu, bahwa mobil semalam yang keluar dari rumahnya dengan terburu-buru itu adalah mobil yang mengantarkannya pergi. Selamanya. Menjauh dariku. Meninggalkanku, bahkan sebelum aku sekali saja berucap kalau aku mencintainya.
Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup—bahkan berbahagia ketika yang kukira napasku justru direnggut secara paksa?

KAMU SEDANG MEMBACA
to be young and in love [end]
Teen FictionCoba sekarang bayangkan. Kamu hidup sebagai cewek yang biasa aja. Tugasmu sangat simpel, yaitu menarasikan opera sabun yang terjadi di kantin SMA Tribuwana. Dibintangi oleh Nirisha Moora dan Bhadra Parasara. Lalu, tiba-tiba, enggak ada petir menyamb...