Selamat datang dalam kisah Vienny dan kehidupannya. Kisah ringan dari sudut pandang Vienny yang semoga bisa menghibur kalian.
Untuk cerita ini, aku pasang rating 15 tahun ke atas karena ada beberapa hal yang menurutku termasuk hal sensitif. Mohon bijak dalam membaca!
✨✨✨
Remang, hanya ada cahaya dari lampu tidur. Di luar gelap, hujan turun dengan derasnya. Petir bersahutan membelah langit. Memekakkan telinga.
Aku termangu di samping tempat tidur, bersandar di sana. Ragaku di sini, lain dengan pikiranku yang dipenuhi berbagai macam tanya. Mengapa hidupku harus begini? Mengapa aku dilahirkan di keluarga seperti ini? Mengapa aku harus dikekang seperti ini? Aku ingin menyerah, aku lelah. Aku kehilangan arah.
Tangan kananku gemetar, memegang sebuah silet nan tajam, siap menyayat lengan kiri. Perlahan, silet itu menggores kulit pergelangan tangan. Darah merembes, sebelum akhirnya menetes ke lantai. Tak cukup satu sayatan, aku melakukannya lagi.
Ada tangis yang tertahan. Ada perih yang terasa. Bukan, bukan dari luka yang kubuat. Perih itu, jauh dari lubuk hati. Aku terluka terlalu lama, tak punya tujuan untuk menyembuhkannya. Apa lagi yang harus aku lakukan?
Air mataku mengalir, jatuh dan bergabung dengan darah milikku. Ini menyesakkan, dadaku seperti mau meledak. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menghilangkan rasa sakit ini. Aku hanya ingin bebas, tak ingin merasakan sakit ini lagi. Sungguh menyiksa.
Petir makin menggelegar, hujan turun kian deras. Aku menahan sakit yang teramat hingga ingin berteriak. Sekencang-kencangnya. Darah. Petir. Sakit yang tertahan. Menyatu.
✨✨✨
Aku terengah. Napas tak teratur. Sekujur tubuh rasanya berkeringat. Apa itu tadi? Hanya mimpi, ‘kan? Ya, itu hanya mimpi, mimpi yang terasa nyata. Itu hanya mimpi, aku kembali meyakinkan diri. Aku tak melakukan itu, luka itu sudah lama. Ya, sudah lama, tetapi berbekas.
Aku menggenggam pergelangan tangan kiri, tempat luka itu berada. Bekas luka itu menghantui diri, seakan mengingatkan bahwa aku yang melukai.
Aku mengembuskan napas berkali-kali, menenangkan diri. Aku harus tenang, tak boleh memikirkan hal itu lagi. Itu semua sudah berlalu.
Cicit burung masuk ke indra pendengaran. Rupanya sudah pagi. Aku mematikan lampu tidur dan beranjak dari tempat tidur. Aku menyingkap gorden dan membuka jendela. Udara pagi menyeruak ke kamar. Segar. Tentu saja. Aku tinggal di pinggiran kota yang lingkungannya masih asri.
“Ah, segarnya!”
Aku menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Pagi yang cukup baik.
Aku melirik jam dinding, pukul setengah enam. Ah, aku harus segera mandi. Mandi air dingin di pagi yang dingin ini? Oh, tentu tidak. Air hangat akan memanjakan tubuh. Ya, aku akan berendam dengan air hangat.
Aku menghirup udara sekali lagi. Mataku menemukan sosok tak asing di samping rumah. Itu Yoongi, tetanggaku. Dia sedang meregangkan tubuhnya dan melakukan gerakan kecil. Ah, dia laki-laki yang rajin.
“Kak Yoongi!” Aku berteriak sembari melambaikan tangan.
Yoongi menoleh ke arahku, balas melambaikan tangan. Laki-laki itu menghangat setahun terakhir. Kami menjadi akrab.
"Berangkat bareng, ya!"
Yoongi hanya mengangguk. Aku menyimpul senyum, lalu beranjak ke kamar mandi.
✨✨✨
Udara pagi memang menyegarkan, apalagi di daerah yang masih asri. Tak banyak kendaraan yang lewat, itu berarti tak banyak polusi udara. Masih banyak pohon dan tumbuhan di sekitar yang menghasilkan oksigen, itu membuat udara lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vienny
Fanfic(Vienny) Hangat belum tentu bahagia. Hangat belum tentu baik-baik saja. Justru hangat sering menjadi tempat bersembunyinya luka. Hangat yang menjadi tameng dari luka. Dingin bukan berarti tak peduli. Dingin tak selalu menyendiri. Dingin hanya menjad...