1 (Makan Bayi

8 1 0
                                    

"Ini bayi baru lahir. Makanlah."

Aku yang mengintip di balik celah pintu itu pun mendadak mual. Ibuku yang hanya memakai pakaian dalam itu dengan lahapnya memakan apa yang disajikan oleh Kakek. Ya, seonggok daging manusia.

"Enak?" tanya Kakek. Aku langsung berlari ke kamar mandi memuntahkan isi perut. Ternyata selama ini Ibuku memakan bayi yang baru lahir. Pantas saja sering kejadian hilangnya bayi secara misterius.

Keesokan harinya, aku memasuki kamar Ibu yang terletak di samping kamar Bapak. Mereka telah pisah ranjang karena Bapak pernah ketahuan selingkuh. Aku sendiri tidur dengan Dinda—adikku yang baru berusia tujuh tahun.

Pintu terbuka, keadaan sangat gelap sehingga harus menyalakan lampu. Ya Tuhan, ini apa?

"Astagfirullah, Ibu!" Aku membekap mulut, mundur beberapa langkah hingga punggung menyentuh dinding. Tulang-tulang kecil yang berserakan, mereka lahir ke dunia bukan untuk dimakan! Ya Tuhan, Ibuku biadab. Apa tidak ada makanan lain selain bayi orang?

Aku keluar menyisakan tanda tanya. Kakek dan Nenek juga tidak pernah menceritakan apa-apa. Anehnya, ketika malam tiba Nenek dan Ibu mendadak hilang entah ke mana. Pintu kamar ini pun terkunci dan Kakek melarang siapa pun memasukinya meski terpaksa.

"Kak, semalam Ibu kenapa, ya?" tanya Dinda ketika aku duduk di depan televisi.

"Lah, Ibu kenapa?" tanyaku balik.

"Semalam Ibu ketawa-ketiwi gitu kayak lagi ngomong sama seseorang, tapi Dinda tengok ada Kakek, Nenek, Bapak, sama Kakak di ruang tamu," jawabnya polos.

"Ah, mungkin Ibu lagi ngigau. Biasa, 'kan begitu? Dinda aja pernah tidur terus buka jendela," kataku menenangkannya. Anak sekecil ini saja sudah curiga. Ia belum bisa mengetahui keanehan Ibu yang lain.

"Eh, gak cuma sekali, Kak. Kayaknya sejak Ibu sama Bapak pisah kamar," katanya lagi. Aku meneguk ludah, bingung mau menjawab apa.

"Udah, ya? Dinda gak usah mikirin itu. Dinda fokus belajar aja." Ia pun menurut.

Dinda semakin menambah beban pikiran dan rasa penasaranku. Sembilan belas tahun hidup, baru pertama kali melihat Ibu memakan bayi baru lahir. Tali pusarnya bahkan masih menempel. Apakah ia langsung mencurinya dari rumah bidan?

***

Tiga hari kemudian, aku selalu mengawasi gerak-gerik Ibu. Tahu rasanya bagaimana setelah melihatnya memakan malaikat kecil itu? Jijik, malu, enggan mengakui kalau beliau adalah ibuku. Suasana di rumah tak sehangat dulu karena aku jadi pendiam. Ya, aku penasaran siapa Ibu sebenarnya.

"Kek, kenapa Ibu gak makan sama kita? Ini ada kolak pisang kesukaan dia," kataku karena Ibu tak pernah lagi makan bersama.

"Dia sudah makan sebelum kita. Biarkan aja," jawab Kakek dingin. Hm, aku semakin curiga.

"Kenapa Ibu gak pernah keluar kamar kecuali malam? Kalau tengah malam dia ke mana?"

"Rasya, kamu ini mau makan atau tanya-tanya? Ibu kamu itu 'kan seorang guru. Ya, jelas sibuk ngurus ini-itu dong." Nenek menimpali.

"Maaf, Nek, Kek. Rasya cuma penasaran, Ibu kayak gak pernah sama-sama kita lagi."

Aku bungkam, melanjutkan makan meski tak selera. Ya, masih terbayang-bayang ketika ia memakan jiwa-jiwa tak berdosa. Di luar sana banyak pasangan menantikan kehadiran buah hati. Kebahagiaan luar biasa ketika malaikat kecil itu lahir ke dunia.

Ke mana hati Ibu yang tega melahap bayi-bayi itu?

***

Malam ini sengaja tidur larut demi memuaskan rasa penasaran. Mengapa Ibu hilang bak ditelan Bumi tepat tengah malam. Semoga pertanyaan itu terjawab sekarang.

Aku pura-pura memejamkan mata dengan lampu yang masih menyala. Tak menunggu lama, Ibu datang dan mematikan lampu tersebut, kemudian melesat cepat seperti hantu. Aku yang kaget dan takut membekap mulut dalam selimut.

Setelah beberapa saat, kuberanikan diri keluar kamar dan menengoknya. Sesuai dugaan, ia tidak ada di rumah. Kakek, Nenek, dan Dinda yang tumben malam ini mau tidur dengan Bapak sudah lama terlelap. Semua ruangan sudah kuperiksa, hilangnya Ibu sangat cepat.

Ke mana ia?

Pintu kamarnya tak terkunci. Aku pun masuk dan melihat-lihat, sekalian kalau ada petunjuk yang membantu. Tidak, di dalam sini hanya berserakan tulang-belulang, kain hitam, dan nampan bekas penuh darah. Oh, ini juga alasannya Kakek selalu membeli nampan lusinan di toko peralatan.

Aku langsung mendongak karena merasa ada cairan yang jatuh mengenai kepala. Pertama melihat, sulit dikenali itu apa karena lumayan gelap. Lebih dekat, semakin jelas, seperti badan manusia.

Tanpa kepala?

"Kakeeek!" Aku keluar dan menggedor-gedor pintu Kakek, tapi tidak ada yang merespon. Begitu juga Bapak dan Dinda. Kugoyangkan tubuh keduanya, berteriak histeris meminta tolong. Namun, mereka seakan tidur mati. Tak membuka mata sama sekali.

Aku meringkuk karena takut. Apa itu tadi? Mengapa ada di rumah ini?

***

Next?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ibuku Kuyang?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang