2

43K 4.6K 140
                                    

Sakit. Pedih. Hancur. Itulah yang dirasakan Raina sekarang. Menghadapi kenyataan kalau dia dikhianati dengan begitu kejam oleh orang-orang yang dia sayangi. Saat dia terseok-seok memunguti serpihan hatinya yang hancur, Maya malah dengan bangga pamer kalau satu bulan lagi dia akan menikah dengan Viko.

Jangan tanyakan lagi bagaimana kondisi hati Raina. Dia semakin hancur saat melihat Viko dan Maya bermesraan di depan matanya. Dan mereka sama sekali tak terlihat merasa bersalah!

Satu orang yang Raina hubungi kala hatinya hancur seperti ini. Hana, sepupu dari pihak ayahnya. Raina menghubungi wanita itu dan meminta bantuan wanita itu. Sungguh, kaki Raina terasa lemas. Dia serasa tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk bangun dari tempat tidur. Dia sangat sakit.

Hana, sepupu Raina sudah tahu yang terjadi. Tentu saja Dedi dengan tanpa perasaan berkata pada kakaknya sendiri yang merupakan ayah Hana, tentang pernikahan Viko dan Maya. Hana sangat kaget mendengar itu karena yang dia tahu Viko adalah tunangan Raina.

Hana datang ke rumah Dedi. Dia bertemu dengan Feni, namun enggan berbasa-basi. Dia langsung menghampiri Raina yang berada di kamar. Dan Hana merasa marah melihat keadaan Raina yang lemah, tapi yang serumah dengannya tak ada yang peduli!

"Sudah kukatakan sejak lama kalau kamu tak seharusnya memberi makan dua benalu itu. Kamu hanya dimanfaatkan," ucap Hana. Tanpa diperintah, Hana mengemasi sebagian pakaian Raina. Dia akan membawa Raina ke rumah orang tuanya. Orang tuanya pasti setuju dengan rencananya. Karena Hana tahu, orang tuanya bukan orang-orang biadab seperti orang yang Raina anggap keluarga.

"Maaf merepotkanmu," lirih Raina. Hana menatap sepupunya tersebut dengan kasihan. Tak mengerti juga, kenapa pamannya lebih membela anak tiri dari pada anak kandung. Ya memang, menikah dengan seorang janda beranak harus bisa menyayangi anaknya. Tapi bukan berarti mengorbankan anak sendiri juga kali.

"Jangan seperti itu. Mulai sekarang, tinggal bersamaku. Orang tuaku tak akan keberatan. Yang ada Papa tak akan bisa tenang selama kamu masih di sini," ucap Hana. Selesai memasukkan sebagian pakaian Raina, Hana pun membawanya ke luar. Raina bisa mendengar Hana berbicara dengan seseorang di luar sana. Tak lama, Hana masuk lagi dan membantu Raina untuk berdiri. Dia menggandeng tangan Raina dan membawa sepupunya tersebut keluar dari rumah. Setelah Raina berada di dalam mobil, Hana kembali ke kamar Raina untuk membawa barang-barang Raina yang penting. Dia juga mengunci pintu kamar Raina dan membawa kuncinya. Menjaga saja jika Maya atau Feni mau mengambil barang Raina seenak jidat mereka.

"Kak Hana, Kak Raina mau dibawa ke mana?" Maya muncul setelah Hana mengunci kamar Raina. Mata Hana menatap gadis itu dengan tajam. Wajah polos yang sangat menjengkelkan. Jika Hana di posisi Raina, sudah dia cakar wajah itu sejak kemarin.

"Bukan urusanmu pelacur cilik," desis Hana. Mata Maya membelalak mendengar itu. Tanpa mengindahkan kehadiran Maya, Hana langsung berjalan menuju pintu utama.

"Bilang pada Kak Raina kalau aku harus bayar uang semester dua minggu lagi." Hana berhenti melangkah, lalu berbalik dan menatap Maya tak percaya.

"Kau gila?! Setelah kau rebut tunangannya, kau masih mau meminta uangnya hah?!"

"Kak Viko sendiri yang memilihku. Salah Kak Raina yang-"

"Diam! Cari kerja saja sendiri! Dasar benalu!" sentak Hana marah. Dia menggeleng tak percaya, kenapa bisa Raina tahan selama ini dengan orang-orang toxic semacam itu. Memang benar, sudah saatnya Raina lepas dari mereka. Dia tak akan rugi.

***

Pengkhianatan yang dirasakan oleh Raina sungguh sangat menyakitkan. Namun dia bersyukur sang paman mau menampungnya. Dia bahkan diperlakukan sangat baik di rumah pamannya.

"Kamu gak ambil cuti lagi saja, Rai?" Hana bertanya saat dia melihat Raina sudah bersiap untuk pergi bekerja pagi ini.

"Enggak, Han. Aku sudah cuti sehari kemarin. Kalau gak ada yang sangat penting, aku gak akan ambil cuti lagi. Kamu tahu sendiri kan kalau bosku sangat disiplin masalah pekerjaan. Aku tak mau kehilangan pekerjaan," jawab Raina. Hana menghela nafas mendengar itu. Padahal dia tahu, Raina masih terpuruk. Dia belum baik-baik saja.

"Baiklah. Sebelum kerja, sarapan dulu. Mama sudah menyiapkan makanannya," balas Hana. Raina mengangguk, tak lupa untuk berterima kasih. Hana pun pergi dari sana, karena dia juga harus pergi kerja. Namun karena arah yang berlawanan, dia dan Raina tak bisa berangkat bersama.

Raina menatap pantulan dirinya di cermin. Dia sudah rapi dengan pakaian formalnya. Rambutnya dia ikat tinggi, dan wajahnya sudah dia poles dengan make up. Hingga mata pandanya tak terlihat, dan wajahnya terlihat lebih segar juga baik-baik saja.

Raina tahu, hatinya masih sakit. Tentu saja tak akan sembuh hanya dalam sehari. Raina bahkan tak tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menata hati dan mengikhlaskan semua. Yang jelas, keputusan Hana mengajaknya tinggal bersama adalah sesuatu yang sangat benar. Setidaknya, dia tak perlu melihat wajah-wajah pengkhianat.

Raina menarik nafas panjang, dan menghembuskannya perlahan. Dia harus kuat dan tegar. Dia harus profesional, tak boleh membawa urusan pribadi ke tempat kerja. Sekarang, karir adalah yang terpenting. Setelah kehilangan kekasih dan rasa percaya pada keluarga, Raina tak mau kehilangan pekerjaan juga. Jadi, dia harus melakukannya dengan sangat baik.

***

Athar berdiri di depan pintu ruangannya. Kedua tangannya masuk ke dalam celana, dengan mata tak lepas dari sosok wanita yang merupakan sekretarisnya. Entah sudah berapa lama Athar berdiri di sana, yang jelas lebih dari 20 menit. Dan yang Athar lakukan hanya melihat sekretarisnya tersebut menangis tersedu-sedu.

Satu tahun Raina menjadi sekretarisnya, Athar selalu puas dengan kinerja wanita itu. Wanita itu selalu profesional, dan membuat Athar puas dalam masalah pekerjaan. Raina tak pernah mengecewakan. Dan baru kali ini Athar melihat Raina serapuh itu. Itu artinya, masalah yang sedang di tanggung Raina sangat berat.

Athar tetap diam di tempat, dan dia mulai bersuara saat isak tangis Raina mulai mereda. Raina sampai terlonjak kaget mendengar suaranya.

"Ada masalah?" tanya Athar. Raina menghapus air matanya dengan cepat lalu berdiri.

"Ti-tidak ada, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Raina berusaha terlihat baik-baik saja, tanpa tahu kalau Athar memperhatikannya menangis sejak tadi.

"Tolong buatkan kopi." Athar menjawab. Setelah itu dia masuk ke dalam ruangannya. Raina menunduk, dan kembali menghapus jejak air mata di pipinya. Dengan cepat dia pergi menuju pantry untuk membuat kopi. Jangan sampai bosnya marah.

_______________________________________

Hai semuanya. Maaf ya baru update malam-malam begini. Jangan lupa tinggalkan jejak🥰

(not) A Cold MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang