1/1

9 4 0
                                    

Juli dan manusianya

.

Hujan kali ini membawaku berdiri pada kaca rumah yang tampak tembus pandang nan jauh disana, menampakkan pemandangan yang membuat garis senyum di bibirku hadir. Begitu bahagianya mereka, anak-anak yang sedang berebut bola sambil berteriak-teriak untuk mengarahkannya pada teman yang lain. Dibawah naungan hujan tanpa gemuruhnya yang menakutkan.

Jika masih kecil mungkin aku akan bergabung dengan mereka, bukan ikut bermain bola. Tetapi mungkin hanya berlari-lari saja sambil merentangkan tangan, memainkan lumpur dengan kaki, atau memakai plastik pada kaki yang dibuat seperti sepatu-sepatuan sambil menikmati hujan yang membasahi kulit. Sederhana, bahagia akan muncul dibalik tawa renyah yang menggema didalamnya.

Sekarang mungkin hanya bisa curi-curi waktu saat pulang sekolah. Sengaja tidak memakai jas hujan, padahal Ibu sudah menyiapkannya di jok motor. Saat sudah sampai rumah baru dimarahi, padahal Ibu tahu aku tidak selemah itu untuk sakit, dari dulu hujan tidak pernah menjadi alasannya. Mungkin saja dia hanya khawatir, menjaga-jaga hal yang tidak diinginkan terjadi makannya selalu sedia jas hujan sebelum hujan.

"Kenapa jas hujannya nggak dipake?."

"Nggak kenapa-napa."

"Baju basah semua, udah tau jarak sekolah sama rumah tuh jauh. Ody-ody."

"Kan jarang-jarang Bu."

Semesta mengirimku padanya, sosok Ibu yang tak pernah menuntut banyak hal. Dia hanya sering abai dengan berbagai hal seperti halnya ulang tahunku. Sedari kecil aku tak pernah mendengar kata selamat ulang tahun darinya, ia tak pernah menanyakan PR ku ketika pulang sekolah, dan bagaimana hari-hari ku lewati disetiap harinya.

Yang paling aku mau saat masih kecil adalah tiup lilin, memakan kue ulang tahun, banyak balon, dan mendapat kado dari banyak orang. Tapi harapan dan inginku itu hanya bisa aku lihat dari orang lain, dengan bahagia aku memenuhi undangan pesta ulang tahun mereka yang mengundangku. Akhirnya aku bisa menikmati pesta, memakan kue ulang tahun, dan bisa membawa balonnya ketika pulang.

Ibu, aku ingin tiup lilin. Mungkin itu suara hatiku ketika masih kecil, harapan yang tak pernah menjadi nyata dan hanya bisa ku bayangkan dalam angan.

Hal-hal yang ibu abaikan itu juga turut hadir dalam diriku. Aku tak pernah tahu ulang tahun Ibu, umurnya sudah berapa, dan hal apa yang paling ia suka. Seolah semesta sudah mengaturnya dengan adil, agar tak ada yang perlu aku sesali karena sudah dilahirkan olehnya. Nyatanya aku sama dengan Ibu.

Saat inginku tak terpenuhi dan Ibu tidak mampu untuk memenuhi, maka dengan tenang ia berucap.

"Kita beda sama mereka, tidak semua hal dengan mudah harus didapatkan."

"Kita mah harus usaha dulu baru dapet."

Waktu itu mungkin aku marah karena sudah kelas sepuluh tapi belum memilki ponsel, tergoda oleh teman-teman yang lain ketika disekolah mereka memainkan ponselnya.

Aku harus sadar bahwa semesta sudah membawaku pada keluarga yang sederhana, apa-apa harus usaha dulu baru bisa didapatkan, dan tidak mudah untuk menengadahkan tangan lalu dengan satu kedipan mata yang di ingin bisa terkabulkan.

Perlahan seiring berjalannya waktu, bertambahnya usia, dan hal-hal menjadi sesuatu yang dipikirkan dengan tidak sederhana.

Semuanya berubah.

Tiup lilin sudah tidak menjadi harapanku lagi, inginku hanya bisa ku pendam dalam diam, keluh-kesahku tak boleh muncul ke permukaan.

Bagiku, kini tak perlu perayaan di hari berkurangnya usia.

Cukup binar Ibu yang selalu hadir untuk menangkan dan mendamaikan hati, kesehatan Ibu yang selalu jadi harap-harap cemasku disetiap saat, dan mungkin saat ini hanya ingin Ibu yang tak pernah aku tanyakan dan aku tahu hal apa dan seperti apa. Karena aku belum mampu.

Jika suatu hari nanti aku sudah mampu, semua yang Ibu ingin dan harapkan akan aku kabulkan. Dengan senang hati.

Tersadar dengan apa yang sering aku abaikan itu, kini aku mengetahuinya. Ibu lahir tanggal dan bulan berapa, umur ibu sudah berapa, dan aku cukup bersedih akan hal tersebut. Ternyata Ibu sudah tua, rambutnya yang hitam indah itu kini ditumbuhi uban membandal yang sering membuatku menggerutu karena selalu disuruh untuk mencabutinya. Padahal kata Pak ustadz, uban itu akan jadi cahaya kita ketika di akhirat nanti.

"Ody, cabutin uban Ibu. Ini gatel banget."

"Susah Ibu cabut sendiri."

"Nanti aja Bu, males."

"Males-males, ayo buruan sebentar."

Aku menghela napas waktu itu, tidak keras hanya saja sebentaranya Ibu itu bisa lama.

Namun pada akhirnya aku harus mematuhi perintah Ibu, sampai punggung belakangku terasa pegal dan Ibu masih tidak ingin menyelesaikan sesi mencabut ubannya. Katanya 'ini yang sebelah kiri belum', 'baru juga sebentar', 'bentar lagi, cabutnya harus sampe ke akar-akarnya biar nggak tumbuh lagi'. Ada saja alasan supaya aku tidak cepat menyudahinya.

"Udah ya Bu, punggung Ody udah pegel nih."

Untuk diriku sendiri saat ini, kamu hebat. Karena kamu tak pernah meminta banyak ingin dan mengerti keadaannya bagaimana. Maka dari itu aku hanya bisa melangitkan doa pada semesta agar apa-apa yang aku ingin dan harapkan semoga segera Tuhan kabulkan.

Doa-doa itu panjang umurnya, selagi aku ada, dan selagi Tuhan memberiku umur panjang.

"Selamat ulang tahun Bu, semoga ingin Ibu tak hanya menjadi harap. Tetapi terkabul dan menjadi nyata."

.

J u l i
Awalmu mengingatkanku
Pada sang Bidadari
Dia,
Yang selalu tangguh
Meski raganya kian merapuh
Rambutnyapun kian memutih
Terkikis waktu
Yang kian
Berlalu.

2021.

.

Manusia kepoan yang banyak 'yaudahlah' nya.

Salam,

Ibu, aku ingin tiup lilinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang