𝙏𝙃𝙍𝙀𝙀
❝𝘽𝙊𝙉𝘿 𝙒𝙄𝙏𝙃 𝘼 𝘽𝙊𝙉𝘿❞
"Bond."
Suara penembak jitu-- Sebastian Moran tidak diacuhkannya. Sedari kemarin yang dipanggil terus terbengong. Hal ini menimbulkan kecurigaan sekelompok Raja Kriminal.
Meleset menembakkan pistol, lupa menyalakan kompor saat memasak, menggunakan garpu untuk memakan sup, insan berjas abu melakukan kesalahan fatal secara random.
Bergiliran Fred menyahut, "James Bond."
Percuma. Nuklir meledak di halaman pun, imajinasi James Bond berkeliaran bebas di siang bolong. Dasi ungu lavender mengikat kerah kemeja seorang Adam tampan. Penggunanya berdiri depan rak, memilah amplop bagus. Berjam-jam ia mengerahkan tenaga menyeleksi stempel segel lilin.
Pulpen bertinta menorehkan paragraf. Goresan meliuk membentuk kumpulan kalimat puitis. "Sialan!" umpat Bond merobek karya-nya, "Aku tidak puas!" Serpihan cabikan suratnya berjatuhan mengotori karpet.
Bungsu berkacamata yang kebetulan melewatinya menyeletuk, "Berberes tidaklah mudah, jadi tolong bersihkan kekacauanmu." seraya menyerahkan sapu. Namanya Louis James Moriarty, adik favorit duo bangsawan. "Oh ya..." Merah permatanya berkedip sekali sebelum lanjut berkata, "Moran, aku memerintahmu bantu merapikan perpustakaan. Apa kau selesai?"
Takut dimarahi, pria dewasa bertubuh bongsor itu mencoba kabur. Sial sebotol bir di meja tidak sengaja tersenggol ke lantai, tumpah menyisihkan bau memabukkan. "Uh... Fred yang menggantikanku..." bohong Moran sempat cegukan.
Sedangkan Fred yang tengah menyirami tanaman, terbelalak, "Hah?"
Refleksi Moran di lensa nampak berkilau oleh pantulan cahaya lampu. "Bisa beritahu kebenarannya?" ketus Louis mengeluarkan lap terlipat di saku, "Kau selalu menghindari tanggung jawab. Apa perlu kubatasi jadwal minum, atau kau ingin tiada alkohol lagi di hidupmu?"
Penat Bond semakin bertambah akibat keributan pemuda sana. "Daripada mengurus keteledoran bocah cilik, tolong antarkan aku pada William. Boleh?" Tumpukan robekannya ia lempar ke plastik sampah. Sapu yang diberikan ia kembalikan ke pemiliknya pula, lalu disimpan di gudang.
"Hoi, apa aku yang kau sebut 'Bocah Cilik'?" omel Moran.
Remaja berusia sembilan belas tahun menoleh. "Tumben sekali," tutur Fred sang ahli beladiri. Walau muda, kemampuannya berlatih senjata bukan main.
Tidak ada yang peduli ocehan kekanakan Moran. Semuanya saling berbincang serius, terhitung Bond yang membalas, "Iya, aku perlu membicarakan sesuatu. Kutahan semalaman... eh, kapan, ya?"
Louis menghela napas berat. "Baiklah, ikuti aku."
Rasanya Bond gugup setengah mati. Lututnya melemas seiring menginjak beberapa tangga ke bawah tanah. Keringat membasahi sekujur punggung, menembus pakaian sampai Bond berharap dapat melepaskan vest. Tubuhnya tidak kunjung tenang dari kegelisahan.
Sekadar menemui William mewujudkan batinnya menggila cemas. Pandangan licik bercampur setitik keramahan yang seolah menembus jiwa, menyelidik pikiran, mengetahui segala fakta yang disembunyikannya rapat, bukankah menyeramkan? Memikirkannya saja Bond pusing tujuh keliling.
William James Moriarty. Lelaki sempurna di bidang kepintaran. Bangsawan kelas atas dimana posisinya tidak dicurigai. Tampan, bijaksana, genius, dusta mana lagi?
Justru Louis fokus menuntun jalan ke bilik melewati jalur rahasia. "Diskusi penting kah?"
Berbagai jeritan panik terpatri di benak Bond. Biru sapphire makula-nya membesar terkaget-kaget. "Ke... ketahuan, ya...?" gagapnya takut.
Hening sejenak hingga ketukan pintu memotong momen mereka. "Baiklah, panggil aku jika membutuhkan sesuatu." Louis berbalik meninggalkan Bond bersama kecanggungan.
"Eh, jangan tinggalkan ak--" Rengekan Bond terkubur gema pantofel Louis yang beranjak menjauh. "Astaga..."
Tidak membutuhkan semenit sosok jangkung membukakan pintu. Deritnya menyadarkan Bond bahwa ia harus sigap. "Ada apa kemari?" Di balik tingginya William, ia mengintip adanya dokumen rencana berserakan, peta tertempel di mading, perhitungan rumus materi kuliah, berbagai kesibukan yang bagaikan di luar dunia Bond. "Sebentar, kuseduhkan teh."
Refleks Bond menggeleng. "Tidak usah repot." Sesuai insting, ia menunggu sabar di sofa berbantal empuk. "Maaf mengganggu."
"Tidak mengapa. Aku hanya tidak terbiasa melayani seseorang," kekeh William memutar knob tungku perapian.
Assam black, oolong, earl grey, berkotak-kotak jenis teh berderet sepanjang lemari. Memilih mana yang sesuai, William memutuskan menyendok serbuk dedaunan kering berupa Darjeeling Tea ke rebusan. Uap mendidih berkumpul di udara, mengubah dingin malam menjadi suasana hangat. Transparan air dalamnya kemudian beraroma anggur muskat diikuti bertransformasi warna cokelat. Harumnya menghinoptis.
Gumaman pelan menarik perhatian. "Apa yang mengganggumu?"
Tepi bibir Bond berdarah saking ia gigit gregetnya. "Ah, kau tahu, ya?"
"Moran melaporkan kinerjamu memburuk, maka kuyakin ada hubungannya."
Awalnya Bond hendak berbicara. Namun ia urungkan begitu keraguan meredupkan semangatnya. "Sebulan sejak aku memalsukan identitas..." lirih Bond hampir tidak terdengar, "... aku belum rela."
Wanita yang dirumorkan berpulang ke rumah Tuhan sebenarnya tidak tewas. Terlibat kriminalitas tingkat besar memaksanya bekerja sama di pihak berlainan. Benar, Bond-- nyatanya bernama Irene Adler, menggantikan gendernya sebagai lelaki 'jadi-jadian'.
"Kau tahu, aku berjanji mengirimkan surat semasa aku masih Irene Adler kepada seseorang."
Lampu imajiner menyala terang menderang di atas kepala William. Satu kebenaran cemerlang sukses tersimpul melalui rentetan petunjuk kecil. "Kau ingin menghubunginya lagi?" tanya William memastikan.
Antusias, Bond seriangnya bangkit. "Tentu! Mari kujelaskan betapa imutnya dia. Murah senyum, senang bercakap, pintar, kreatif, yah... gadis yang sudah kuanggap adik kandung." Sekitar setengah jam mereka berbincang selayaknya partner, bukan majikan dengan bawahan.
Terlontar tawa pelan lantaran perasaan entah senang, atau terbawa seru. "Lakukan sesukamu. Kau boleh mendekati dia asalkan tetap menjaga personalitas serupa James Bond, bukan Irene Adler. Mengerti?" jawab William simpati terbalas anggukan Bond.
"Siap! Terima kasih, Liam!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙀𝙓𝙏𝙍𝘼𝙉𝙀𝙊𝙐𝙎
Fanfiction╰─➤ 𝙈𝙊𝙍𝙄𝘼𝙍𝙏𝙔 𝙏𝙃𝙀 𝙋𝘼𝙏𝙍𝙄𝙊𝙏 𝙎𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙘𝙖𝙡𝙤𝙣 𝙥𝙧𝙞𝙢𝙖𝙙𝙤𝙣𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙚𝙘𝙖𝙧𝙖 𝙠𝙚𝙗𝙚𝙩𝙪𝙡𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙧𝙠𝙚𝙣𝙖𝙡𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙒𝙞𝙡𝙡𝙞𝙖𝙢 𝙅𝙖𝙢𝙚𝙨 𝙈𝙤𝙧𝙞𝙖𝙧𝙩𝙮 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪𝙞 𝙨𝙪𝙧𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙮𝙪𝙧𝙖𝙩...