Kepastian (1)

663 58 0
                                    

New's Point of View

Kalau orang-orang tanya kapan dan kenapa gue jatuh cinta ke Mas Tawan, jawabannya 'ga tau'. Ya emang ga tau. Gue bahkan ga tau apa itu cinta.

Kit, Gun, Win dan bahkan Singto bilang kalau gue ke Mas Wan udah bucin banget, padahal ke mantan gebetan gue sama sekali ga pernah gue kayak gitu. Gue sebenarnya pengen ngebantah mereka, tapi gue lupa. Gue sejak sama Mas Wan sudah beneran lupa bagaimana gue dulu. Gue lupa bagaimana gue memperlakukan orang lain dan bagaimana gue membatasi diri gue ke orang lain. Gue lupa sampai kak Kay kembali muncul ke hadapan gue.

Kak Kay itu orangnya baik banget. Dia humoris dan senyumnya secerah mentari. Dia punya banyak banget teman. Dia mudah di cintai. Kalau ada yang tanya tentang perasaan gue dulu ke kak Kay, jawabannya gue ga tau. Ya emang benar dia mantan gebetan gue dulu waktu SMA, tapi gue ga tau rasa yang dulu muncul untuk kak Kay itu apa. Yang gue ingat, dialah orang pertama menarik perhatian gue untuk dekat dengan orang lain dalam konteks romansa. Ya, dia berhasil mencuri perhatian gue sampai gue mau aja digebet sama dia.

Mungkin gue cinta sama dia, dulu. Atau mungkin tidak sama sekali.

Waktu gue ketemu dia kemarin, rasanya sama seperti dulu. Dia baik dan ramah seperti dulu. Bener-bener memperlakukan gue sama seperti dulu. Dan gue masih membatasi sikap gue ke dia. Semuanya sama seperti dulu. Meskipun gue ngerasa kalau dia bukan sekedar ngajak gue jalan kemarin. Dia sedang berusaha mendekati gue lagi. Gue ga bodoh untuk ga sadar akan hal itu. Perasaan gue? Kayaknya ga ada bedanya seperti dulu. Gue seneng.

Tapi apa bener itu cinta? Gue rasa bukan.

Kalau memang cinta, gue bakal langsung meng-iya-kan ajakannya buat jalan lagi hari ini. Gue ga bakal mengabaikan ajakannya di kolom komentar twitter itu. Dan gue ga bakal kepikiran dengan orang yang tengah tertidur pulas di hadapan gue saat ini.

Tay Tawan. Enggak. Mas Tawan gue.

Entah kenapa belakangan ini kepala gue penuh dengan dia. Disingkirin pun enggan beranjak pergi. Gue jalan bareng kak Kay pun bayang-bayang mas Wan selalu ikut. Rasanya gue selalu rindu dengan eksistensinya di sekitar gue. Gue terlalu rindu dia sampai-sampai gue menolak ajakan makan malam degan kak Kay dan memilih pulang ke apartemennya untuk makan malam dengan Mas Wan kemaren.

Gue udah gila kayaknya.

Tapi ada satu hal yang menyakiti gue. Sakit banget rasanya sampai gue ga sanggup buat merasakannya lagi. Gue ga sanggup melihat mas Tawan menangis tersedu-sedu sampai ia tertidur seperti semalam. Gue ga suka. Rasanya dada gue diremukkan. Mas Wan mungkin ga sadar kalau gue ikut menangis bersamanya semalam.

Gue memandang wajahnya Mas Wan yang tengah tertidur lelap ini. Wajahnya terlihat tirus, kulitnya kering, bawah matanya agak hitam, dan matanya membengkak bekas tangisan semalam. Ahh. Gue ga tega.

Menyadari kondisi kulit dan kantung matanya gue jadi penasaran, sejak kapan Mas Wan menderita insomnia? Berapa jam ia tidur dalam sehari? Berapa banyak beban yang ia tanggung? Dengan siapa ia bersandar selama ini? Kalau sendirian, sampai mana ia akan bertahan?

Gue mendekati wajahnya dan mengecup matanya pelan dan lama. Gue berusaha menyerap semua beban dan kesedihan yang ia tampung selama ini. Gapapa gue ngerasain sakitnya asal Mas Wan gue ini bisa tenang dan tertidur pulas seperti bayi kayak sekarang ini.

Gue merasakan tangannya yang berada di pinggang gue semakin mengerat. Sepertinya gue mengganggu tidur nyenyaknya.

"Kenapa dilepas?" Ucapnya dengan suara serak.

"M-mas bangun sejak kapan?" Gue gugup karena kedapatan sedang mencuri kesempatan menciumnya diam-diam.

"You kissed me. How can i sleep with a mouth on my eyes?"

HappierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang