❀ Bab 2 ❀

97 18 1
                                    

Hari ini adalah hari biasa di Vanam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini adalah hari biasa di Vanam.

Aku berkeliling lagi, mengamati setiap tumbuhan yang sama setiap harinya.

Beragam warna dan bentuk menghias mata, tapi lama-lama terbiasa hingga bosan.

Comtohnya ketika berusia lima tahun, aku sedang mengamati hutan ini untuk kali pertama. Saat itulah aku dipertemukan dengan setangkai bunga mawar biru terang lagi harum.

Waktu pertama kali menciumnya, aku hampir tidak bisa melepas hidung darinya. Begitulah yang terjadi selama dua hari, kemudian aku pun mencampakkan setiap mawar serupa karena sudah tahu bagaimana baunya.

Di lain waktu, aku kembali bertemu dengan seekor kelinci bertanduk rusa menghias kepala mungilnya. Sesekali aku mengejar, tapi sebagian mulai senang mendekatiku.

Pada awalnya, seperti mawar biru itu, aku kegirangan hingga mengelus kelinci bertanduk rusa tadi bahkan memberikan makanan yang biasa kusantap kepada mereka.

Namun, kini aku hanya memberi makan tanpa mengelus apalagi menyentuh. Mereka kini hanya menjadi gumpalan bulu yang selalu merengek minta makan.

Bosan? Ya. Sejak lama aku mendambakan hal baru terjadi di hutan yang damai ini. Tetapi, semua gagal selama Para Penjaga Hutan berjaga.

Belum pernah kulihat makhluk lain benar-benar masuk ke sini melainkan bakal dibawa para penciptaku ke suatu tempat yang tersembunyi hingga tidak terlihat lagi.

Percakapanku dengan para pencipta tidak sering, tapi tidak pula secanggung itu. Kami akan bicara bila merasa perlu atau sekadar rindu. Biasanya, mereka yang mendatangiku lalu menceritakan kejadian hari ini. Tentu saja cerita yang sama setiap hari, membuatku bosan tapi tidak punya pilihan lain selain mendengarkan.

Hari ini cukup terik. Pertanda musim panas tengah berkuasa di Vanam.

Salah satu penciptaku adalah pengendali musim panas. Dia akan bersantai di bawah sinar mentari di atas kuasanya bahkan sesekali mengaku seakan sedang berjemur di pantai, yang mana tempat asing bagiku. Belum pernah kami ke sana, tapi aku tidak akan lupa untuk meminta.

"Siang, Ila!"

Sapaan itu menyentakku. Tapi, aku langsung ingat siapa gerangan itu.

Di balik semak belukar, terlihat helaian rambut cokelat kejinggaan serta mata dengan warna yang sama, memancarkan kejahilan.

"Siang juga."

Begitu keluar, tampaklah tubuhnya yang dilapisi kulit berwarna sawo matang dan posturnya yang sejajar denganku.

Dialah Aditya, salah satu penciptaku dan Penjaga Hutan termuda, menjadi penguasa di saat musim panas.

Sebenarnya, aku punya panggilan khusus untuk para penciptaku sebagai wujud hormat sekaligus kekerabatan antar kami.

Aku tidak memanggil mereka "Ayah," "Ibu," "Kakak," maupun "Adik." Aku justru memanggil mereka dengan sebutan "Dama" yang kugunakan kepada bagian dari keluarga yang disayangi lagi dihormati. Meski sesekali kupanggil mereka dengan nama.

Para penciptaku adalah ruh, yang mana mereka tidak punya jenis kelamin kecuali jika merasuki sebuah raga. Tapi, sekarang mereka tidak menyebut diri sebagai lelaki maupun perempuan.

"Ila tidak ada rencana hari ini?" tanya Aditya sambil memandangku dengan antusias. "Dama punya mainan baru untuk Ila, lho!"

"Benarkah?" Aku tentu saja tertarik. "Mau, dong!"

Aditya terkekeh. Dia kemudian mengatupkan kedua tangan selama beberapa detik, kemudian membuka telapak tangannya lagi.

Saat itulah, keluar beberapa ekor kupu-kupu bersinar layaknya cahaya terbang menghias langit dengan cantiknya.

Aku berdecak kagum. "Apa itu?"

"Aku menyebutnya Kupu-Kupu Api," jawab Aditya. "Ila suka?"

"Suka!" Aku tersenyum tulus, kini waktuku bermain dengan para Kupu-Kupu Api ciptaan Aditya. "Terima kasih!"

Aditya hanya tersenyum, sebelum perlahan menjelma menjadi cahaya seakan menyatu dengan alam.

❀❀❀

❀❀❀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Forest's Daughter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang