Langit malam yang gelap nan dingin mengingatkanku pada suatu titik dalam diriku dimana aku menyadari satu hal yang sedang terjadi disana. Tak bukan tak lain adalah kesendirianku.
Aku bukan tipikal anak yang selalu sendiri, tapi aku bukan juga tipikal yang banyak mempunyai teman. Bukan seperti itu, aku hanya saja merasa seperti sendiri.
Apa mungkin temanku yang kadang tidak sepemikiran denganku? Ataukah aku memang sengaja untuk menyendiri?
Terkadang aku sampai bingung harus berucap apa mengenai hal 'kesendirian' ini. Akan tetapi, aku bahagia dengan hal tesebut karena ada alasan dibaliknya.
Saat ini aku sedang berjalan dengan semua teman sekelasku juga wali kelasku. Seperti sedang mengadakan karya wisata. Namun sayangnya kondisiku ini kurang mendukungku untuk mendapat kesenangan dari melakukan perjalanan karya wisata. Sekitar tiga hari yang lalu, aku baru saja sembuh dari penyakit yang menyerang perutku.
Rasanya masih agak sakit jika aku berjalan terlalu jauh. Dan baru saja kami berjalan agak jauh yang menyebabkan aku harus beristirahat sebentar di pinggir jalan. Karena sekarang jam 4 pagi, teman-teman sekelasku bebas berkeliaran di jalanan untuk bermain-main.
Iya, kami sebenarnya akan di anggap melanggar aturan jika kami terus menerus berjalan di jalan utama dan bukan di pejalan kaki saat siang hari.
Trotoar disini setiap sekitar dua meter sekali ada tiang pendek. Tingginya sekitar 110cm. Membuat jalan ini menjadi semakin indah lagi.
Perjalanan ini sempat terhenti karena wali kelasku yang melihatku sedang kesakitan. Tapi untunglah sakit perut ini tidak bertahan terlalu lama sehingga kami dapat melanjutkan perjalanan kami lagi.
Tujuan akhir kami adalah sebuah lapangan basket di ujung jalan ini. Jalan yang agak menudun dan jalanannya tidak terbuat dari aspal, melainkan dari batu bata yang berwarna seperti batu.
Kanan kiri kami adalah rumah-rumah yang juga masih terbentuk dari batu bata. Aku tidak ingat, oh bukan. Aku malah tidak tahu ini ada dimana, yang pasti kami sedang bepergian untuk melaksanakan karya wisata.
Suasana pagi yang berkamuflase seperti malam hari ini sungguh membuatku merasa sendiri juga merasa tenang. "(y/n), kamu udah bisa jalan lagi kan?" Tanya guruku khawatir.
Aku mengangguk mengiyakan perkataan guruku dan sedikit mengulas senyum seakan semuanya benar-benar terlihat baik-baik saja. "Iya, sudah kok bu."
"Nanti kalau kamu sakit lagi, jalan pelan-pelan aja ya. Soalnya bentar lagi sampai nih." Aku kembali mengangguk. "Iya bu."
"Atau kamu mau di temenin sama siapa? Sama...—" entah perkataan guruku di putus secara paksa oleh seseorang yang secara tiba-tiba muncul di sebelahku atau karena guruku bingung siapa temanku, aku tidak terlalu peduli dengan kedua hal tersebut. Aku terlalu sibuk untuk memikirkan kesendirianku.
Melihat orang di sebelahku, aku tidak habis pikir, kenapa sampai ada orang sepertinya yang mau menolongku padahal kami sama sekali tidak dekat? Tapi,
...aku bahagia dengan hal tersebut.
"Saya saja bu yang menemaninya." Suara berat khas laki-laki di sebelahku terdengar lumayan lantang dan sangat tegas dalam setiap kata yang ia keluarkan. Aku sampai tak percaya.
Bahkan guruku sampai tak bisa berkata apa-apa ketika orang yang di sebelahku ini menawarkan dirinya untuk menemaniku yang dapat kubilang bukan siapa-siapanya.
"Ohhh, ok. Nanti kalau ada apa-apa pada (y/n), bilang aja ya." Pesan guruku kepada orang di sebelahku. "Iya bu."
Sebelum perhatianku benar-benar teralihkan kepada teman-temanku yang sedang asik sendiri dengan dunia mereka, orang yang berada di sebelahku ini langsung main menyambar tangan kananku untuk ia genggam tanpa meminta izin dariku terlebih dahulu.
Greb!
Deg!
Jantungku seketika terpompa dengan sangat cepatnya. Tangannya terasa begitu hangat jika dibandingkan dengan tanganku yang mudah merasa dingin, apalagi aku hanya memakai jaket tipis di jam seperti ini dan di musim penghujan.
Aku terkadang merasa kurang nyaman dengan laki-laki, apalagi jika ia langsung melakukan hal-hal diluar dugaan seperti tadi.
Aku menatap genggaman tangan kami dengan tatapan tidak percaya. Seakan ini adalah sebuah mimpi indah yang sedang di mimpikan oleh seseorang perempuan yang sedang merasa butuh dukungan kuat untuk terus berusaha dalam hidupnya namun ia belum mendapatkan dukungan itu.
Laki-laki yang baru saja menggenggam tanganku itu berlayak seperti tidak ada kejadian diantara kami, dan dengan santainya ia mengajakku untuk mulai berjalan karena kami tertinggal di belakang.
Keadaan yang seperti inilah yang membuatku merasa gugup dengan cepat, seakan dunia hanya milik kami berdua dan waktu berjalan dengan sangat cepat namun juga sangat lambat.
"Langitnya bagus ya?" Aku menolehkan kepalaku ke arah langit saat ini. Benar saja, indah. Meskipun tidak ada bintang atau bulan yang menemani, rasanya sangat indah walau hanya bersamanya saja.
Di tengah aku sedang menatap langit biru tua itu, aku berucap. "Iya, bagus."
Aku kembali menatap jalan yang berada di depanku dengan jantung yang masih berdegup kencang. Jalan ini terasa sangat panjang.
Ia semakin menggenggam erat tanganku. Mungkin ia berharap ia dapat menghangatkan tangan dinginku ini dengan cara menggenggamnya dengan sangat erat.
Kami terus berjalan.
Langkah demi langkah.
Degupan yang terus berdetak.
Dan hawa dingin yang mulai menghangat.
Aku sedikit melambatkan langkahku demi untuk melihat wajahnya dari belakang.
Aku masih tidak mempercayai apa yang sedang ku alami saat ini. Di gandeng oleh seseorang yang sangat kusukai di saat yang lain sedang asik dengan dunianya masing-masing, kini akhirnya aku juga mempunyai duniaku sendiri.
Kami hanya berdiam diri, aku tidak tahu jika ia ingin mengatakan suatu hal kepadaku. Tapi aku sendiri tidak ingin berucap apa-apa.
Bukan karena bibir ini yang kelu—tidak dapat berbicara kepada orang yang menempati tempat spesial di hatiku. Aku hanya ingin menikmati waktu kebersamaan kami.
Itu saja, karena bagiku hal sekecil itu saja sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Kami terus berjalan sampai kami mendekati lapangan basket yang berada di ujung jalan ini. Disana sudah ada beberapa temanku yang sudah memasukinya dan mulai bermain basket.
Tak terasa, langit sudah mulai berganti. Matahari perlahan-lahan menyingsing di pagi yang indah ini. Langit gelap subuh yang ku kenang sebagai langit terindah itu luntuh dengan keberadaan matahari.
Dan titik tergelap itu pun menjadi titik terang.
Kami berhenti di dekat lapangan basket itu. Lalu ia pun memutar badannya ke arahku, begitu pula aku.
Hal yang terakhir kali ku ingat dari salah satu kenangan indah ini adalah ia yang tersenyum lebar kepadaku.
Deg!
Otomatis aku juga membalas senyumnya meskipun aku yakin ia dapat melihat rona merah di kedua pipiku.
Aku hanya terlalu bahagia dengan semua kejutan ini.
Terima kasih, Taehyung.
— 1027 words.
13-08-2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scenery;Kim Taehyung
FanfictionSebuah mimpi dimasa lalu yang dijadikan sebuah tulisan. Tentang kesendiriannya, kebingungannya, dan kebahagiaannya menjelang ujian yang menguras begitu banyak perasaan. Marah dan sedihlah yang menciptakan mimpi terindah ini.