Galexia; Vemoon

40 4 0
                                    

"Kamu punya chip itu kan?" tanya Javas sambil terus membuntuti ku yang sedang memasak di dapur.

"Ayo lah, Lex," Javas masih memohon. Tapi, aku masih sibuk dengan panci berisi mie yang sudah mendidih. Aku mematikan kompor. "Lex," Javas masih berusaha. Apa peduli ku.

Aku menuang hasil masakan ku pada mangkuk di atas meja. Menuangkan bumbunya kemudian ku aduk sampai bumbunya merata.

"Galexia."

"Javas!" bentak ku sambil menggebrak meja dengan kencang. Javas terlihat kaget dengan reaksi ku. "Kamu cari mati? Jangan panggil nama lengkap ku!" kataku tertahan sambil menatap tajam ke bola mata Javas.

"Nggak ada siapa-siapa, kok, di sini. Jadi bebas," ucap Javas tenang sambil merentangkan kedua tangannya.

"Bego! Bahkan tembok rumah ku bisa menjadi kamera yang baik untuk para petinggi di Pusat Bumantara."

Aku mulai tersulut emosi. Ku tarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Masih untung selera makan ku tidak hilang. Aku kembali duduk dan meladeni mie kuah yang sudah menghangat.

Javas di seberang ku mulai terlihat pasrah. Ia ikut duduk dan memperhatikan ku yang sedang lahap memakan mie.

"Bahkan untuk sahabat sendiri?"

Sungguh aku sangat jengkel dengan sifat keras kepala Javas yang memang tidak jauh beda dengan ku. Tapi, ini beda urusan. Tidak semudah yang pria itu bayangkan.

"Lexi," panggil Javas.

Aku berhenti melahap makanan ku. Mendongak untuk menatap Javas. Wajahnya masih memelas untuk modal supaya aku mengabulkan permintaannya. Aku masih menatap Javas datar kemudian membuang napas panjang yang kesekian kali.

"Nggak semudah yang kamu bayangkan. Aku memang punya hak dan punya tempat di Pusat Bumantara, tapi semuanya itu bukan aku yang pegang. Aku cuma sebagian kecil," jelas ku dengan sabar.

Javas diam sebentar. Agaknya ia memikirkan ucapan ku barusan dan berhenti membujuk. "Tapi, kamu punya akses banyak, Lex. Kamu punya teman di sana, kan? Tolong lah, Lex. Sekali ini aja aku minta," Javas masih saja berusaha mencari cara.

Helaan napas untuk kesekian kalinya. Aku diam untuk berpikir. Mempertimbangkan permintaan Javas dan bagaimana cara aku menolongnya.

"Hanya untuk satu kali ini aja. Nggak ada setelahnya," kata ku yang akhirnya memilih membantu sahabat menjengkelkan ini.

"Ah, gitu, dong, dari tadi. Susah banget tinggal ngomong gitu aja," ucap Javas dengan cengirannya yang membuat ku kembali kesal. Kemana wajah melasnya tadi?

"Makasih, Lex." Javas beranjak dari kursinya dan berniat untuk memelukku. Tapi aku menghalaunya lebih dulu dengan memukul kepalanya. Javas mengaduh, tapi kemudian menampakkan wajah senangnya lagi. Ia kemudian menuju ke pintu utama bermaksud untuk kembali ke rumahnya dan mengabari kabar gembira ini. Yang pasti bisa membuat heboh. Sebelum itu semua terjadi aku berteriak memanggil namanya. Javas menoleh dengan wajah bodoh.

"Nggak boleh sampai bocor! Cuma aku dan kamu," ingat ku.

"Lilia?"

"Nggak," tolak ku tegas.

"Ayo lah."

"Kasih tau dia di waktu keberangkatan aja."

Javas terdiam sebelum mengiyakan dan menghilang di balik pintu.

Aku menunduk dan mendapati mie yang sudah mengembang. Selera makan ku sudah hilang. Dan aku harus segera menyelesaikan masalah konyol Javas ini. Sialan!

🌐🌐🌐

Di sini lah aku. Duduk bersama para petinggi di gedung utama Pusat Bumantara. Aku termasuk salah satu anggota yang paling penting dan termuda di sini. Cukup untuk dibanggakan. Tapi, siapa yang akan terkesan? Orang tua? Aku ini yatim piatu yang lebih memilih hidup di rumah sederhana peninggalan buyut daripada rumah mewah nan megah yang didapat dari jabatan ku di Pusat Bumantara sebagai pengendali gerbang antar planet.

Weniverse [Cerpen Sains Fiksi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang