#1 Aku ingin juga

32 5 12
                                    

Hari ini Dinda berulang tahun. Ya, semua orang merayakannya meskipun hari ini libur, bahkan teman-temannya pun datang memberikan kejutan.

"Selamat ulang tahum, kami ucapkan ...." Semua orang bernyanyi ceria, bertepuk tangan.

"Selamat ulang tahun, Dinda!"

"Terima kasih," jawab Dinda.

Hari itu benar-benar meriah, penuh warna, penuh tawa. Dinda kini berusia 17 tahun. Sungguh indah bukan, jika merasa dicintai, dipedulikan, diprioritaskan, dan yang paling penting diingat.

Saat itu Vania, gadis berusia enam belas tahun, membayangkan hal yang serupa. Namun, hal itu cepat-cepat ia gubris, mengingat selama enam belas tahun hidupnya ia belum pernah mendapatkan hal itu. Ya, sepele namun bermakna.

"Selamat ya, ini kado untukmu." Vania memberikan kado ulang tahun kepada Dinda.

"Terima kasih," jawab Dinda senang.

"Semoga panjang umur, sehat selalu, dan bahagia, " doa Vania.

"Aamiin," ucap Dinda, "Eh, Van, kalo mau makan itu, ke samping ya, ajak yang lain. Makasih udah ngerencanain kejutan buatku." 

"Iya, nanti aku gabung kok, aku masih mau nyantai dulu."

"Ah, begitu."

Puluhan menit berlalu, Vania menghabiskan banyak energinya untuk hari ini, setelah makan bersama selesai, mereka pun pulang.

"Din, aku pulang ya, makasih." Vania melambaikan tangan.

"Kembali kasih ya Van."

Semua orang pulang dengan tebengannya maupun pacarnya. Tak ada satu pun yang menawari Vania untuk pulang bersama. Vania memutuskan untuk menelpon ayahnya untuk dijemput sambil berjalan kaki.

"Yah, tolong jemput di depan gang rumah Dinda sekarang."

"Iya," jawab ayahnya singkat.

Sesingkat itu memang perhatian yang ia dapatkan, hanya sebatas ucapan 'iya' tanpa embel-embel panggilan 'sayang' ataupun 'nak' dari ayahnya. Lagi-lagi ia berusaha mengalihkan pikirannya.

Sambil berjalan kaki menuju depan gang, Vania kembali dalam khayalannya, hati kecilnya masih berharap akan hal itu. Ya, hal itu, hadiah ulang tahun karena tiga bulan lagi, ia akan berusia tujuh belas tahun—sweet seventeen. Saat larut dalam khayalnya, klakson Ayah Vania memecahkan khayalannya.

"Cepat naik!" perintah ayah.

"Ah, iya," jawab Vania.

Sesampainya di rumah, Vania berlari menuju kamarnya langsung membuka ponselnya dan mengirim pesan dengan pacarnya. Betapa girangnya gadis itu menemukan topik bahkan ia belum sempat mengganti bajunya.

"Sayang, bisa telepon?" Vania memulai obrolan.

"Maaf enggak," jawaab pacarnya.

"Kenapa sih Kak? Akhir-akhir ini jarang banget." Vania mulai cemberut.

"Text aja ya, aku masih sibuk kuliah, bentar lagi skripsi, kalo mau cerita, cerita aja."

"Ah, baiklah, aku paham," jawab Vania mengerti, "uhm Kak Angga, aku jadi kepikiran, sebentar lagi aku tujuh belas, kira-kira ada enggak yah yang bakal inget?"

"Yah mungkin ada,"

Vania cemberut.

"Siapa?" tanyanya memastikan.

"Yah, siapa pun."

Wajah Vania makin terlipat jelas, "Ah, bukan itu, aku hanya ingin merasa diprioritaskan. Aku takut nanti aku kecewa."

"Yah, jangan diharap," balas Angga.

"Iiihh ... tapi aku mau kadoku." Vania mulai manja.

"Yah mungkin ada."

"Siapa?"

"Siapa tahu," jawab Angga, "banyakin temen aja kalo mau."

Vania makin kesal. Ia hanya ingin mendengar jawaban bahwa kekasihnya mau menemaninya di hari spesialnya nanti.

"Iiihh ... ya udah deh." Vania berusaha untuk tenang, ia tak ingin memulai api untuk hari ini.

"Iya."

Percakapan pun berakhir, Vania menatap langit-langit rumahnya. Ia merasa diasingkan, bahkan di rumahnya keluarganya sendiri, sekitar dua bulan yang lalu sepupunya berulang tahun, satu keluarga bahkan termasuk ibunya juga ikut merencakan dan memeriahkan acara tersebut, tapi tidak pernah untuk Vania.

Saat jalan-jalan keluarga besar pun, ia tak mendapat tawaran, hanya sepupunya yang lain. Terkadang ia membantin kesalahan apa yang ia perbuat hingga ia diperlakukan seperti ini.

"Ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja, aku saja yang terlalu berlebihan dan berharap, aku tak ingin membuat perspektif bahwa diriku yang paling menderita di sini," gumam Vania.

Tak mau larut dalam kegelisahan Vania beranjak dari tempat tidur bergerak menuju dapur hendak menyantap makan siangnya. Meskipun begitu ia tetap berjalan dengan langkah gontai dengan wajah cemberut.

Hadiah untuk VaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang