;Taehyung menghitung banyaknya koin yang sudah ia habiskan di perjalanan menuju gereja di depannya. Jalanan penuh, satu-dua orang kurang beruntung di tiap pemberhentian lampu merah membuatnya selalu membawa koin banyak-banyak tiap keluar rumah. Recehan yang begitu disepelekan mungkin bisa menolong para penjaja kehidupan. Di tengah kerasnya terik matahari dan juga pelik takdir Tuhan.
Ia kadang berpikir terlalu banyak, juga menangis dalam diam terlalu sering. Buku-buku yang selalu ada dalam genggamannya tak akan bisa mengubah pandangannya tentang kehidupan yang hina. Putih di atas hitam, lurus di atas miring, miskin selalu miskin, dan betapa tidak bergunanya koin-koin di tengah mata uang dari para kapitalis yang
"Tinggal sekeping lima ratus yang tersisa!" pekik seseorang di belakang Taehyung, berbentuk sebuah halusinasi semata. Ah, suara teriakan yang riang itu, benar-benar membuat panasnya kota menjadi sejuk barang sejenak.
"Harusnya ditambah lima ratus lagi, Jungkook." Taehyung menjawab, tidak peduli jika ia terlihat seperti orang gila. Serius, suara teriakan itu benar-benar ada dan nyata. Apa ia terkena skizofrenia? Bisa jadi? Ah, persetan. Mana tahu dunia tentang hatinya yang tak karuan. "Aku tidak mau memberi hanya sekeping ini saja. Tidak adil."
"Memangnya adil itu yang bagaimana?" kekehan itu terdengar halus. "Kau selalu mengomel soal adil dan tidak adil. Tinggal dikasih saja apa susahnya? Daripada dibawa pulang, bukan?"
"Kita bisa menggunakannya kapan-kapan lagi, tidak harus sekarang."
"Itu ide buruk."
"Baiklah, kau menang," desah Taehyung, lucu juga ia bertengkar dengan dirinya sendiri. Ketika sesosok penari yang sedari tadi menghibur para pengendara di depan lampu rambu-rambu lalu lintas itu menghampirinya, Taehyung menaruh koin di ember tersebut. Tersenyum tulus. Berbisik pelan, "Jeon, kau menang, Sayang."
"Anak baik. Kim Taehyung Taehyung seorang anak baik."
Taehyung tidak memedulikan suara dalam benak itu lagi. Ia memanaskan mesin motor tuanya, mengikuti para pengendara lain untuk membelah kerasnya kehidupan di tengah keapatisan yang masif.
Beginilah seorang Kim Taehyung. Si sosok tolol yang tidak bisa merelakan kepergian kekasihnya, bahkan nyaris dua tahun menjelang.
;
"Jeon Jungkook!"
Teriakan itu menggema, memberikan ilusi seberapa jauh lorong yang tengah ia lewati. Lorong-lorong yang tak pernah peduli pada janji-janji. Jungkook kadang berpikir, bagaimana mungkin ada orang-orang sepertinya yang begitu dramatis? Yang menganggap bahwa lorong bisa berjanji dan tembok bisa bicara? Filsafat begitu bodoh.
Jungkook terpaksa membalikkan tubuhnya, menyadari kehadiran seorang pria. Wajahnya tampan, tinggi badannya menjulang. Di balik sweater putih tersebut, pasti terdapat hal-hal menarik. Jungkook berani bertaruh.
"Iya?"
"Ah, maaf," pria itu hanya bisa tersenyum kecil, merasa bersalah pula. Tidak lucu dikejar seseorang berbadan besar seperti dirinya, di malam hari, di tengah lorong sebuah gedung tua pula. "Aku direktur baru di sini. Kata Senior Yoongi, kau pasti berkeliaran di lorong jam-jam segini karena sibuk mengurus berkas-berkas untuk di-publish besok. Jadi, aku menurutinya, dan ternyata benar kau di sini."
Jungkook memicingkan matanya. "Ada keperluan apa, Pak Direktur? Hanya karena Anda itu seorang direktur, bukan berarti saya harus patuh kepada Anda di tengah jam bebas saya, 'kan? Itu aturan hukum yang berlaku."
"Tidak, tidak, aku tidak butuh itu." Pria itu sepertinya kagum dengan perlakuan berani atau 'sok berani' yang dilontarkan dari seorang karyawan biasa. Ia membasahi bibirnya, berkata lanjut, "Aku hanya tertarik dengan karyawan baruku yang hobinya lembur. Aku tidak asing dengan namamu, ternyata kau sering menulis di Mojok, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
violent femmes; taekook
FanfictionHow can you sing a song that is not purely yours, but has our memories in it? And you sing it for someone else? 2021, pao