1

56 6 0
                                    

Di suatu sudut kota Tokyo malam hari yang tak pernah tidur, di sebuah ruang terbuka—lapangan cukup luas yang berada di antara ruko dan toko kawasan Shibuya, di bawah sorot cahaya lampu jalanan dan banner-banner neon toko, diiringi dentuman lagu yang diputar oleh seorang DJ yang berdiri di panggung kecil, di tengah-tengah keramaian anak-anak muda ibukota yang sibuk menari, berdansa, menggerakkan seluruh anggota tubuhnya mengikuti irama musik, di sanalah ia berada. Mengamati suasana tanpa ada keinginan untuk larut di dalamnya.

Hirano Sho kembali merapatkan topi buket hitamnya, mencegah rambut hitam kelamnya terekspos. Ia perbaiki posisi masker scubanya yang sedikit merosot, nyaris lepas dari hidung mancungnya. Di balik kacamata hitam, matanya menatap awas, tak ingin orang-orang di sekitarnya menyadari identitasnya. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding toko yang menjulang, tangannya ia masukan ke dalam kantong yang terdapat di sisi depan jaketnya. Berusaha untuk tidak mencolok di tengah keramaian.

Setiap malam Sho mengunjungi Passionate. Anak-anak muda Tokyo baik laki-laki maupun perempuan berkumpul, membentuk komunitas dancer dan saling memamerkan kemampuan di tengah lapangan yang disulap menjadi lantai dansa di malam hari. Entah siapa yang mulai menginisiasi kegiatan tersebut, entah siapa yang lebih dulu memberi nama tempat itu sebagai Passionate, Sho tidak tahu. Yang jelas ia mulai sering mendatangi tempat itu sejak enam bulan yang lalu.

Sejak kaki kanannya divonis cedera tendon Achilles oleh dokter.

Ya, Sho adalah seorang solo idol tampan berambut blonde dengan kemampuan dance yang mumpuni dan suara husky yang memesona. Aura yang ia pancarkan amat terang selayaknya seorang bintang, membuat siapapun yang melihat penampilannya terpana. Gerakan tubuhnya begitu tajam, begitu akurat, begitu presisi, dan begitu mengalir sesuai dengan lagu yang ia bawakan. Ketika ia menyanyikan lagu dengan tempo dan beat yang cepat, tubuhnya juga bergerak cepat, koreografi yang ia buat sendiri membebaskannya untuk berekspresi. Bisa dibilang, tingkat kesulitan dance Sho cukup tinggi, butuh waktu untuk dancer pemula menirunya. Bahkan, terkadang idol lain yang berusaha meng-cover dance-nya juga tidak bisa mengingatnya dalam waktu yang singkat.

Kecintaannya pada dance sejak umur 5 tahun membawanya sampai pada titik kehidupan kini. Orang tua Sho memperbolehkan ia bersekolah dance, membebaskan sang anak melakukan apa yang ia sukai. Meski Sho tidak begitu pintar bila ditanya soal-soal pelajaran di sekolah, tetapi Sho adalah jenius yang terlahir untuk dance, terlahir sebagai cikal bakal seorang idol. Ia dapat mengingat koreografi yang diajarkan gurunya dengan cepat dibanding dengan teman-teman seusianya, bahkan beberapa orang yang usianya lebih tua darinya yang sekelas dengannya. Tidak sulit bagi Sho untuk melihat gurunya memperagakan koreo sambil mempraktekkannya. Mudah saja baginya untuk mengingat koreo untuk beberapa lagu dalam waktu singkat, membuat guru dan teman-temannya kagum akan bakat alaminya sebagai dancer.

Ia sempat bergabung dengan sebuah idol grup di kota kelahirannya, Nagoya, saat ia naik kelas 1 SMP. Tiga tahun kemudian ia ditemukan oleh pencari bakat dari Tokyo yang ternyata adalah teman dari guru dancenya. Melalui masa trainee selama enam tahun, akhirnya agensinya memberikannya major debut, menjadikannya seorang idol yang sangat terkenal seantero Jepang. Tak pernah ia membayangkan sekalipun dalam mimpinya bahwa wajahnya terpampang di setiap sudut kota, di layar-layar besar jalanan kota, di majalah-majalah yang berjejer di etalase minimarket maupun toko buku. Tak pernah terpikirkan olehnya suara huskynya terdengar di toko-toko CD, di restoran, di supermarket, di radio seluruh penjuru kota. Ia hanya bermimpi untuk menjadi seorang dancer, back dancer yang mengiringi idol menari di belakangnya, siapa yang menyangka bahwa ialah sang idol itu sendiri. Tawaran untuk tampil di acara musik, di variety show, beradu akting dalam drama dan film, sampai main iklan pun membanjirinya.

Sho merasa saat itu adalah saat-saat terbaik dalam hidupnya sampai di suatu waktu, kehidupannya berbalik. Saat ia melakukan rehearsal untuk tur konser tahun ketiga debutnya.

We Could be the SameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang