Bab 1 : Di Lorong Rumah Sakit

1 0 0
                                    


Musim hujan kali ini, speaker taman rumah sakit tak lagi berfungsi sebagai penyalur pesan broadcast

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Musim hujan kali ini, speaker taman rumah sakit tak lagi berfungsi sebagai penyalur pesan broadcast. Suara musik klasik, The Blue Danube karya Johan Strauss II mungkin bukan musik yang akan masuk ke dalam playlist musikku, namun cukup membuatku tertahan disini, di kursi taman, sendirian, hanya berteman buku.

"Janganlah memandang diri sendiri secara negatif. Anda selalu membuat standar yang ideal di dalam diri Anda dan berusaha menyesuaikan diri dengan standar itu. Anda memaksa diri, mengharuskan diri, memenuhi standar itu bagaimanapun caranya. Jangan berpikir bahwa diri Anda berkekurangan. Anda perlu menikmati kelebihan yang Anda miliki dibanding kekurangan Anda."

Aku mengeja kata pada buku I want to die but I want to eat tteokpokki, buku yang awalnya kubeli karna kekuatan judul "Tteokpokki". Namun ternyata lebih dari itu, Baek See Hee sepertinya menaruh magis pada buku ini.

Aku ingin jadi bintang. Tampil cantik di depan kamera, menjadi penyiar berita televisi walau berat badanku 80 kg!

Lucu kan? Ada sejarah mengapa berat badanku melebihi garis normal untuk tinggi badanku yang hanya 157 cm. Aku rasa ini bukan karna pola makanku ataupun kemalasan yang hakiki untuk berolahraga, namun ini semua karena namaku!

Enam belas tahun yang lalu, di masa krisis moneter berkepanjangan, Mrs. Wina, dosen sastra inggris sahabat ibu memberikan nama bayi tunggal, Nori Bean. Nama yang untuk orang awam akan terdengar ke bule-bulean. Padahal jika menilik buku masakan, Nori akan ditemukan sebagai sebutan untuk rumput laut yang biasa ada pada ramen hingga sushi, sedangkan Bean merupakan jenis kacang-kacangan. Dua kombinasi yang dari mendengarnya saja sudah cukup membuat kenyang. Namun itu memang tujuan Mrs. Wina, tumbuh menjadi gadis "makmur" untuk ukuran seorang anak yatim sepertiku.

Waktu terus berjalan, entah sejak kapan kekuatan do'a Mrs.Wina terkabulkan. Aku tumbuh menjadi gadis subur. Tak ayal, nama kebule-buleanku pun luntur dengan panggilan—

"Nori! Nori! Nori Bon-Bon!"

Aku menghela napas panjang, kegiatan membacaku yang damai terhenti seketika. Aku mendongak dan menemukan Salma, sepupuku yang hanya berjarak beberapa bulan denganku melambaikan tangannya sebelum kemudian tiba berdiri di depanku.

"Eyang sepuluh menit lagi pulang."

Aku mengangguk, kemudian merapikan kerudung cokelat yang tertiup angin sebelum kembali ke brankar dimana eyang di rawat. Malnutrisi, eyang semakin kurus sejak sebulan yang lalu, sejak kepergian eyang kakung. Sudah lima hari ini, eyang diharuskan untuk opname. Namun untungnya keadaan semakin membaik, jam satu siang ini, sudah diperbolehkan pulang.

"Besok udah mulai sekolah kan?" tanya Salma sembari berjalan.

"Iya."

Salma membicarakan tentang kepindahan sekolahku ke Bandung. Sejujurnya, ini adalah kepindahanku yang ketiga. Dua pindahan sekolah sebelumnya masih berada di area Pekalongan, tempat aku dibesarkan. Namun aku sendiri cukup mengalami masa sulit untuk tetap bertahan di sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MarigoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang