(1)

53 4 3
                                    

" Tolong kasih saya pengertian bahwa saya tak pantas untuk mendapat perhatianmu sebanyak itu. Saya takut tidak dapat membalasnya suatu saat nanti "

HZ

_______________________________________________

" Zan? "


Si empu nama menoleh pelan ke arah panggilan tersebut. Tatapan tajamnya masih melekat disana dengan sedikit kabut yang mungkin membuat kita semua berfikir dia seorang yang pemarah. Nyatanya bukan. Dia hanya berusaha untuk menahan dari beberapa hal menyedihkan.

" Bisa ngomong bentar sama gue? "
Tanyanya lagi.

" Bisa. Saya masih punya waktu 15 menit sebelum menjenguk Lishba"

" Jihan maksud lu? "

" Ya " 

Mereka berdua berjalan beriringan menuju cafe yang terletak lumayan dekat dengan lokasi mereka sekarang. Saat mendorong pintu masuk, semua tatapan langsung fokus tertuju kepada mereka. Siapa yang tidak tertarik dengan wajah tampan? Apalagi - Keisya - dengan gaya gaul versi anak muda, dan Izzan dengan gamis yang membuatnya semakin berkharisma tengah membawa kitab Shahih Bukhari.

" Lu gak berat bawa begituan? "

Izzan menggeleng dengan muka datar. Dia memang jarang berekspresi dengan sesama. Apalagi dengan lawan jenis. Jangan harap ada senyuman.

Mereka berdua pun duduk dan memesan minuman favorite masing - masing.

" Penting? "

Suara parau itu memecah keheningan. Keisya mengangguk seraya menatap sedih padanya.

" Perasaan lu masih sama? "

Izzan mengangguk. Dirinya menatap kosong ke arah jendela dan mengingat kilasan masa lalu tentang " dia " .

___________________________________

1 tahun yang lalu

" HAZIQQ IBRAHIM IZZAN!! "
Teriakan itu menggema ke seluruh penjuru taman kota. Si empu yang terpanggil hanya berbalik sebentar dan menatap tajam.

Jihan Alishba terkekeh ketika ditatap demikian. Dia sangat puas setelah memanggil nama temannya itu dengan teriakan.

" Izzann... "
Panggilnya lembut

Izzan menoleh dan mengangkat satu alisnya seakan mengatakan " Ada apa? "

Alishba lagi - lagi tersenyum. Dia sudah sangat maklum dengan kelakuan Izzan yang super duper cuek itu.

" Aku suka kamu "

Wajah Alishba memerah bak tomat rebus. Izzan yang mendengar itu hanya berekspresi datar. Dia sudah mengetahui hal itu jauh sebelum hari ini. Bagaimana bisa dirinya tidak sadar dengan kode - kode yang diberikan Alishba? Lagipula, itu teramat jelas.

" Kok diam aja, zan? "

Alishba bertanya seakan sudah tahu apa yang akan menjadi jawaban yang diberikan Izzan.

" Aku sudah sering melihatmu menolak wanita. Lantas, bagaimana denganku? Apakah kamu tega melihat aku juga ditolak? "

Izzan mengusap wajahnya kasar. Dengan amat terpaksa dia harus menggunakan banyak kosakata.

" Simpan rasamu, dan maaf aku belum bisa menerimanya "

Izzan beranjak meninggalkan tempat itu tanpa menjawab semua pertanyaan dari Alishba. Alishba yang tertolak hanya bisa diam dan menahan isak tangisnya.

" Padahal, aku hanya ingin dia tau perasaanku sebelum aku pergi. Tapi apakah memang rasanya sesakit ini saat melihat langsung penolakannya itu? "

Alishba mengusap air mata di ujung matanya itu. Dia berusaha tersenyum sembari memandang sosok Izzan yang semakin menjauh dari pandangan. Mungkin ini jalan yang terbaik bagi mereka berdua. Menjauh menjadi pilihan yang Alishba punya saat ini. Tak lama kemudian, Alishba segera pergi dari tempatnya itu.

Di sisi lain, Izzan tidak mengetahui bahwa itu adalah terakhir kalinya dia akan bertemu dengan Alishba.




____________________________________

Baru sedikit. Ntar d lanjut yaw.

Aku, Kamu, dan Takdir-NyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang