Dalam beberapa tradisi keluarga, biasanya ada hari besar ketika seluruh anggota keluarga berkumpul.
Di kasusku, selain tanggal ulang tahun, juga hari perayaan kecil-kecilan ulang tahun para penciptaku.
Seperti yang kujelaskan sebelumnya, para penciptaku memang dilahirkan di saat yang berbeda. Tapi, mereka pada dasarnya tetap sebaya. Supaya tidak mudah lupa, mereka sepakat akan ada satu hari dalam setahun untuk merayakan hari kelahiran itu. Biasanya berbeda setiap tahunnya pula tergantung kesepakatan.
Aku menunggu kedatangan mereka di rumah kecil tempatku berlindung saat musim dingin tadi. Selain itu, aku tentunya tidur di sana saat malam. Tapi sisa waktu dihabiskan dengan berkeliling Vanam karena tidak ada yang bisa dilakukan di dalam sana selain merenung.
Rumahku ini memang kecil dan hanya terdiri dari tiga ruangan, kamar, ruang tengah, dan tempat merenung. Peri hutan memang tidak butuh makanan atau minuman. Tapi aku bisa tidur jika berkehendak demi melawan rasa bosan. Kadangkala, jika lelah berkeliling aku akan memilih tidur seharian.
Hari ini, aku menunggu kedatangan para penciptaku. Tidak mau tidur sampai mereka muncul. Tujuanku tentu saja bertanya perihal penciptaanku dan Vanam ini. Selagi menunggu, biasanya merenung dan mengingat menjadi solusi terbaik.
Beberapa saat berlalu, akhirnya yang ditunggu tiba juga.
Hawa terasa dingin menusuk ke tulang begitu aku menoleh selagi dedaunan terlihat menari dari balik jendela.
Bunyi ketukan pintu terdengar.
Bergegas aku ke pintu dan membukakan.
Kini, keempat penciptaku berdiri berjejer menunggu izinku untuk masuk.
Begitu diizinkan, mereka kemudian masuk dengan bergiliran. Berbeda dari biasanya kalau berkunjung sendiri mereka tinggal menerobos masuk ke sini.
Aku pun duduk di lantai diiringi keempatnya yang mulai menyusun posisi. Saling tatap dan menghadap membentuk lingkaran layaknya sebuah pertemuan yang amat penting.
"Selamat ulang tahun bagi kita semua." Sardee memulai obrolan dengan nada monoton, terdengar tidak ada niat untuk menambahkan atau setidaknya tampak semangat meski sedikit.
Ucapannya lantas dibalas oleh ketiga pencipta lainnya dengan bergantian. "Selamat ulang tahun."
"Meski sekarang usia kita sudah mencapai tujuh puluh tahun, tidak terasa semua berlalu selama itu." Manjari tersenyum sambil mengatup tangan ke pipi, membuatnya tampak manis.
"Sudah tujuh puluh tapi aku bahkan tidak lagi lebih tinggi dari Ila," ujar Aditya yang kemudian diiringi tawa kecil dari kami.
"Ila tampak semakin tinggi malah," komentar Karif sambil menepuk pelan bahuku. "Anak gadis kita semakin cantik."
Aku tersipu mendengarnya. "Terima kasih." Aku tidak punya kalimat balasan yang lebih baik lagi.
"Hutan ini mulai berkembang semenjak kita menjaganya, ya," kata Karif sambil menatap sekitar dengan senyuman khasnya. "Kalau semakin luas, semakin bagus kualitasnya."
"Mau kalian apakan hutan ini?" tanyaku kepada semua Dama-ku.
"Tentu saja untuk menghiburmu," ujar Manjari dengan nada lembut.
"Kami ingin tempat bermainmu lebih luas agar tidak mudah bosan," ujar Sardee. "Um, kurasa tambahan teman juga bisa."
"Teman?" beoku.
"Ya, kami akan memberimu adik kalau kamu," balas Karif sambil tersenyum. "Supaya Ila tidak kesepian."
Aku semakin bingung. Memang aku tidak pernah berpikir untuk memiliki adik, tetapi akan janggal jika aku harus mengawasi satu orang lagi. Terlebih tidak terbiasa bicara sementara diri ini tidak enak membiarkan lawan bicara terus diam.
"Kenapa, Ila?" tanya Manjari.
"Tidak ada," jawabku. "Hanya membayangkan bagaimana wujud adikku nanti."
"Biar aku yang urus!" Aditya mengangkat tangan. "Nanti dia akan terlihat lebih mirip dengan ..."
Ucapannya terpotong oleh Sardee.
"Ada penyihir masuk!"
❀❀❀
KAMU SEDANG MEMBACA
The Forest's Daughter [✓]
Fantasy~ Tales of Gods Series ~ Vanam, negeri tersembunyi yang hanya terdiri dari pepohonan serta satwa langka, penuh misteri serta keajaiban. Di negeri Vanam, tinggallah Ila bersama keempat Penjaga Hutan. Mereka hidup dengan damai. Suatu ketika, penyihir...