BAGIAN 1

33 0 0
                                    


#bisa baca sambil dengerin lagu " Sampai Jadi Debu - Banda Neira "

Senja kala itu , bau khas pesisir Pangandaran masih bisa dengan jelas kucium. Suara deburan ombak yang menyapu bibir pantai, mengalun disela buaian angin. Masih jelas dapat ku dengar gelak cicit burung camar bersenda gurau di antara batu karang , dan semua itu seolah terangkai menjadi sebuah irama alam.

Sosok lelaki dengan rambut ikal, setia duduk bersanding di sisi kananku, beberapa kali menunjuk ke arah hamparan lautan di depan sana tatkala ada hal yang menarik atensinya - dengan tersenyum hangat padaku .

Cahaya jingga lembayung sore itu, menerpa wajah kami berdua. Membias seakan menjadi lampu sorot utama sebuah teater. Dengan kami berdua sebagai tokoh utamanya.

" Nona, Andai kata kau ku pinang bahkan hanya dengan sehelai sapu tangan merah jambu, Tetap bersediakah kau ? "

Pengakuan cinta dan pinangan darinya , menjadi sebuah harta kebahagiaan sekaligus menjadi sebuah penyesalan paling besarku kala itu. Andai saja langsung ku balas, mungkin takdir cinta kita berdua tak akan seperti ini. Aku menyesal, apa sulitnya berucap satu kata saja untuk meng iya kan. Mungkin aku dan kau masih punya sedikit kenangan bersama sebagai kekasih sebelum sebuah kedamaian berganti dengan berjuta kengerian dalam satu malam.

***

Waktu berjalan Se-dekade lebih semenjak Aku, Oma dan Opa pindah ke daratan indah ini . Awalnya kami meninggalkan tanah kelahiran, hanya ingin terhindar dari keserakahan dan kerakusan bangsa sejawat kami . Berbekal nama besar yang keluarga kami sandang, kami sedikit memiliki kebebasan untuk keluar negeri. Memanfaatkan kuasa itu, kami memilih Hindia Belanda sebagai tempat tujuan .
Masa - masa pertama kami bertiga sebagai orang Hindia Belanda adalah masa penuh kejutan. Pribumi dengan mudahnya menerima kami dengan tangan terbuka. Menyiapkan segala keperluan sampai mengajari kami bagaimana cara hidup di tanah indah ini.
Aku yang pada saat itu masih belia, hanya faham betapa ramah dan murninya pribumi. Mereka Menyematkan nama panggilan padaku - Gendhis, Bermain, membuat selendang, mengepang rambut bahkan menjodoh jodohkanku dengan Handoko, lelaki pribumi dengan rambut ikal dan kulit sawo matang.
Beberapa tahun memang berjalan dengan tenang . Kami juga mulai berhasil mengukir cerita hidup disini .

Entah ada angin apa , di Tahun ke dua kami menetap. Berkoloni tentara dan juga orang berkuasa dari tanah kelahiran kami mendarat ke tanah ini, melalui Tarakan mereka dengan cepat memukul mundur kedudukan Kolonial Eropa. Mereka yang sekarang ini datang menginjakkan kaki di bumi Hindia Belanda, tak kusangka berlipat kali lebih biadab. Malangnya, aku adalah satu dari mereka.

*****

LEMBAYUNG MERAH PANGANDARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang