BAGIAN 2

21 0 0
                                    


< Mereka yang sekarang ini datang menginjakkan kaki di bumi Hindia Belanda, tak kusangka berlipat kali lebih biadab. Malangnya, aku adalah satu dari mereka. > Sebelumnya

Semua habis dalam sekejap, Mereka membinasakan bangsa pribumi . Meluluhlantakkan daratan yang bagai surga ini . Merusak dan merampas masa depan generasi muda pribumi , memeras keringat sampai darah-darah bercucur . Terdengar jeritan jalang dari moncong-moncong senjata api di setiap arah, sudah menjadi sisipan disetiap hela nafas para pribumi .Entah sudah berapa nyawa yang terenggut tiap detiknya .

Kemalangan tak mengecualikan keluarga kecil kami, darah dari bangsa biadab yang mengalir dalam tubuhku tak mampu menjadi tameng pelindung bagi keluarga kecil kami. Namun, sedikitpun aku tak menyesal. Opa dan Oma bahkan mengutuk darah yang mengalir dalam diri kami. Darah biadab. Aku bersyukur tak lagi diestemewakan. Aku berjuta kali bersyukur tak dikecualikan.

Aku dipaksa berpisah dengan wajah-wajah yang ku sayangi, sebelumnya aku memang sudah yakin ini akan terjadi cepat atau lambat . Aku dipisahkan dengan teman-teman pribumi yang lebih pantas ku sebut manusia . Tidak sampai disitu , mereka mengambil paksa Handoko . Seorang pribumi yang beberapa tahun ini mengisi hari-hariku.

Kemalangan itu berawal dari tiga orang lelaki pribumi bertamu tengah malam menemui Opa. Jelas, akupun mengenalnya. Mereka yang setiap harinya mengawasi kebun kopi Opa.
Tatapan yamg mereka tujukan pada Opa, Layaknya menatap seekor hewan. Mereka tanpa ba bi bu memperlakukan Opa dengan tidak hormat. Menendang, memukul bahkan membanting tubuh renta itu ke tanah. Menuduh Opa sebagai penghianat Nippon. Mengatas namakan diri mereka sebagai sekutu Nippon. Dengan seringaian bak moncong anjing pesuruh diberi tulang, Mereka merenggut nyawa Opa dan Oma di depan mataku.

Dadaku panas menjadi, tercekat hebat, seakan ada sebuah gada yang menghantam keras dari tenggorokkaku sampai ulu hati. Menangispun tak bisa, nafasku tersengal. Jauh didalam benak aku berpikir . Jika salah satu dari makhluk sialan itu menodongkan moncong senjata tepat di kepalaku , Memaksaku untuk memilih hidup kemudian menjadi bangsa mereka ataukah mati bersama pribumi , Tanpa pikir panjang, Lebih baik aku mati sebagai pribumi , mati sebagai manusia tentunya . Daripada hidup bersama makhluk-makhluk tak beradab ini.

Namun, itu hanyalah sebuah angan kosong. Kenapa tidak mereka bunuh saja aku, biar senasib sudah . Apa karena wajah oriental sialan ini ?.

Aku terbangun di dalam sebuah ruangan gelap. Pengap dan lembab. Tetesan air terdengar menggema. Sesaat setelah mataku terbuka. Sekujur tubuhku terasa remuk. Kedua kaki ku mati rasa. Padahal aku berharap ini hanya mimpi buruk. Aku teringat kembali bagaimana Opa dan Omaku mereka renggut. Sambil terbaring meringkuk aku menangis sejadi jadinya. Membayangkan akan seperti apa aku sendirian di dunia yang gila ini.

Tangisanku terhenti ketika aku mendengar suara engsel besi tua terbuka. Beberapa kali mataku mengerjap dapat jelas kulihat dua lelaki dengan mata sipit dan kulit putih seperti milikku mendekat.

" Hoi Okiro ! " itu artinya mereka menyuruhku bangun. Dengan ujung sepatu salah satu dari mereka mencium wajahku.

Tanpa daya aku berusaha duduk dan mendongak ke arah mereka. Gemuruh amarah masih menggulung di dalam dadaku. Kebencian sampai ubun - ubun kembali tersulut tatkala aku melihat seringaian lebar tampak pada wajah mereka.

Belum sempat aku menggerakkan tangan untuk memukul kaki mereka, kedua lenganku mereka tarik, memaksaku meggeret kedua kakiku menuju tempat yang mereka inginkan.
Di sepanjang lorong gelap, aku mendengar beberapa kalimat yang mereka berdua ucapkan. Akan ada kejutan di luar sana yang mereka siapkan padaku.

Selang beberapa waktu kemudian aku melihat cahaya diujung sana, sepertinya itu adalah pertanda berakhirnya lorong gelap ini. Sesampainya di luar, mataku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya sambil mengatur nafas, pening.

Belum sempat rongga dadaku lega menghirup udara segar. Kembali aku dihadapkan dengan pemandangan yang membuat amarahku mendidih.

Handoko dan tiga teman pribumi tersayangku terikat bak ternak di hadapanku. Kembali, aku menangis tanpa suara. Saat itu aku dipaksa untuk mengambil pilihan paling berat. Melihat mereka yang paling ku sayang mati terpenggal atau aku menjadi salah satu dari manusia biadab itu. Dengan tanpa ampun, aku dipaksa kembali menelan sumpahku sendiri. Hidup menjadi salah satu dari bangsa biadab itu kembali.
Kala itu apapun pilihanku, aku sadar. Aku tak akan bertemu dengan Handoko lagi. Aku tak akan sempat menerima pinangan darinya. Hanya sapu tangan merah jambu darinya lah yang kini masih bisa ku genggam.

Aku dibawa ke dalam sebuah Barak pertahanan dan ditempatkan di satu kamar dengan tempat tidur yang layak. Cermin besar bersandar di dinding. berdampingan dengan ranjang tidur.
Dua orang wanita pribumi dengan memakai kemben seadanya menarik lenganku menuju sumur. Tanpa semangat hidup. Aku pasrah akan mereka apakan, mereka membersihkan tubuhku, mengobati lukaku, memotong rambut hitam panjangku yang kusut. Dan aku tetap terdiam.
Tapi tidak ketika salah satu dari mereka ingin mengambil sapu tangan pemberian Handoko. Aku tidak ingin ! aku harus tetap menggenggamnya erat.

Setelah dirasa bersih, aku kembali dibawa ke kamar itu. Yukata putih mereka kenakan pada tubuhku, menyisir rambut hitam panjangku dan menyanggulnya. Mereka poles bibirku dengan lipstik merah menyala tak lupa riasan mata dan selendang merah bertengger ayu menggantung diantara pundakku.

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LEMBAYUNG MERAH PANGANDARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang