Habis Terang

264 27 3
                                    

Sepuluh menit...

Dua puluh menit...

Tiga puluh menit...

Empat puluh menit telah berlalu. Tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun. Hening. Tidak ada orang di sekitar yang berlalu lalang. Hanya ada kita. Aku dan sosok yang selama lima belas tahun ini telah menghiasi hari ku yang hampa. Sosok yang teramat indah siapa pun yang memandanginya. Sosok yang akan membuat siapa pun jatuh hati hanya dengan melihat senyumnya dan binar matanya.

Di bangku taman ini, kita duduk berdiam diri, ujung ke ujung. Tanpa ada yang menoleh. Tanpa ada yang menyapa. Diam tenggelam dalam pikiran masing-masing. Berharap angin malam meleburkan dan menghempaskan tubuh kita hingga hilang terbawa kemana angin bertiup.

'Taman dekat rumah mu jam 10'

Hanya pesan singkat yang dikirimkan olehnya, si pria bermata coklat itu, setelah sekian lama tidak ada kabar sama sekali. Hilang bak ditelan bumi. Tak ada satu pun yang tahu dimana keberadaannya. Pun orang tuanya.

Bagi orang lain mungkin itu adalah hal yang wajar berdiam diri, rehat dari dunia, selama dua minggu. Tapi bagi Thi, sehari saja tanpa bertemu orang-orang adalah neraka baginya. Iya. Dia si ekstrovert, si periang, si paling banyak bicara, si tidak bisa diam, adalah hal yang amat sangat tidak wajar jika ia menghilang. Bagaimana orang-orang yang mengenalnya bisa tenang?

Terlebih lagi aku.

Aku jauh dari kata tenang. Selama dia menghilang, aku hampir tidak pernah tidur.

Padaku ia pamit. Katanya hanya sebentar. Jadi ku pikir hanya dua atau tiga hari. Tapi dua minggu? Tambah seminggu lagi sepertinya aku sudah mati. Ingin sekali aku mencarinya di seluruh pelosok negeri. Tapi apa daya, itu akan memperburuk keadaan.

Sabar, dia pasti kembali. Ucap ku pada hatiku.

Ternyata memang benar. Ia kembali.

Thitipoom. Si kekasih hati ku itu tengah duduk menundukkan kepalanya memandangi kedua kakinya yang bermain di tanah.

Duh rindunya. Ingin rasanya aku melompat merengkuh badannya yang mengurus itu, menanyakan kabarnya dan apa saja yang ia lakukan selama dua minggu ini. Namun sekali lagi ku tahan.

Sabar, dia pasti mengatakannya. Lagi-lagi ku tenangkan hati ku yang risau.

Aku sadar, dengan perginya ia ada kaitannya dengan ku. Entah sejak kapan, sebelum pergi, ia kehilangan senyumnya yang secerah matahari pagi itu. Ia selalu terlihat murung. Matanya tak lagi berbinar. Sayu. Sendu. Tersenyum pun hanya dipaksa setengah mati.

Thi membalikkan tubuhnya menghadap ku, merubah posisi duduknya menjadi mengangkangi bangku taman yang panjang ini. Aku pun mencoba mengikuti pergerakannya, melakukan hal yang sama, kemudian mencoba menatap matanya yang lalang berharap kekasih hati ku ini mengakhiri diamnya.

Sepuluh menit...

Lima belas menit...

Dua puluh menit kini berlalu. Ia tetap diam. Menatap kedua manik ku dalam dengan kedua bola mata yang kini berair.

Oh tidak.

Aku tahu.

Ini adalah akhir dari segalanya.

Tangis Thi pecah. Ia menangis sesenggukan setelah memutuskan pandangan kami dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

"Thi ap... apa ga bisa... sama aku aja?"

Thi semakin menumpahkan tangisnya yang mungkin telah ia tampung selama ini.

Sakit. Aku sakit melihatnya.

Tapi apa salah kalau egoku ingin mempertahankannya?

"Ki... kita sudah berjalan enam bulan Thi. Apa itu belum cukup buat kamu mencintai aku?"

"We're not fine Wan. Kamu tau itu"

"I'll do better Thi. Please"

"We've done our best. Tapi kita ga bisa maksain perasaan. Makin dipaksa makin sakit"

Thi benar. Selama kita memutuskan untuk menjalin kasih enam bulan yang lalu, kita masing-masing memaksakan diri. Thi yang memaksakan dirinya balas mencintaiku dan aku yang memaksa mempertahankan ego ku agar Thi tetap di sisiku, meski sakit yang Thi rasakan semenjak bersama ku juga menyakiti ku lebih dalam.

"Kalau gitu kenapa dulu kamu ga biarin aku mati aja sekalian? Kenapa malah terima aku jadi pacar kamu?"

"Wan... Mana bisa aku ngebiarin sahabat ku menyayat tangannya di depan mataku sendiri? Aku ga bisa"

Enam bulan yang lalu, ketika aku mendengar kabar bahwa seseorang hendak menjadikan Thi kekasihnya, aku hancur. Rasanya sosok yang menjadi cahaya dalam hidup ku ini tidak akan lagi menyinari ku. Sejak kecil, ia telah menjadi satu-satunya yang di sisiku, mengulurkan tangannya setiap kali aku terjatuh, menjadi satu-satunya tempat pelarian saat dinginnya ruang bawah tanah kembai menghantui ku.

Ibu ku. Satu-satunya sosok keluarga yang ku punya. Ia seharusnya menjadi sosok yang paling ku sayangi di dunia ini. Tapi tidak. Ibu ku bukan lah seseorang yang penuh dengan kasih sayang. Ia mengerikan. Ia selalu menjadikan ku sebagai pelampiasan emosinya terhadap dunia yang kejam ini. Mencubit, menampar, memukuli, mencambuk dan bahkan mengurungku dalam ruang bawah tanah yang dingin dan tanpa cahaya.

Bocah tujuh tahun yang seharusnya bermain bola atau layangannya bersama kawannya harus terkungkung di balik besi pagar rumahnya, memandangi kawan seumurannya berlarian bebas di depan rumahnya.

Thi. Dengan senyuman secerah mentari yang terukir di wajahnya menghampiri ku setiap hari hanya untuk sekedar bercerita, membawakan kue buatan ibunya atau jajanan kaki lima, dan membawakan mainan untuk kita maini bersama meski terpisah oleh pagar besi.

Meski berkali-kali di usir oleh ibu ku. Ia tetap datang.

Katakan padaku bagaimana bisa aku melepaskan sosok itu dalam hidupku?

Saat ini.

Setelah lima belas tahun menemaniku.

Sang matahari tengah berusaha melepaskan dirinya dari jeratan egoku.

Pilihan ku hanya ada dua.

Melepaskannya dan membiarkannya bersinar terang dengan bebas...

Atau membunuh cahayanya dengan menenggelamkannya dalam lautan egoku.

Aku harus apa?

Kita berdua kembali berdiam diri tenggelam dalam tangis masing-masing. Tidak ada hal lain yang terdengar selain isakan Thi yang tidak berhenti sejak tadi.

Thi. Dia tidak akan pernah mau meninggalkan ku. Apa pun yang terjadi. Jika kemarin ia pergi, berarti ia telah berada pada batasnya. Ia yang masih ada di depan ku saat ini, adalah bukti bahwa yang ia miliki selama ini pada ku hanya rasa bersalah dan rasa sayang sebagai sahabat dan saudara baginya. Tidak lebih.

Harus aku yang pergi.

Kalau tidak, maka ia akan mati dengan sendirinya dalam pelukan ku.

"Aku boleh minta sesuatu?"

Ia menganggukkan kepalanya ragu.

"Boleh setelah ini jangan pernah lagi muncul di hidupku?"

"Wan..."

"I beg you"

Tidak ada anggukan. Tidak ada penolakan.

Tidak apa Wan, lama-lama akan terbiasa.

"One last hug?"

Thi seketika menghamburkan tubuhnya ke pelukan ku kembali menumpahkan tangisnya yang tiada henti. Aku tau berpisah dengannya juga akan menyakitinya. Karena hubungan kami yang sebenarnya bukan hanya sebuah status yang berjalan selama enam bulan. Lebih dalam dari itu. Tidak ada yang bisa mengerti. Hanya kami.

Tapi tak apa...

Demi Thi...

Mungkin memang bahagia bukan diciptakan untukku.

— End

Us and Our NightsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang