BAGIAN SATU

1.4K 103 3
                                    

Perempuan itu terdiam depan cermin yang nyaris seukuran tubuhnya. Kedua kelopak matanya yang cokelat menunjukkan lengkung senyum yang seindah bulan sabit. Wajahnya memang tak lagi sekencang saat remaja dulu. Ada gurat garis-garis halus di sudut mata dan dahi. Namun titik dimple senyum tetap membuatnya terlihat manis.

Perempuan itu -Kiana, kini menjejak usia tiga puluh lima tahun. Ia perempuan yang sudah menikah. Sepuluh tahun usia pernikahan, dengan pengalaman dua kali keguguran dan sekarang, masih belum memiliki buah hati untuk di timang.

Mandul.

Begitu orang-orang sekitar berprasangka. Menebar kalimat-kalimat tanya penuh silet dan air cuka yang melesak langsung ke dada. Menghakimi.

Mereka bilang Kia dan suami kurang ibadah. Kurang meminta dan berpasrah pada Tuhan. Terlalu banyak dosa yang menggunung sampai Tuhan nampak enggan memberikan kepercayaan untuk dikaruniai keturunan.

Sesekali, Kia bisa bersikap julid dan membalasi manusia-manusia sok tau itu. Mengumbar bagaimana jungkir baliknya ia dan suami berikhtiar. Entah pengobatan herbal, terapi dengan sentuhan tradisional, sampai konsultasi dokter dengan nilai ratusan ribu tiap tatap muka sudah Kia jalani. Tapi Tuhan belum memberi restu, apa mau di kata?

Tapi dalam malam-malam sunyi, di balik bilik kamar, Kia melangitkan tangisnya. Memeluk dirinya yang ketakutan dalam penilaian orang lain. Membandingkan dirinya dengan orang lain -yang nampak lebih beruntung. Lalu tangis yang sebelumnya disembunyikan dalam malam sunyi, kini jadi tak kenal waktu. Kapanpun tanya perihal keturuan datang padanya, perempuan itu akan diam dan tersenyum penuh luka. Menangis berjam-jam untuk meratapi keadaan.

Hingga pada satu titik, Kia menarik diri dari lingkungan. Terlalu terluka hati, hingga kadang, Kia memilih untuk menyibukkan diri di dalam rumah dibanding bersosialisasi lalu kemudian menjadi bulan-bulanan ghibah.

Sesekali, Kia hanya bersembunyi setiap kali ada riungan keluarga besar. Terlalu malu untuk dihadiahi lagi pertanyaan-pertanyaan penuh rasa ingin tau dari kerabat jauh yang datang. Lalu ketika acara usai, ia mengadu sembari bersimpuh di kaki Ibu kandungnya ataupun Ibu mertuanya. Memohon diampuni dosa-dosa dan diberkati kehidupannya. Memohon dibantu untuk melangitkan doa-doa agar segera bisa dikaruniakan kesempurnaan sebagai wanita. Agar tunai sudah kodratinya sebagai perempuan. Haid, melahirkan, menyusui.

Pernah ia merestui suaminya mendua. Kia sadar bahwa ia tak lagi muda. Entah sampai atau tidak umurnya untuk memberi suaminya anak-anak lucu seperti impian mereka diawal pernikahan dulu. Dan jawaban suaminya akan selalu menjadi obat untuk kegundahan Kia.

'Selama perempuan punya rahim, ia akan selalu punya kesempatan untuk memiliki anak, kan? Saya akan tunggu. Entah berapa lama, yang penting sama kamu. Karena hati saya maunya cuma kamu. Kalaupun pada akhirnya hanya kita berdua yang tersisa di usia senja, semoga Tuhan karuniakan kita buah hati yang selalu kita damba di kehidupan kekal kita nanti.'

Serta pelukan hangat Eno -suami Kia- selalu bisa meluruhkan kegusaran yang ada. Eno mencintai Kia. Dengan atau tanpa anak dalam pernikahan mereka.

Kia masih menatap cermin. Senyumnya pun masih terkembang. Namun alih-alih memperhatikan bintik hitam di wajah yang kian kentara, Kia memperhatikan tubuhnya. Mengusap perut buncitnya dengan penuh syukur. Badannya menggemuk di beberapa bagian, tapi cantiknya tak serta merta menghilang.

"Halo calon ibuk, dan calon bayik-bayik...." Suara berat Eno mengalun. Mewarnai dingin khidmat subuh yang bahkan belum tampil semburat fajar di ufuk timur.

Pria itu memeluk sang istri dari belakang. Menggesek kumis dan janggut yang belum di cukur ke perpotongan leher sang istri. Jemarinya ia letakkan di atas tangan sang istri. Sibuk mengusap perut buncit yang kini berusia tiga puluh minggu.

WHITE LILY [NOMIN GS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang