The owner, Na Jaemin.
------------------------------------------------------------------07.40 a.m
"Ice Americano nya satu ya mas."
Suara itu, membuat aku mengalihkan pandanganku dari cangkir kopi yang sedang kususun rapi.
Suara itu, seharusnya tidak di sini.
Suara itu, masih meninggalkan jejak yang sama di hatiku, hangat dan perih."Pakai cupku sendiri ya. Ini" katanya lagi sambil menyerahkan thumb berwarna tosca dari tas yang tidak bisa dibilang kecil itu.
Aku mengambil thumb nya tanpa mengangkat kepalaku untuk melihat wajahnya. Urusan dibilang gak sopan sama pelanggan, nanti dulu deh.
"35 ribu" kataku tanpa melihat wajahnya. Dia memberikan card untuk membayar pesanannya kepadaku.
Setelah nya, ketika aku ingin mengembalikan cardnya, "Na Jaemin?" kalimat yang seharusnya bukan pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Sama sekali bukan hal yang aku inginkan.
Ah sial, kenapa harus nama lengkapku?"Terima kasih. Silahkan tunggu" jawabku, acuh. Aku membalikkan badan dan menyiapkan pesanan wanita itu. Tidak berubah, masih sama, Ice Americano favorit nya, dan aku.
"Na, ini bener kamu kan? Kamu kerja di sini?" dia bertanya lagi ketika aku memberikan pesanan ice americano nya.
Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke wajahnya untuk pertama kalinya lagi setelah 5 tahun usahaku untuk melupakan dia.
"Iya, aku kerja di sini."
Jawabanku yang itu, ternyata malah mengantarkanku ke keadaan yang lebih dingin dari ice americano di thumb tosca nya.
Meja pertama, di samping jendela yang menghadap ke jalan, aku duduk di sini, dengan wanita yang 5 tahun lalu meninggalkanku di negara ini tepat sehari setelah aku menyatakan perasaanku.
Dia sahabatku, Allysa. Wanita pertama yang memarahiku di depan banyak orang, wanita pertama yang berhasil mengisi pikiranku setiap hari. Mata yang begitu menunjukkan sisi mandiri dan tegasnya, hidung yang cantik, bibir tipisnya yang sepertinya sedikit di poles, rambut panjangnya yang selalu di kuncir tinggi berantakan. Tidak ada yang berubah selain dia yang semakin cantik dan menarik. Di mataku.
Tapi Allysa adalah orang pertama yang mengganggap perasaanku hanya sebatas candaan. Hanya Allysa yang mungkin sampai detik ini tidak pernah memandang aku sebagai laki-laki. Dia menganggapku hanya kenalannya di masa ospek yang kebetulan merupakan tetangga di lingkungan rumah dan akhirnya merangkap sebagai sahabat. Berlanjut mengincar kampus yang sama dan bersamaan diterima di sana. Benar-benar tidak pernah lebih dari tittle sahabat.
Sahabat seperti apa yang 5 tahun putus kontak? Ah, kayaknya tittle diantara kita sudah lama berubah.
"Mama nggak cerita kalau kamu kerja di sini. Mama cuma sempat bilang kamu punya usaha sendiri gitu" katanya sambil tersenyum manis. Senyum itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still unknown
FanfictionBaca aja dulu. Cerita ringan konflik, alias untuk pereda stres.