ga tau judul

12 2 0
                                    


Pukul 12 tengah hari terasa gelap. Awan hitam menyelimuti kota Denpasar. Aku langsung bergegas menaiki taxi. Hujan mulai turun sedikit demi sedikit dan menjadi deras. Suasana terasa semakin dingin.

Namaku Rani, aku siswa SMA yang sebentar lagi akan lulus dan memperjuangkan universitas favoritku. Sedikit cerita, aku tinggal bersama orang tua dan adik perempuanku. Aku suka menulis dan membaca. Terdengar membosankan, tetapi saat membaca aku merasa sedang berada di dunia lain. Sangat menyenangkan.

Sesampainya di rumah, aku langsung bergegas menuju teras. "Ibu Rani pulang," teriakku dari pintu depan sambil mengeringkan rokku yang basah. Rumah yang besar ini terasa sepi, gelap dan dingin. Aku langsung menuju dapur untuk mencari ibu. Tetapi orang yang dicari tak terlihat.

Tak menghiraukannya, aku langsung menuju kamar. Hujan masih belum reda. Suhu ruangan semakin menurun. Saat seperti ini, aku teringat sup ayam buatan ibu. "Hujan begini enaknya makan sup ayam ibu deh," kataku sambil mencari novel untuk dibaca.

Aku menikmati suasana hujan di bawah selimut tebal milikku. Terhanyut di bacaan, aku tak menyadari sudah membaca selama dua jam lamanya. Masih banyak yang ingin ku baca, tetapi aku langsung teringat akan tugas yang ku dapat di tempat les tadi. Terasa berat untuk beranjak dari posisi nyaman ini, tapi aku ingat akan ambisiku di akhir tahun ini. Aku langsung beranjak dan mulai mengerjakan tugas.

Pyar! Terdengar suara pecahan kaca dari arah dapur. "Astaga apa itu," kata ku kaget dan langsung beranjak dari kasur. Aku langsung menuju arah dapur. Terlihat dua piring sudah pecah berantakan. Tetapi tidak terlihat siapapun.

"Eh, aneh banget. Piringnya jatuh sendiri?" tanyaku terheran. Tanpa pikir panjang aku langsung membereskan pecahan piring itu. Setelah membersihkannya, aku mencium bau enak. Sangat jelas ini aroma sup ayam yang sering ibu buat. Tapi dimana?

Aku mencari mangkuk hendak mengambil sup ayam, tetapi ternyata tidak ada ditempatnya. Aku terheran. Saat kembali ke arah meja makan, tiba-tiba kursi yang biasanya di duduki ayah bergeser sendiri. "Hantu," kata pertama yang terpikir olehku. Aku ketakutan dan langsung berlari ke kamar.

Hujan masih belum reda. Suhu dingin membuat suasana menjadi semakin mencengkam. Aku langsung berlindung di bawah selimut. Memikirkan kembali yang terjadi di dapur membuat bulu kudukku berdiri. Aku langsung mengambil ponsel dan menghubungi adikku.

Bug! Aku terkaget. Terdengar suara benda jatuh. Suaranya sangat keras, tidak mungkin berasal dari arah dapur yang bertempatan di lantai bawah. Jelas sekali ini berasal dari kamar adikku. Memberanikan diri, aku langsung menuju kamar adikku.

"Astaga!" teriakku saat membuka pintu kamar. Aku terkaget mendapati adikku yang terbaring di atas lantai. Aku panik dan langsung mengguncangkan tubuh Dina adikku. "Dina, Dina kamu kenapa?!" teriakku. Dina tak kunjung bangun, aku langsung mengambil ponsel dan menghubungi ambulance.

Ambulance tak kunjung datang, aku berusaha sebisa mungkin membangunkan Dina. Saat ingin memindahkan Dina ke kasur, aku tak sanggup. Aku merasa tak berguna di saat seperti ini. Aku hanya bisa menyelimuti Dina dengan selimut besar miliknya.

Aku bergegas mengambil tindakan. Aku terus mencari orang rumah di setiap kamar lantai atas. Tetapi nihil. Semua orang rumah aku hubungi, tetapi tak ada yang menjawab. Aku sangat panik. "Bagaimana ini? Aku tak mengerti mengenai medis atau apapun," kataku sambil mencari kotak P3K.

Dina masih terbaring di lantai. Aku ingin ke bawah untuk menelepon kantor ayah. Kantor ayah hanya bisa dihubungi dengan telepon rumah, dan buruknya telepon itu hanya ada di lantai bawah. Aku berpikir keras ingin memberanikan diri. Aku sekilas menatap Dina yang masih terbaring di lantai dan membuat tekadku menjadi bulat.

Tanpa pikir panjang, aku memberanikan diri untuk ke bawah. Saat menuju ruang tamu, aku tanpa sengaja melihat televisi dapur menyala dengan volume keras. Aku langsung menghampiri dan hendak mematikan televisi. Tetapi berita yang ditayangkan membuatku teralihkan.

"Sebuah bom bunuh diri terjadi lagi! Tepat tengah hari tadi, di depan kantor DPRD Provinsi Bali. Terdapat 15 korban meninggal dan 45 luka-luka. Tim polisi sedang mengamankan tempat kejadian. Hingga saat ini para korban tengah di selidiki identitasnya," terdengar dari arah televisi. Sekilas kamera menyoroti tempat kejadian, dan terlihat TKP sangat berantakan.

"Bagaimana dengan ayah?" kataku mulai panik mengingat ayah belum juga pulang. Aku langsung bergegas menelepon kantor ayah. Tetapi tidak ada jawaban, sudah pasti akan begini. Situasi TKP tepat berada di depan kantor ayah bekerja. Suasana disana pasti sangat mencengkam.

Aku gelisah dan kembali berpikir. "Bagaimana ini? Ayah pasti dalam bahaya. Ibu tidak kunjung datang. Bagaimana dengan Dina?" aku sangat panik dan gelisah. Tiba-tiba terdengar suara keran hidup dari arah kamar mandi. Aku terkaget, apalagi ini? Aku langsung menuju kamar mandi, dan lagi-lagi tidak menemukan siapapun.

Aku merasa mual dengan semua ini. Tetapi di sisi lain aku mengkhawatirkan Dina. Aku langsung kembali ke kamar Dina untuk mengecek keadaannya. Saat kembali, aku bingung. Kemana Dina? Ia tiba-tiba sudah tidak ada di kamarnya. Seisi ruangan kembali rapi. Aku panik dan berusaha mencari keberadaan Dina di seluru rumah. Tetapi tidak menemukan siapa pun.

"Apa semua ini? Apa aku sedang bermimpi? Apa aku terhanyut dalam novel?" tanyaku gelisah dan mulai frustasi dengan semua ini. Aku semakin panik dan mencoba menghubungi semua orang termasuk teman les ku. TKP juga berdekatan dengan tempat lesku. Pikiranku mulai kacau. Tidak ada yang menjawab teleponku.

Tanpa disadari bel rumah dari tadi berbunyi. Aku bergegas turun dan menghampiri pintu depan. Saat di buka, aku terheran mengapa aparat kepolisian datang ke rumahku di tengah hujan deras. "Apakah benar ini rumah dari Rani Wijayanti, murid SMA Ganesha?" tanya salah satu petugas, tetapi dia berbeda karena hanya memakai kaos polo, sedangkan 2 lainnya memakai seragam aparat Polisi. "Iya benar dengan saya sendiri. Ada apa ya pak?" tanyaku gelisah, aku sudah mulai berfikir dan merasakan hal buruk akan terjadi. "Begini Bu," Bu? Mengapa Bu? Sudah jelas-jelas ia sedang berbicara denganku yang masih anak SMA. Aku bingung, dan menyadari sorot matanya saat berbicara tidak memandangku. Aku langsung mengikuti sorot matanya. Saat mengarah ke belakang aku sangat terkejut mendapati ibuku yang ada di belakangku. "Apa?!" teriak ibuku dan langsung terjatuh lemas. Ia menagis sejadi-jadinya. Ada apa ini? Apa yang polisi itu katakan? Aku tidak mendengarnya! Aku langsung menghampiri ibu dan membantunya berdiri, juga dibantu oleh polisi yang mengenakan kaos itu. "Yang sabar bu, kami hanya bisa mengatakan itu. Sebentar lagi ambulance akan menuju kesini untuk membawa mayat," kata polisi itu.

"Mayat? Apakah ayahku?" tanyaku terkaget tetapi tidak dihiraukan oleh siapapun. Aku ingin bertanya kepada ibu, tetapi ibu masih menangis. Aku langsung menuju dapur hendak membuatkan ibu air hangat untuk menenangkan ibu. Aku merasa frustasi. Semua masih tanda tanya.

Saat menuju dapur, tiba-tiba muncul Dina dan berlali ke arah ruang tamu. Ada apa ini? Semuanya sangat tidak jelas. Aku kembali dan menghampiri Dina, kaget mendapati Dina menangis sangat keras. Semua terlihat berantakan. Polisi itu hanya bisa duduk diam tak bisa berkata apa-apa. Mengerti dengan situasi Polisi itu hendak berpamit. Aku langsung menghampiri para polisi dan hendak bertanya, tiba-tiba suara pintu terbuka terdengar dari arah depan. Ayah?! Ayah datang dengan ekspresi bertanya-tanya. "Ada apa ini? Maaf pak, apa yang sedang terjadi?" tanya ayah panik.

Aku semakin bingung dengan situasi ini, tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar dari luar rumah. Semua menghampiri ke arah depan. Saat pintu mobil belakang ambulance terbuka, terdapat mayat yang ditutup kain putih. Kain putih dibuka, disana terlihat jelas aku sedang terbaring dengan wajah pucat dan membiru. Apa ini? Apa semua ini? Ibu langsung terjatuh lemas dan mulai menangis. "Siapa itu?! Kenapa wajahnya terlihat mirip sepertiku?!" teriakku di hadapan semua orang. Tetapi tidak ada yang meresponku. Aku frustasi.

Saat mayat itu di bawa ke rumah, ibu menangis dan memeluk mayat itu. "Rani, kenapa kamu ninggalin ibu nak," kata ibuku dengan tangisannya yang kencang. Saat itu aku mulai menyadari bahwa itu adalah mayatku sendiri. Aku, Rani adalah korban Bom bunuh diri.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 16, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ga tauWhere stories live. Discover now