1. PELARIAN

36 3 0
                                    

Hidup dalam sangkar emas adalah bagaimana Minho mendeskripsikan hidupnya. Orang lain mungkin melihatnya sebagai tuan muda yang sempurna, dilahirkan dengan sendok emas di mulutnya, pintar dalam segala bidang, bertalenta, dan jangan lupakan pahatan Alexander di wajahnya.

"Tuan muda, tuan dan nyonya besar sudah menunggu di bawah."

Minho hanya menatap pelayan itu sekilas, membetulkan letak kerah jasnya, lalu beranjak keluar kamar diikuti sang pelayan.

Kakinya menapak tangga pualam dengan ritme teratur, rambutnya disisir sedemikian rupa, menampilkan wajahnya yang rupawan, tak ada senyum manis di wajah itu, hanya ada tatapan dingin seolah membentengi diri dengan apa yang akan Ia temui di ruang tamu kediamannya.

"Nahh ini dia bintang utamanya." ucap sang ibu heboh saat Minho menjejakkan kakinya di ruang tamu, membuat seluruh pasang mata yang ada disana menatapnya penuh kagum.

"Anakmu tampan sekali Mrs. Lee." sahut seorang wanita paruh baya yang duduk di sofa seberang, dengan pakaian perlente, Minho tahu bahwa wanita tersebut bukan dari kalangan bawah.

Minho hanya tersenyum tipis, yang bahkan tidak bisa disebut sebuah senyuman. Lantas mendudukkan dirinya di antara ibu dan ayahnya.

"Jadi bagaimana acara pertunangannya? Jadi dilaksanakan dua minggu lagi kan?"

Ucapan sang ayah membuat Minho menoleh kaget, tak percaya dengan apa yang ayahnya katakan, padahal sudah jelas Minho menolak perjodohan itu. Orang tuanya bilang, jika Ia tak menghendaki perjodohan itu, maka Ia bisa menolak, tapi apa ini? Ayah dan ibunya lagi-lagi memutuskan sesuatu tanpa memikirkan perasaan nya. Minho muak dengan semua ini, sungguh.

Dengan tatapan marah dan suara menggeram yang rendah Minho menatap ayahnya sambil berkata, "Aku sudah menolak perjodohan ini, kalian bilang aku bisa menolak nya jika ingin, dan aku ingin menolak perjodohan ini."

Sepasang suami istri paruh baya di depannya terkesiap saat mendengar penuturan Minho.

"Ahh maaf tuan dan nyonya, Minho hanya kaget saja, padahal dia sudah setuju kok." tutur nyonya Lee dengan senyum gugup, membuat Minho bangkit dari duduknya.

"Terserah kalian saja, pokoknya satu hal yang harus ayah dan ibu tahu, aku menentang perjodohan ini." final Minho sambil melenggang pergi dari ruang tamu, membuat empat orang yang berada di sana terdiam.

BLAMM

Minho menutup pintu kamarnya kesal, kepalanya terasa mendidih karena perkataan orang tuanya. Tubuhnya merosot ke lantai, menatap nanar kamar bernuansa biru pastel miliknya.

Minho lelah, muak, marah pada keluarganya, tidak cukupkah mereka menjadikannya robot selama 23 tahun hidupnya? Dan kini Ia harus menikah dengan orang yang bahkan tak pernah Ia temui sebelumnya?

Entah berapa lama Minho melamun dalam duduknya, hingga Ia terlonjak kaget saat gedoran di pintu kamarnya bersahutan.

"Lee Minho buka pintunya!"

Itu suara ayahnya, Minho enggan membuka pintunya, karena Ia tahu pasti, ayahnya akan memberikannya banyak cacian dan makian, bahkan tak jarang pukulan Ia Terima jika tak menuruti kemauan ayahnya.

Hampir 10 menit ayahnya menggedor pintu, namun Minho abaikan. Setelah tak terdengar gedoran lagi, Minho bangkit dari duduknya, lalu mengambil ponselnya yang Ia tinggal di nakas, menekan beberapa angka.

"Halo? Iya ini aku, bisa kau siapkan semuanya tengah malam ini? Aku akan berangkat malam ini. Ya terimakasih banyak atas bantuanmu, aku berhutang padamu."

Minho mematikan ponselnya, menarik nafas dalam lalu beranjak ke lemarinya untuk membawa barang-barang yang sekiranya akan Ia perlukan. Tangannya mengecek kembali beberapa dokumen penting yang hendak Ia bawa, terkekeh kecil saat menyadari bahwa Ia akan melakukan pelarian dari rumahnya. Sudah lama sekali Minho ingin melakukannya, tapi Ia selalu menundanya karena saat itu sang nenek masih hidup. Sekarang Minho sudah tak punya siapapun di tempat yang orang-orang sebut rumah, baginya tempat ini adalah penjara.

🐰

Tengah malam, Minho menuruni tangga rumahnya perlahan, sebuah ransel berisi beberapa helai pakaian dan dokumen penting miliknya tersampir di pundaknya, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya pergi. Saat dirasa aman, Minho mempercepat langkahnya menuju pintu belakang, mengingat kamar orangtuanya yang dekat dengan pintu depan, lalu membuka pintu belakang yang memang tidak terkunci, hasil kerjasamanya dengan tukang kebun tentu saja.

Kakinya menjejak di kerasnya aspal, Minho menghirup udara tengah malam lalu menghembuskannya dengan keras, dinginnya angin tak Ia pedulikan. Matanya menatap sebuah sedan putih tak jauh dari rumahnya, Minho tersenyum senang, lalu mulai berjalan ke arah mobil tersebut, saat hendak membuka pintu mobil, Ia menolehkan kepalanya menatap rumahnya yang besar dan mewah, ayahnya, ibunya, pengasuhnya, dan semua kenangan masa kecilnya di rumah itu. Senyumnya mengembang lalu ia menganggukkan kepalanya mantap, sebelum akhirnya masuk ke mobil yang langsung melaju membelah malam menuju bandara.

Maniknya menatap siluet rumah yang makin menjauh dari kaca spion. Dalam hatinya Minho meminta maaf pada kedua orangtuanya, tapi Ia sungguh sudah lelah, akhirnya Ia menyandarkan badannya di kursi, lalu terkekeh kecil.

Akhirnya, aku bebas.

EscapeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang