Hujan gerimis membungkus kota. Menyiram halus semua yang ada dibawahnya. Langit diatas redup, padahal matahari masih dititik tertingginya. Dua orang anak berjalan menyusuri jalanan yang tertutup puing-puing gedung. Dikanan kiri banyak pohon tumbang, berserakan diatas dan dibawah sisa bangunan. Hari itu, seluruh warga kota tengah bersedih. Banyak orang kehilangan anggota keluarga. Anak kehilangan orangtua, orangtua kehilangan anak anaknya dan saudara yang kehilangan saudara lainnya.
Beberapa jam sebelum kejadian itu terjadi. Alysa, Ali dan kedua orangtua mereka sedang berada didalam mobil. Tujuan mereka berbeda, Alysa dan Ali hendak berangkat ke sekolah sedangkan orangtua nya hendak pergi bekerja. Orangtua mereka memiliki hotel didekat pantai, berjejeran diantara hotel hotel lainnya. Kota mereka dianugrahi pemandangan yang luar biasa. Disamping jalan besar dan gedung pencakar langit tersembunyi pasir coklat dan pantai luas sejauh mata memandang. Para pelancong atau pekerja dari kota jauh yang singgah bisa membuka balkon sambil menunggu matahari terbit. Kemudian saat matahari lebih tinggi mereka keluar untuk berjemur dengan anak-anak mereka yang berlarian dibibir pantai sambil membawa sekop pasir mainan kecil. Pagi itu, tidak ada orang yang sadar akan kejadian mengerikan yang akan menimpa mereka.
"Sudah sampai" seru riang Ibu usia 35 tahunan itu kepada kedua anaknya. Sambil tersenyum manis, ia memandangi putri dan putranya yang berusia 12 tahun dan 9 tahun.
" Terima kasih, Ayah Ibu. Kami akan masuk sekolah sekarang" Alysa menjawab sambil mencium tangan kedua orangtuanya, disusul Ali. Ayah dan ibunya balas mencium kening mereka berdua, kebiasaan setiap pagi sebelum berangkat sekolah.
"Ah, kedua anak ayah sudah besar. Alysa jaga adikmu, bantu ia untuk berteman dengan yang lainnya, kau mengerti. Ali turuti ucapan kakak mu dan awasi dia agar tidak terlalu keras kepala" kata ayah memotong pergerakan Alysa dan Ali yang hendak keluar mobil.
"Alysa tidak keras kepala tahu. Alysa itu cuma berkomitmen. Mulai sekarang, ayah tidak boleh bilang Alysa keras kepala lagi. Karna Alysa memang tidak keras kepala!" Alysa bersungut-sungut, tidak sependapat dengan ayahnya. Ia selalu saja merasa penting untuk mengungkapkan segala perasaannya. Berbeda dengan Ali, yang jauh lebih pendiam. Ayahnya kini tertawa mendengar bantahan Alysa, padahal dengan mengatakan itu Alysa jelas menunjukkan sifat kekeras kepalaannya.
"Baiklah, cepat masuk sekolah sana, nanti kalian telat" Sergah Ibu mereka sebelum pertengkaran meletus didalam mobil sedan berwarna hitam itu.
Sekolah Mekar Raya nama sekolah Alysa . Memuat anak kelas 1 Sekolah Dasar sampai kelas 12 Sekolah Menengah Atas. Gedung tertingginya adalah gedung sekolah Ali karna memuat kelas 1 sampai kelas 6. Setiap gedung siswa dilengkapi kantin, kamar mandi dan ruang olahraga. Sementara ruangan lainnya seperti perpustakaan, ruang guru, kolam renang dan ruangan lainnya berada ditempat yang berbeda. Ali yang usianya 9 tahun sudah berada dikelas 5. Saat pendaftaran masuk Sekolah Dasar ia langsung masuk ke kelas 3. Lebih tinggi dua kelas dari teman seusianya. Sementara Alysa yang berusia 12 tahun berada di kelas 7. Keduanya berbeda gedung sekolah, tersambung dengan jembatan kaca yang melintang ditengah gedung. Alysa bersenandung kecil dengan rambut panjangnya yang bergoyang kekanan kiri mengikuti irama langkah kaki menuju gedung dimana kelasnya berada. Ali disampingnya memasukkan telapak tangan disaku celana dan berjalan tenang. Mereka baru berpisah saat berada didepan gedung sekolah Alysa.
"Ingat yah, Ali. Kalau ada yang menyapamu, kau harus membalasnya. Jangan diam saja" Kata Alysa sok menasehati. Sebenarnya Alysa hanya merayu Ali. Yang dirayu hanya mengangkat satu alisnya tanda tidak peduli. 'Terserah aku', begitu arti ekspresi Ali, ia lalu melambaikan tangan dan berjalan menuju gedung kelasnya.
Semua masih berjalan sama seperti ratusan hari sebelumnya. Bel masuk kelas segera berbunyi. Semuanya cepat teralihkan dengan kesibukkan. Pelajaran Biologi dijam pertama membuat Alysa semangat sepanjang pagi. Ia terus tersenyum dan fokus dengan guru dan buku dihadapannya. Waktu berjalan cepat, lima menit lagi bel istirahat pertama berbunyi. Beberapa siswa sudah sibuk melihat jam tangan, beberapa yang lainnya masih fokus memerhatikan kedepan seperti Alysa. Belum ada lima menit tiba tiba datang getaran kecil di gedung mereka. Pensil yang diletakkan diatas meja tanpa disentuh menggelinding jatuh kebawah. Wajah wajah panik segera terlihat, semuanya masih diam saling lirik satu sama lain. Guru yang tengah menjelaskan lewat proyektor pun diam seketika, mulai berhitung dengan segala kemungkinan dan langsung memberi arahan.
"Cepat semuanya, kita turun. Tinggalkan semua barang! Sekarang juga!"
Tepat setelah Guru Biologi itu berteriak, suara bel alarm bencana alam berbunyi. Tambah riuhlah seisi kelas. Semuanya lari pontang panting keluar dari kelas, menuruni anak tangga dan keluar gedung lalu berlari sejauh mungkin dari gedung 4 lantai itu. Alysa dengan napas tersengal mencoba melihat kesekitar. Ditengah kekacauan ini, ia merasa ada yang harus ia lakukan.
Ali. Ia tersadar kalau ia harus menemui Ali. Adik laki-lakinya itu berada digedung yang berbeda. Alysa bergegas menuruni anak tangga bersama puluhan anak lainnya. Berdesak-desakan, semuanya sibuk menyelamatkan diri masing-masing, tidak peduli kalau teman disebelahnya terjatuh. Getaran semakin kuat terasa, Alysa yang berada ditengah rombongan itu terhuyung kekanan kiri. Masih setengah jalan untuk sampai ke lantai dua untuk kemudian melewati jembatan kaca dan memeriksa kelas Ali.
Jeritan-jeritan terdengar membahana disemua lantai. Beberapa orang dewasa memberi arahan pada anak-anak agar segera menjauhi gedung. Lantai mulai bergetar hebat. Meja dan kursi didalam kelas mulai bergeser dari tempatnya. Bingkai foto presiden dan wakilnya yang itu-itu saja sudah jatuh, kacanya pecah. Sementara Alysa dan teman-teman lainnya yang baru sampai dilantai dua berusaha mati-matian agar tidak tersungkur jatuh. Mereka saling berpegangan dengan apapun disampingnya. Alysa langsung berlari ke jembatan kaca yang menghubungkan gedungnya dengan gedung kelas Ali. Kabar baik, jembatan itu tidak roboh. Belum tepatnya.
Alysa berhaluan arah dengan yang lainnya, hanya ia sendiri melewati jembatan kaca sepanjang 20 meter itu. Alysa melihat kebawah jembatan yang ia akan lalui. Kaca transparan itu menembus hiruk pikuk orang-orang dibawahnya. Ngeri sekali bagi Alysa, ia harus melewati jembatan dengan kemungkinan jembatan itu tidak roboh saat guncangan berlangsung atau salah-salah Alysa bisa terjatuh dari jembatan karena hilang keseimbahangan. Segera ia buang kekhawatiran yang memenuhi kepalanya. Ia harus segera menemui Ali. Tapi bukan jembatan roboh atau jatuh dari jembatan, sesuatu yang lebih mengerikan datang lebih dulu sebelum Alysa sampai ditempat tujuan.
Assalamualaikum
Hai, readers! Kalo suka sama ceritanya bisa kasih bintang yah, komen juga boleh, share juga boleh👍 oke see you...
KAMU SEDANG MEMBACA
Air
Teen FictionTentang gadis usia 12 tahun yang hebat dengan berbagai aksi heroiknya. Orang-orang yang serakah memperoleh hasil dari perbuatannya, benar mereka akhirnya menyadari luka akibat perbuatannya sendiri, tapi apa mereka jera?