Purple moon

189 18 5
                                    

Bulan ungu mengikuti ke mana dia menuju.

Jiu, Kim Jiu. Minji, Kim Minji. Mana yang harus  kupakai? Nama cantik, tapi aku enggan menyebutnya. Apa harus mengganti marga juga? Ini hanya panggilan sesaat, dan hanya untuk julukan semata. Apa ada yang mengingat nama Jiu? Kurasa tidak, aku tidak semenarik itu untuk diingat.

Minji Minji, Minji. Cantik. Aku merasa cantik. Tapi kapan aku harus memakainya?

Ah, benar. Untuk dia kalau kami bertemu lagi. Perempuan tempat judi. Tempat orang-orang tenggelam dengan dunia setan. Orang-orang dengan pikiran penuh dengan hawa malam yang panas dan lembab. Si tidak punya adab dan bajingan.

"Yeobo." Suaranya serak dengan desahan dan mata setengah terbuka, mendongkak menatap Jiu yang sedang menunjang dagunya dengan tangan kiri yang terkepal. Bersandar pada sisi bis agak berumur dengan aura yang menenangkan, menatap jalanan sepi dan sawah beberapa hektar di setiap kesempatan. Sungguh tempat yang tepat untuk berpikir.

Jiu menatap Siyeon dengan lengannya menjadi pelukan dan teman tidur.

"Hm? Wae?" Tangan yang sejak tadi tertunjang kini bergerak merapihkan rambut perempuan 'semalam' di sebelahnya.

"Ani. Aku hanya ingin memanggilmu." Senyum jahil namun manis nampak di sana, matanya kembali terpejam sambil tersenyum dan kembali mengeratkan pelukan yang hangat pada kasihnya.

-

Kini nama dan kenangan hanya tinggal kenangan. Jiu melanjutkan perjalanannya tanpa kembali menengok pada Siyeon. Hanya menciumnya saat tertidur untuk kecupan perpisahan. Meninggalkannya di kasur hotel yang mereka singgahi selama empat hari. Rekor untuk berdiam diri terlama untuk Jiu.

Ah, sebenarnya tidak juga. Saat memiliki perempuan semalam, rata-rata dia tinggal ya untuk tiga sampai empat hari.

Perjalanan terakhirnya dengan Siyeon saat menuju tempat tujuan Jiu untuk ke Sam-taeri setelah Siyeon selesai bertemu dengan kawan lama.

-

Di tengah sore dan rasa cinta yang masih membara, hanya dengan menatap matanya mampu membuat seluruh dadaku panas. Tutur yang indah untuk didengar lebih lama.

Tapi, itu sapa terakhirku, ya. Sekarang, aku di Suwan-dong.

-

"Uang ini pas. Hitung di kamar mandi dan aku akan menunggu di sini."

Perempuan dengan kerlingan mata menatap Jiu, menarik kemeja yang dipakainya sebagai luaran.

"Ayo hitung bersamaku."

Berjalan melewati lautan manusia dengan suara musik yang mendentangkan telinga hingga ke dada, Jiu masih dengan wajah yang terlihat dingin, sayu, tegas, dan mencoloknya di tengah gelap kelab di daerah agak jauh dari Sam-taeri. Bahkan kegelapan dan keriuhan tempat ini tidak mampu menutupi aura Jiu yang berjalan melewatinya dengan kemeja yang tertarik. Perempuan hingga lelaki memutar kepala dan memicingkan matanya untuk menatap wajah pemilik hawa dingin yang melewati mereka di panasnya tubuh kala itu.

Pikiran Jiu terbang mencium langit ke tujuh. Bertemu dengan perempuan yang sungguh membuatnya penasaran di tempat lahirnya. Apa dia dari Daejeon juga?

Kita lihat nanti, apakah kalau takdir tidak mempertemukanku, aku bisa mendahului takdir dan berkenalan dengannya? Tidak lebih, tidak kurang. Yang kuharap hanya tahu nama dan melihat wajahnya sekali lagi.

Sungguh tuhan, sekali lagi saja.

Nafas berat dengan aroma rokok tercium di bibirnya, perempuan ini mencium Jiu dengan sergahan yang tidak terhalangi juga tidak ditolak Jiu. Tidak menutup mata seperti lawan mainnya, Jiu hanya menatap sayu bibir yang tengah menciumnya dengan gigitan agak kencang. Bibirnya yang sudah merona alami kini semakin memerah seperti darah yang terbendung sebelum lapisan kulitnya tersobek.

Jiu mengisap bibirnya sebelum Sua melukai bibirnya, memegang sisi wajah Sua dengan kedua tangannya sambil menekan candu dengan aroma rokok yang terasa tiap lidahnya mengecap.

"Sabu ini," desahannya keluar tiap dengan kata yang terucap, "berasal dari Busan. Air yang bagus hingga warna dan rasanya lebih oriental dan sedap." Dia tersenyum dengan gairah di sela ciumannya yang sudah bercampur dengan tangan Jiu yang menggerayangi tiap sisi tubuhnya yang terasa penuh dan tebal untuk diremas. "Seperti dirimu." Kepalanya mendongkak dengan kedua tangan yang terkalung pada leher Jiu.

Memberikan jalan dengan senang nafsu Jiu dengan bibirnya yang basah mengecap, menjilat, mengisap tiap inci dadanya.

Kemeja dengan empat kancing di atas baju Sua sudah terkoyak, tangan lainnya menjalar naik meremas memasuki baju yang terangkat.

"Give me everything tonight," keduanya tengah bersenggama dengan senyum senang di wajahnya, hanya terlihat nampak senyum miring dengan diri yang panas dan sebentar mencium wangi surga dunia. "For all we know, we might not get tomorrow. Let's do it tonight."

-

"Tidak ingin melepas cincinmu?" Jiu memegang lengan Sua yang sudah kencang ingin melesat melepas celananya. Hanya Jiu yang belum membuka pakaian, kini, Sua yang menjadi si-Hyper. Mendominasi adalah hal yang suka ia lakukan, dengan siapapun, dalam keadaan apapun.

"Ah," ia tidak menjawab, tertawa dengan suaranya yang menggelitik untuk didengar. Merangkak naik meraih nakas untuk menaruh cincin berlian dengan satu mata sedang di atasnya, dan puluhan mata kecil yang mengelilinginya.

Pergerumulan berlanjut dengan desahan dan mata yang terpejam, Jiu mengakui kemampuannya dengan berkali-kali pencapaian tanpa henti berlanjut dengan permainan baru yang Sua ciptakan malam ini.




-





"Hm. Selanjutnya, Goheung-gun. Empat jam, jalan, kereta, kereta, kereta, jalan. Membosankan. Izinkan aku pergi dengan tumpangan. Boleh? Boleh." Jiu berbicara sendiri ketika membayangkan ke mana dia akan selanjutnya menuju. Tidak butuh izin siapapun, Jiu melalukan apa yang ingin ia lakukan. Yang penting sampai.

Bermalam semalam lagi di sini hingga ia puas dengan kasih orang, berselimut dan bercumbu dengannya. Membiarkan pasangan Sua yang tengah bekerja tidak memberikan nafkah batin padanya hingga menjadi perempuan liar yang menemukan Jiu di tengah transaksi sabu-sabu.

Memandangi cincin dengan ribuan won di atas nakas. Jiu meliriknya sebelum kembali mengisap sabu di atas meja. Wajah yang terlihat semakin menawan dengan mata yang jatuh dengan kenikmatan hasil obat yang dibuat oleh pemerintah Jepang untuk perang pasifik hingga tentaranya tidak sanggup mengontrol obat ini, sakau hingga mati. Meninggalkan peperangan yang menciptakan obat ini untuk mereka agar tetap bangun, menembak, terbang tanpa rasa takut.




-





Jiu bertemu dengan pengendara truk di sebuah tempat pengisian bensin, kernet yang membeli bungkusan rokok, Jiu bertanya padanya tanpa rasa ragu untuk ikut menumpang hingga tempat tujuannya.

"Aku juga menuju Suncheon! Kau ingin bersama?"

"Aku ikut." Jiu mengangguk semangat dengan senyum sumringahnya. Sungguh, kalau lelaki ini tidak melihat ada sebuah kartu nama yang keluar dari saku Jiu ketika ingin mengambil uang di depan kasir, dia sudah jatuh cinta padanya dan berniat tidur dengannya. Entah memaksa atau keinginan berdua, saat melihat wajah Jiu di depan lemari minuman lelaki ini sungguh ingin menidurinya. Tapi dia masih memiliki empati dan adab, Jiu akan selamat sampai tujuan.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

On The Road || DREAMCATCHER GXGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang