Kutatap nanar seorang Marcus Alexander yang kini sudah duduk di sampingku. Tenang bersandar pada kursi sambil menunggu palu hakim mengetuk tiga kali sebagai proses berakhirnya suatu hubungan yang telah dipersatukan oleh Tuhan.
Ya, Hubungan pernikahan kami.
Pria ini terlihat begitu tenang seolah tak pernah ada badai yang menerjang hidupnya, tidak sepertiku. Dengan kemeja putih yang kuberikan padanya saat perayaan ulang tahunnya dulu, netra mata ini langsung membawa kenangan yang mampu mencabik hatiku secara tak kassat mata. Aku tak tahu apa maksud darinya dengan memakai benda pemberianku dihari kesakitanku, tapi yang kusadari bahwa tidak ada niatannya selain menunjukkan bahwa ia sudah bertekad untuk mengakhiri ini semua. Bersamaku.
Marcus Alexander. Terlalu banyak kata jika saja aku bisa mengucapkannya dan takkan usai hanya dalam waktu sehari saja. Betapa aku mencintai dan menginginkan lelaki ini membalas perasaanku di setiap lantunan doaku kepada Tuhan. Setiap harinya aku sudah terbiasa mengantarkan kepergiannya bekerja ke rumah sakit dan menyambut lelahnya di rumah. Setiap malamnya aku menunggunya yang terkadang pulang hampir pagi buta karena jadwal berjaga malam di rumah sakit atau mungkin disaat pria itu harus menjalani operasi dadakan. Dan tak pernah sekalipun kegiatan itu mengundang lelah di tubuhku.
Seharusnya dengan akal sehat, aku tak perlu melakukan semua itu untuk seseorang yang bahkan tak pernah menganggapku ada. Tapi jauh di sudut hatiku, aku menjerit. Aku sangat berharap Marcus pun merasakan yang sama, menyayangiku sebagai seorang teman hidup. Terbiasa dengan kehadiranku dan mulai mencintaiku. Meskipun terdengar mustahil, aku tahu jika hatiku takkan pernah berhenti berharap. Pernikahan kami yang hanya seumur jagung pun kuharapkan dapat menjadi abadi hingga mau memisahkan kita. Tapi, harapanku akan selamanya menjadi sebuah harapan.
Selama setahun aku berusaha membuat lelaki ini memandangku, berusaha membuatnya agar berpaling padaku. Menjadi istri yang baik dan berbakti kepadanya. Marcus memang bersikap bersahabat denganku, tidak menolak semua pemberianku, tapi lelaki itu tetap diam dan tak menunjukkan pertanda ingin membawa hubungan pernikahan kami lebih dalam. Seolah tembok tinggi sudah terbangun kokoh membatasi hubungan kami. Lelaki itu tak pernah membiarkanku memasuki ruangan kosong di dalam hatinya. Puncaknya adalah saat aku mengetahui bahwa masih ada sosok yang dicintai oleh mantan suamiku itu.
Kakakku, Angelica.
Marcus mengatakan bahwa kakakku memaksanya untuk menikah denganku. Saat itu Angelica baru saja melangsungkan pernikahan dengan Kak Moreno. Pria itu tanpa perasaan mengatakan semuanya bahwa dirinya tak pernah menginginkan cintaku, begitu pun sebaliknya. Pria itu sering berkata bahwa setiap hari doanya adalah agar Tuhan tidak akan memberikan perasaan cinta dihatinya untukku. Dan hasilnya, Selama pernikahan kami tak pernah kulihat cinta di mata suamiku sendiri. Doanya kepada Tuhan terkabulkan dan doaku tidak pernah terjawab hingga detik ini.
Marcus tetap mencintai Angelica dan aku merasa bahwa perasaan itu bukanlah paksaan. Tidak seperti pernikahan kami. Tapi, jika keduanya tak pernah bersatu tentu bukanlah kesalahanku. Sebegitu besarnya cinta suamiku kepada kakakku sendiri membuatku nyari mengenyam rasa iri seumur hidupku. Tak pernah ada yang mencintaiku sedalam itu. Mungkin bukannya tak pernah, tapi tidak ada yang seperti itu dalam hidupku.
Mungkin ketika Tuhan sedang berbaik hati kepadaku adalah saat mempersatukanku dengan pria ini. Hal paling membahagiakan dalam hidupku adalah saat bersanding disamping lelaki itu dan mengucapkan janji kepada Tuhan untuk sehidup semati. Bayanganku, aku akan bahagia bersamanya, melahirkan anak-anak kami. Akan tetapi, meski harapan tentang anak itu terwujud, pernikahan kami tetap berakhir sampai disini.
Ketukan palu hakim yang terdengar telah mengakhiri apa yang menjadi penderitaan dalam pernikahan kami. Penderitaanku, penantianku dan perasaanku, mungkin. Permainan terkutuk yang tercipta telah sampai akhir babak dan lelaki inilah yang memenangkan permainan, aku kalah. Aku kalah, karena telah hilang akal untuk merebut hatinya. Semuanya sudah berakhir dan mencabut separuh hidupku selama setahun pernikahan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
If I'm Pregnant (Tamat di Mangatoon)
RomanceMargareth tak pernah menyangka jika di hari dimana kebebasannya datang, sebuah kabar mengejutkan justru bagaikan sebuah petir di siang bolong baginya. Hari dimana ia akan terbebas dari segala belenggu malah membuatnya semakin terikat dengan lelaki a...