Masa pubertas, masa di mana seorang anak mengalami tingkatan menuju remaja. Mereka mulai tertarik untuk berinteraksi dengan lawan jenis. Jika jaman dahulu pendekatan melalui surat menyurat dan membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan balasan dari sang pujaan hati. Berbeda dengan jaman sekarang yang hanya tinggal mengetik lalu menekan tombol 'kirim', otomatis pesan kita akan langsung terkirim detik itu juga dan tak butuh waktu lama untuk mendapatkan balasannya. Kecuali orang tersebut tak berniat membalas pesan yang kita kirim.
Hinata selalu menatap jengah ke arah teman-temannya yang selalu sibuk dengan ponsel mereka. Hinata yakin, mereka sedang asik berbalas pesan dengan gebetan masing-masing tanpa mempedulikan dirinya yang tak punya gebetan. Jangankan gebetan, teman lelaki pun ia tak punya. Pengecualian untuk teman di dalam kelas.
Hinata membuang nafas lelah, "Sepertinya aku invisible girl." Sindirnya kepada para sahabatnya.
Serempak kedua orang yang duduk di sebelahnya menoleh ke arahnya. "No. You're a sad girl." Ucap Ino hingga setelahnya tawanya pecah.
Hinata mencebik kesal. "Yang sudah punya gebetan emang selalu lupa dengan teman sendiri."
Ino dan Sakura terkekeh. "Cari dong! Kamu ini cantik, masa ga punya gebetan." Ujar Sakura, ia menyimpan ponselnya, lalu menatap sahabat invisible-nya lamat.
"Cari dimana? Lagi pula sepertinya para pria tidak menyukaiku." Hinata cemberut lucu lalu meletakkan kepalanya di atas meja.
"Kenapa kamu berpikiran begitu?" Tanya Ino yang juga memusatkan atensinya pada Hinata.
"Kalian tahu? Setiap aku berjalan melewati para pria, mereka akan menatapku sampai aku menghilang dari penglihatan mereka tanpa berniat menyapa. Dan yang paling mengherankan lagi, beberapa kali aku mendapati para pria yang lari terbirit-birit setelah melihatku." Ino dan Sakura saling pandang dan mengangkat kedua bahu mereka.
"Apa aku ini aneh? Menyeramkan?" Tanyanya dengan bergantian melihat antara Ino dan Sakura.
Hinata tidak tahu saja, padahal para pria tersebut menyukainya, namun tak berani untuk mengungkapkannya. Berakhir mereka hanya dapat menataonya dari kejauhan dan yang lebih parah lagi mereka yang lari terbirit-birit karena terlalu nervous berhadapan dengan dirinya.
Ino memperhatikan Hinata dari atas sampai bawah. "Kamu normal untuk ukuran anak kelas 3 SMP. Hanya baju kedodoranmu yang aku anggap tidak normal." Sakura ikut mengangguk setuju.
"Hei, ini hanya longgar sedikit." Ino dan Sakura terkikik geli mendengarnya.
"Sudahlah jangan di bahas. Aku malas membicarakan masalah pria." Ketus Hinata.
"Bukankah kamu waktu itu dekat dengan kakak pelatih karate ya? Kak Naruto?" Ujar Sakura setelah berusaha mengingat.
"Jangan ingatkan lagi! Aku sendiri kesal. Abis baper aku di tinggal."
"Itu kamu yang terlalu jual mahal. Terakhir kali kamu menolak dia yang akan mengantarmu pulang kan!?"
"Itu karena aku takut dia akan di marahi ayahku. Kalian tahu kan ayahku galaknya seperti apa pada pria yang mendekatiku?!"
"Tepat setelah itu dia tidak pernah memberi pesan atau telepon kan?" Hinata mengangguk lesu mendengar ucapan Sakura. "Berarti dia menganggap kamu sudah menolaknya."
Hinata melongo. "Masa iya? Tapi kan aku tidak mengucapkannya?"
"Kamu memang tidak mengucapkannya, tapi sikapmu yang mengucapkannya." Terang Ino.
Hinata kembali cemberut. Kisah romansa di masa pubertasnya memang berakhir kandas setelah ia terbawa perasaan.
...