01.

32 15 3
                                    


Langit mulai mendung, aku yakin 100% hujan akan turun sebentar lagi. Aku mempercepat langkah karena takut jika tiba-tiba hujan turun. Setidaknya aku bisa segera sampai di halte bus.

Saat aku sampai di halte, air hujan mulai turun dari langit membuatku sedikit terkejut. Kemudian, hujan turun semakin deras.

Karena disini tak ada satupun tempat duduk, akhirnya aku memilih untuk berjongkok lalu memeluk diriku sendiri karena cuaca dingin akibat hujan terasa sungguh menusuk.

Aku hanya termangu, walau dalam hati sudah kalut luar biasa. Aku mendesah pasrah, menahan tangis. Aku benci, ahh lebih tepatnya aku takut terjebak hujan sendirian.

Hujan di bulan Juni sebenarnya bisa saja menjadi hal yang menyenangkan ... jika aku berada di rumah. Pasti sangat menyenangkan bisa bersembunyi di balik selimut, atau menikmati suara hujan ditemani secangkir teh hangat juga lagu kesukaan.

Aku kembali mengedarkan pandangan, di halte bus ini aku benar-benar sendirian, jalanan juga terlihat sangat sepi, tak ada satupun orang yang lewat atau kendaraan yang melintas. Tentu saja! Siapa juga yang ingin keluar disaat hujan lebat seperti ini?

Seseorang dengan tiba-tibanya berdiri di depanku membuatku nyaris histeris.

"Kamu sendirian?" tanyanya.

Aku berdengus malas. "Tadi, tapi kini ada dirimu jadi aku tidak sendirian lagi."

Pria yang kuperkirakan berumur 17 tahun itu tersenyum, membuat matanya juga ikut tersenyum. Lalu ia ikut berjongkok di sampingku.

"Siapa namamu?" tanyanya lagi.

"Na Jaera," jawabku dingin.

Aku memang secuek itu jika baru pertama kali bertemu dengan seseorang.

"Kamu?" kini aku yang bertanya, walau sebenarnya tak ingin tahu.

"Lee Jeno."

•••

Lee Jeno, pria yang baru kukenal sejak satu jam yang lalu, seperti tak pernah kehabisan topik pembicaraan. Pria berkulit putih bersih itu terus mengajakku membicarakan berbagai hal, mulai dari tentang sekolah hingga tentang mengapa aku bisa pulang terlambat dan akhirnya terjebak hujan disini.

Aku menjadi sedikit tenang, perasaan gelisah yang sejak tadi menguasai hatiku mulai terganti menjadi perasaan yang entah ... aku sendiri tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata. Yang jelas, aku bersyukur ada Jeno yang menemaniku disaat seperti ini.

Aku merasa nyaman dan aman berada di dekatnya. Tadi aku sempat berpikiran negatif terhadapnya, tapi saat melihat caranya bertutur kata, dan melihat dia tersenyum dengan tulus membuatku yakin bahwa ia adalah orang baik, dan tidak punya niat jahat sedikitpun.

"Hujannya sudah reda," ucap Jeno sambil berdiri, membuatku ikut berdiri.

Aku sedikit mendongak menatap langit, hujan memang sudah reda tapi masih menyisakan rinai.

"Aku hanya bisa menemanimu hingga hujan reda."

Aku menoleh, menatap punggung Jeno yang mulai menjauh. 'Aku belum mengucapkan terima kasih, tapi kamu telah pergi tanpa kata.'

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang